Madura merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur yang dihuni sekitar 3 juta penduduk. Meskipun pulau Madura merupakan bagian dari pulau Jawa, masyarakat Madura memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang Jawa. Perbedaan yang signifikan itu terjadi karena letak geografis atau keadaan iklim di Madura yang cukup gersang, sehingg menyebabkan orang Madura menjadi keras.
Di pulau kecil ini, terdapat sebuah kebiasaan dalam menyelesaikan masalah yang tidak ada jalan keluarnya, dengan cara berkelahi sampai salah satu dari lawannya mati terbunuh. Kebiasaan tersebut dikenal dengan istilah carok. Karena kebiasaan inilah sehingga orang Madura menyebutnya sebagai tradisi atau budaya orang Madura.
Carok merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan dengan menggunakan senjata biasanya celurit. Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan cara suku madura dalam mempertahankan harga diri dan keluar dari masalah yang pelik.
Biasanya, carok merupakan jalan terakhir yang diambil oleh masyarakat Madura untuk menyelesaikan suatu masalah. Banyak yang menganggap carok adalah tindakan yangg keji dan bertentangan dengan ajaran agama. Meski masyarakat Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya. Tetapi, secara individual masih banyak memegang tradisi carok.
Carok tersebut dilakukan oleh dua orang dan sudah sepakat untuk melakukan carok tersebut. jika ada yang membunuh di jalan atau dimana saja tanpa sepengethuan pihak lainnya, itu bukan carok tapi “nyelep”.
Asal-usul carok itu sendiri belum diketehui secara jelas. Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura yang dipimpin oleh Prabu Cakraningrat dan abad ke-14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Panembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.
Munculnya istilah carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakera tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit.
Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole, dan Panembahan Semolo mereka membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman pak Sakera. Mandor tebu dari pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.
Saat itulah timbul keberanian masyarakat untuk melakukan perlawanan. Namun, saat itu mereka tidak menyadari jika mereka diadu domba oleh penjajah Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda. Pada saat carok mereka tidak menggunakan pedang atau keris seperti leluhurnya tetapi menggunakan celurit. Celurit ini diberikan oleh penjajah Belanda untuk merusak citra Pak Sakera yang waktu itu berasal dari keluarga santri dan berani memberontak pada penjajahan Belanda.
Upaya Belanda tersebut membuahkan hasil, hingga saat ini dan telah merasuki sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa jika ada persoalan seperti perselingkuhan, perebutan kekuasaan, dan menginjak-injak kehormatan akan diselesaikan dengan carok. Yang mereka anggap hasil dari leluhurnya ternyata merupakan hasil rekayasa orang Belanda untuk mengadu domba masyarakat Madura.
Budaya merupakan hasil karya, cipta dan rasa. Dalam suatu budaya terdapat nilai etnik dan estetika. Contoh budaya orang Madura yaitu seperti kerapan sapi. Didalam kerapan sapi terdapat hasil karya, dan keindahan atau nilai estetika yang terkandung didalamnya.
Sedangkan pada carok, hanya menghasilkan mayat seseorang, penyesalan seumur hidup, dan dibayang-bayangi oleh nasib keluarag yang ditinggalkan. Tidak ada nilai estetika didalam carok. Pelaku carok hanya akan menghasilkan julukan sebagai jagoan (blater) karena bisa mencabut nyawa seseorang atau mengalahkan musuh. Carok tersebut dilakukan atas dasar ego seseorang. Jika mereka bisa berpikir panjang mereka tidak akan melakukan carok, karena hal itu sama saja dengan menyerahkan nyawa secara cuma-cuma. Mereka juga tidak memikirkan nasib dari keluarganya jika nanti mereka meninggal.
Carok sebenarnya bukan sebuah budaya, karena carok bukan merupakan hasil karya, cipta, rasa. Melainkan hasil rekayasa dari penjajah Belanda untuk mengadu domba sesama bangsa. Karena hal tersebut terjadi di Madura dan orang-orang sudah menganggap tradisi dan sampai saat ini telah mendarah daging, sehingga masyarakat Madura dan masyarakat pulau lain menganggap carok merupakan budaya orang Madura.
Alasan mereka melakukan carok memang patut untuk diacungi jempol, karena mereka ingin menjaga harga dirinya dan mengagungkan perempuan. Jika istri mereka diganggu oleh lelaki lain mereka akan marah karena hal itu sama saja dengan menginjak-injak harga dirinya dan keluarganya. Selain karena wanita alasan mereka melakukan carok yaitu karna harta dan tahta. Harta dan tahta yaitu kekuasaan dan kehormatan tidak boleh diganggu. Itu artinya orang Madura tidak ingin diganggu dan ingin saling menghormati.
Jika semua orang mengerti maksud dibalik alasan itu semua, maka orang Madura tidak akan semena-mena melakukan carok. Orang Madura sebenarnya ingin hidup rukun dan damai, tidak ada seorang manusia yang menginginkan hidup sia-sia ditangan orang lain.
Seandainya semua orang bisa hidup dengan rukun dan saling menghormati, mungkin tidak akan ada lagi pertumpahan darah di pulau Madura ini.
Semoga ke depannya masyarakat Madura bisa berpikir panjang dan menjaga egonya masing-masing supaya tidak ada lagi keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. [*]
Oleh: Nurul Komariyah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura