JAWA TIMUR, koranmadura.com – Salah seorang ulama KHR Achmad Azaim Ibrahimy mengemukakan saat ini semangat jihad yang harus diperjuangkan oleh kaum santri adalah bidang pendidikan dan ekonomi keumatan.
“Kalau dulu yang melatarbelakangi Resolusi Jihad yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri adalah penjajahan oleh asing, sekarang yang dihadapi adalah ‘penjajahan’ di bidang lain,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, itu kepada wartawan di Situbondo, Jawa Timur, Kamis (22/10).
Ditemui seusai peresmian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Ibrhimy bidang kegulaan yang dihadiri oleh Menteri BUMN Rini Soemarni, KH Azaim mengemukakan bahwa “penjajahan” yang harus dihadapi kaum santri saat ini adalah keterbelakangan pendidikan dan ekonomi umat.
“Santri sekarang harus memiliki jihad berbeda. Bukan jihad seperti yang membuat teror, tapi di bidang lain. Jihad itu bukan perang. Perang hanya bagian dari jihad itu sendiri,” katanya menegaskan.
Menurut dia, memperjuangkan kebaikan pendidikan dan akhlak keluarga, menuntut ilmu dan berjuang di bidang perbaikan ekonomi bersama juga merupakan bentuk jihad di era saat ini.
Terkait penetapan Hari Santri pada 22 Oktober, KH Azaim mengemukakan bahwa negara yang baik adalah negara yang tidak melupakan sejarah, khususnya jasa para pahlawannya.
“Para kiai adalah para pejuang, meskipun beliau-beliau yang sudah tiada itu tidak pernah meminta penghargaan dan tanda jasa. Tapi bagi generasi muda, ini sangat penting menghargai peran para pendahulu itu. Inilah makna dari Hari Santri,” ujarnya.
Sementara itu sesepuh yang juga ulama terkemuka di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah KHR As’ad Syamsul Arifin menekankan trilogi di lembaga pendidikan tersebut, yakni ke-NU-an, pendidikan dan ekonomi keumatan.
“Jadi santri itu diharapkan kelak mengabdi untuk NU, untuk pendidikan dan juga ekonomi keutamaan. Karena itu di pesantren ini juga ada bidang usaha ekonomi,” katanya.
Sementara, sebagian mahasiswa di sejumlah kampus di Kota Malang, Jawa Timur, menjalani perkuliahan dengan memakai sarung sebagai bagian dari peringatan Hari Santri Nasional yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu.
Salah satu kampus yang mewajibkan mahasiswanya memakai sarung pada saat kuliah pada Hari Santri Nasional (HSN) itu adalah Universitas Islam Malang (Unisma). Sedangkan untuk mahasiswi dan segenap civitas akademika perempuan diwajibkan mengenakan rok (kain) panjang.
“Kewajiban memakai sarung dan kopiah bagi mahasiswa ini sebagai bentuk menghormati HSN yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober. Sarung merupakan ciri khas santri dan merupakan busana asli Indonesia, sehingga selama sehari penuh mahasiswa diwajibkan memakai sarung dan mahasiswi memakai rok panjang,” kata Wakil Rektor II Unisma Noor Shodiq Askandar, di Malang (22/10).
Ia mengemukakan sarung pada masa kolonial merupakan salah satu ciri khas para pejuang Tanah Air. Sarung juga merupakan simbol perlawanan bangsa Indonesia pada saat itu, yakni untuk melawan masuknya budaya dari dunia barat.
Ketika itu, bangsa penjajah mengenakan celana, sedangkan para ulama melakukan perlawanan budaya dengan menggunakan simbol sarung.
Untuk mengembalikan dan menguatkan identitas santri pada Hari Santri Nasional ini, seluruh civitas akademika Unisma memakai sarung sebagai kampanye untuk mengingatkan perjuangan para ulama.
Apalagi, 70 tahun lalu bertepatan dengan Resolusi Jihad, yakni sebuah seruan yang dikumandangkan pendiri NU KH Hasyim Asyari pada Nahdliyin untuk berjihad melawan penjajah dan sekutunya.
Guna memperingati Hari Santri Nasional yang ditetapkan sesuai Resolusi Jihad, Unisma juga memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MuRI), yakni menjalani perkuliahan dengan memakai sarung yang diikuti oleh sekitar 5 ribu peserta, baik mahasiswa maupun dosen.
