Dalam bidang politik, kosolidasi dan pembangunan demokrasi harus terus dilakukan setiap saat, tidak peduli siapapun pemerintahnya.
Demokrasi sebagai sebuah sistem telah dipilih negara Indonesia sehingga pemerintah mau tidak mau harus dilaksanakan, bukan hanya sekedar formalitas, namun substansinya yaitu kedaulatan rakyat.
Setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam bidang politik khususnya konsolidasi dan pembangunan demokrasi, misalnya ada dua peristiwa yang mendapatkan perhatian publik.
Kedua peristiwa itu adalah pelaksanaan pilkada serentak dan konflik internal Partai Golkar serta PPP yang kemudian banyak pihak menyalahkan pemerintah karena diduga mengintervensi.
Di awal tahun 2015, publik dibuat gaduh dengan dualisme kepemimpinan di Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional (Munas) Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Munas Jakarta yang dikomandoi Agung Laksono.
Di partai berbasis massa umat Islam pun terjadi konflik, yaitu dualisme di tubuh PPP, yaitu hasi Muktamar Jakarta yang dipimpin Djan Faridz dan Muktamar Surabaya dipimpin Romahurmuziy.
Konflik tersebut menimbulkan kegaduhan karena basis dukungan politik antara satu pihak dengan pihak lainnya berbeda.
Misalnya Golkar Munas Jakarta dan PPP Muktamar Surabaya condong mendukung pemerintah (Koalisi Indonesia Hebat). Sementara itu, Golkar Munas Bali dan PPP Muktamar Jakarta mendukung Koalisi Merah Putih.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani menilai evaluasi setahun pemerintahan Jokowi-JK di bidang politik, salah satunya adalah campur tangan pemerintah dalam konflik parpol.
Dia menilai apa yang dilakukan pemerintah dalam konflik parpol itu adalah politik “belah bambu” sehingga memecah soliditas masing-masing internal partai.
“Pemerintah menjalankan politik belah bambu, satu (pihak) diangkat namun satunya diinjak,” kata Muzani.
Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR itu pun menilai kegaduhan politik akibat konflik partai itu menjadi bukti bahwa pembinaan pemerintah terhadap parpol tidak berhasil.
Dia menilai dalam sebuah sistem demokrasi, harmoni harus terjadi terutama antara parpol yang ada sehingga pelaksanaan pemerintahan berjalan baik.
“Situasi kepartaian terjadi disharmoni,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman menegaskan bahwa pemerintah wajib menjalankan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya terkait mekanisme internal apabila partai politik berkonflik.
“Pak Jokowi punya kewajiban untuk menjalankan UU Parpol, kisruh di parpol biar diselesaikan dalam tahap optimalnya yaitu di Mahkamah Partai,” katanya.
Dia mengatakan, Presiden harus ingat bahwa UU Parpol dibuat agar seminimal mungkin intervensi pemerintah dalam sebuah partai politik.
Menurut dia, pemerintah hendaknya tidak menerima apabila ada pihak yang mengadu terkait konflik internalnya dan seharusnya disarankan agar diselesaikan melalui mekanisme internal.
“Jangan sampai proses di partai belum tuntas, lalu ada pihak yang mengadu ke pemerintah dan menerimanya. Pemerintah harus menyarankan agar diselesaikan secara internal,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menegaskan, satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam bidang politik, konsolidasi demokrasi dan politik berjalan semakin kondusif.
Dia menilai apabila ada riak-riak politik, itu terjadi pada dinamika politik di partai politik secara internal, namun para politisi di partai yang sedang mengalami konflik internal berusaha mengait-ngaitkan dengan pemerintah.
“Misalnya, ada yang mengatakan Menkumham telah melampaui wewenangnya karena membuat Surat Keputusan (SK) pengesahan pengurus partai yang sedang konflik,” katanya.
Padahal, ujar dia, dalam hal tersebut, Kemenkumham hanya melaksanakan azas kepastian hukum dan azas pemerintahan yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu Basarah mengatakan, secara umum dinamika politik berjalan dengan baik yang berpijak tidak hanya pada nilai-nilai demokrasi normatif, tetapi juga mewujudkan nilai-nilai demokrasi substansial.
Dia mencontohkan, Indonesia telah berhasil mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
“Pemerintahan Jokowi-JK bersama rakyat secara tegas menolak pilkada tidak langsung,” ujarnya.
Selain itu dia menilai, dinamika politik pelaksanaan tahap-tahap awal pilkada serentak berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Menurut dia, semua lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pilkada telah melakukan tugas sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya masing-masing.