Sementara itu, berkaitan dengan pemecahan rekor MURI pememakaian kain sarung dalam kegiatan perkuliahan, tim juri MURI sejak pagi mengelilingi kampus tersebut untuk melihat penampilan mahasiswa dan dosen memakai sarung.
Dan, pada akhir penjurian, akhirnya Unisma berhasil meraih rekor MURI “Perkuliahan Dengan Mengenakan Sarung Terbanyak”. Sebab, Unisma merupakan satu-satunya perguruan tinggi sekaligus pencetus menggunakan sarung selama proses perkuliahan berlangsung.
“Rekor MuRI ini diharapkan lebih memperkenalkan Unisma sekaligus menanamkan rasa dan karakter Nahdlatul Ulama (NU) yang kuat dalam diri keluarga besar Unisma. Selain itu, sebagai upaya menghapuskan stigma negatif di kalangan masyarakat tentang santri atau orang-orang yang bersarung,” kata Wakil Rektor I Unisma Junaidi Mistar.
Ia mengakui kadang santri dinilai kalangan menengah ke bawah, kuper dan stigma negatif lainnya.
“Kita mau menumbuhkan bahwa santri yang biasanya bersarung adalah orang-orang yang nantinya membantu mengembangkan, memajukan bahkan menyelamatkan negara, sebab karya-karya anak santri itu luar biasa,” ujarnya.
Pemakaian sarung tersebut mulai pagi hingga malam sekitar pukul 21.00 WIB.
Selain di Unisma, mahasiswa di Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) juga diwajibkan memakai sarung selama mengikuti perkuliahan untuk menghormati sekaligus memperingati Hari Santri Nasional.
Bukan Sekadar Janji
Pengasuh PP Al Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri, KH Reza Ahmad Zahid menegaskan, hari santri yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi bukan sekadar janji politik, namun lebih dalam bentuk menghargai jasa para pahlawan.
“Ini bicara tentang sejarah dan bukan politik. Para ormas yang tidak setuju hari santri itu menilai penetapan itu lebih ke janji politik Pak Jokowi,” kata Gus Reza, sapaan akrabnya saat dikonfirmasi tentang penolakan hari santri.
Gus Reza yang ditemui di Kediri, mengatakan hari santri merujuk pada realitas sosial yang terjadi saat masa penjajahan dulu, di mana sejarah tidak secara utuh membuktikan tentang perjuangan para santri yang ikut mempertahankan NKRI dari penjajah asing.
Ia juga tidak sepakat tentang adanya kekhawatiran adanya pengklasifikasian komunitas di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Clifford Geertz (penulis buku legendaris The Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa).
Clifford berpandangan tentang trikotomi, yaitu abangan, santri dan priyayi ada di dalam masyarakat Jawa, yang sangat berpengaruh. Pembagian itu diusung para ormas yang menolak adanya hari santri.
Reza menilai, adanya sikap tidak setuju oleh sebagian masyarakat karena khawatir adanya perpecahan seperti yang diungkapkan dalam analisis Clifford Geertz itu, sudah usang.
Ia pun yakin, perpecahan umat tidak akan terjadi karena ada kebijakan soal hari santri itu.
“Hemat saya, teori Geertz itu sudah lama dimusnahkan teori yang lain, artinya teori santri, priyayi dan abangan sudah kedaluwarsa, banyak teori baru dicetuskan, maka dari itu kenapa harus berpegangan dengan teori kedaluwarsa?” ujarnya.
Reza juga sepakat dengan sikap Presiden Jokowi tentang hari santri. Secara esensi, hari itu merujuk pada sejarah, sehingga jika berpatokan pada hal tersebut tidak akan ada pemilahan komunitas.
“Siapapun yang beri corak sejarah, maka itu yang dikenang sejarah. Santri adalah komponen masyarakat yang memiliki perjuangan menegakkan sejarah kemerdekaan. Jadi santri punya hak memperingari hari santri,” paparnya.
Ia pun sudah meminta para santri agar tetap menghormati kelompok organisasi masyarakat yang tidak sepakat soal hari santri. Hal itu juga sesuai dengan rekomendasi dari PBNU, yang meminta agar tidak memberikan respons negatif bahkan yang berbau kekerasan pada yang tidak setuju hari santri.
Di PP Lirboyo Kediri, hari santri diperingati dengan sederhana. Para santri baik putra maupun putri mengikuti upacara hari santri dengan mengenakan seragam pondok pesantren.
(MASUKI MA/ENDANG/DESTYAN HS/ANT)