“Khusus institusi di bawah Presiden yang terkait pilkada, yaitu Kementerian Dalam Negeri telah dan sedang merampungkan yang menjadi tanggung jawab Kemendagri,” ujarnya.
Dia mencontohkan, Kemendagri telah menyelesaikan seluruh pembiayaan penyelenggaraan pilkada dengan melakukan sosialisasi pelaksanaannya, pelatihan bagi pemilih pemula di seluruh Indonesia.
Selain itu, menurut dia, Kemendagri juga telah melakukan koordinasi dengan pemda agar memberikan dukungan penuh kepada KPU Daerah yang melaksanakan pilkada.
Penguatan Dukungan Parlemen Sejak awal pemerintahannya, Jokowi-JK mengusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang beranggotakan, PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem dan Partai Hanura. Sementara kelompok oposisi, Koalisi Merah Putih (KMP) diisi Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN, dan PPP.
Secara hitungan matematis, KIH kalah jumlah dibandingkan KMP, karena itu tidak mengherankan konflik internal Golkar dan PPP banyak dinilai sebagai upaya pemerintah memecah suara di internal kedua partai tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ade Komaruddin mengatakan partainya banyak membantu pemerintah di parlemen, dengan mendukung program prorakyat.
Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR itu menegaskan partainya juga tetap memberikan kritik konstruktif apabila ada kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.
“Permasalahan rakyat kami dorong untuk diselesaikan dengan baik, misalnya kontroversi ‘tax amnesty’ yang kami dorong untuk mengurangi beban negara,” katanya.
Ade mengatakan, partainya memahami bahwa peraturan mengenai “tax amnesty” itu tidak boleh bertentangan dengan amanat konstitusi.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menegaskan, satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kallah dalam bidang politik, konsolidasi demokrasi dan politik berjalan semakin kondisif, dengan beberapa indikator yang telah dicapai.
“Di bidang politik telah terjadi konsolidasi politik antara lembaga pemerintah dan parlemen yg semakin kondusif. Diharapkan stabilitas politik tersebut akan menjadi pendukung terciptanya stabilitas ekonomi,” katanya.
Basarah menilai, pada awal pemerintahan Jokowi-JK terjadi dinamika politik di parlemen seperti pembentukan alat kelengkapan di parlemen.
Hal itu, menurut dia, tentu menjadi ranah parlemen dan pemerintah sadar betul bahwa hal tersebut tupoksi parlemen, sehingga pemerintah tidak mencampuri urusan yang bukan menjadi kewenangannya.
Dia menegaskan, secara nasional, pengelolaan dinamika politik di Indonesia berjalan baik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yang berpijak pada Pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu, politikus Partai Nasdem, Luthfi A. Mutty mengatakan isu tentang sosial politik adalah titik konsentrasi publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK, namun dirinya menilai pemerintah berhasil menanganinya.
Dia mencontohkan pemerintah dengan cepat menyelesaikan kasus sentimen agama di Tolikara Papua yang mengakibatkan ada tempat ibadah yang terbakar.
“Kerusuhan serupa yang terkait SARA menurut perhitungan saya jumlahnya sangat banyak di masa lalu,” katanya.
Luthfi mengatakan dalam pengamatannya, tahun 2012 total pengaduan kekerasan yang berhubungan dengan SARA ke Komnas HAM mencapai 58 berkas pengaduan.
Angka tersebut menurut dia, menyusut di tahun 2015 dengan dua kasus kekerasan besar seperti di Tolikara dan di Singkil Aceh.
“Angka terus menunjukkan hasil yang baik, namun pemerintah ke depannya harus bisa meningkatkan itu karena tantangan akan lebih besar,” ujarnya.
Kalangan politisi memiliki beragam pandangan terkait pelaksanaan prinsip demokrasi di setahun pemerintahan Jokowi-JK.
Pemerintahan Jokowi-JK lahir karena dukungan rakyat melalui mekanisme demokrasi, namun bisa saja dijatuhkan oleh sistem itu sendiri. Karena itu kepercayaan publik sebagai “pemegang saham” terbesar pemerintahan Jokowi-JK harus tetap terkonsolidasi dengan baik.
Pelaksanaan demokratisasi dan pembangunan politik harus tetap dijalankan pemerintahan, tentu dengan strategi politik yang sudah dipersiapkan pemerintah namun tetap harus menjunjung prinsip kedaulatan rakyat.
(IMAM BUDILAKSONO/ANT)