Oleh: MH. Said Abdullah
Anggota DPR RI, asal Madura
Konflik mengatasnamakan agama di Tolikara Papua dan Singkil Aceh mengoyak rasa kebangsaan negeri ini. Padahal, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama, seharusnya agama menjadi perisai dan benteng sosial bagi perkembangan masyarakat di Indonesia. Kekuatan negeri ini dari sejak awal kemerdekaan dijalin dari perbedaan suku, agama dan ras. Pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan perbedaan agama semestinya dikuburkan dalam-dalam.
Sungguh ironis apabila ekspresi keyakinan justru ingin menyingkirkan perbedaan atau kebhinekaan yang sudah lama ada. Apalagi iman dari setiap pemeluk agama melarang mengganggu tempat peribadatan pemeluk agama lain. Iman sejatinya mengantarkan umatnya pada sikap toleran dan eksistensi damai. Karena itu, semua pemeluk agama wajib hukumnya menjaga agar agama tidak dijadikan sumber konflik. Agama menuntun manusia pada pencerahan. Apalagi, konstitusi memberi peluang luas bagi seluuh warga berekspresi sesuai keyakinannya.
Bung Karno dalam sebuah pidatonya mengatakan ingin mendirikan satu Negara untuk semua warga. “Semua buat semua. Bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara semua buat semua dari Sabang sampai Merauke!” Semua untuk semua, berarti Indonesia bukanlah hanya untuk umat Islam, bukan hanya untuk umat Kristen, bukan hanya untuk umat Hindu, Budha maupun Konghucu. (Pidato Bung Karno di BPUPKI, 1 Juni 1945).
Fondasi kebhinekaan itu, memberikan pijakan kuat bagi rakyat Indonesia yang berbeda-beda latar belakang untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Fondasi itu sebenarnyalah penopang eksistensi bangsa. Jika kita berbicara Indonesia, kita tidak mungkin melepaskan apa yang disebut kebhinekaan suku, agama dan ras (SARA), sebab ia adalah Ibu Kandung Republik Indonesia.
SARA semestinya bisa dijadikan kekuatan yang mempersatukan republik ini, sebab secara nassion Indonesia terdiri dari gagasan-gagasan yang menitikberatkan pada SARA, tanpa kecuali. Ikatan emosional Indonesia adalah SARA sebagai basisnya. Artinya, perbedaan yang ada di antara masyarakat harus dikelola dengan arif dan efektif, dan sekali lagi meminjam kata-kata Bung Karno, dengan “cara yang berkeadaban.” “Semua untuk semua”, berarti Indonesia tidak bisa hidup dengan apa yang disebut Bung Karno sebagai “egoisme”. Baik “egoisme agama”, “egoisme suku”, “egoisme hak milik. Dan itu sama artinya dengan bersikap hormat-menghormati satu sama lain.
Kekerasan, juga mengingkari amanah kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu kita dengan begitu banyak pengorbanan. Sebagai seorang muslim, tindakan pembakaran gereja dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Gereja adalah rumah Tuhan sebagaimana Masjid bagi ummat Islam adalah rumah Tuhan. Setiap warga di republik ini punya kewajiban iman dan sekaligus ideologis menjaga tempat tempat peribadatan semua pemeluk agama . Bung Karno secara tegas mengatakan republik ini tidak didesain untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk memproteksi mayoritas. Tetapi, republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, siapapun dia.
Keberagaman bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak agama, suku dan golongan, bisa menjadi kekuatan besar. Sangat tidak mungkin kita bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain, yang bisa saja berbeda agama, etnis, paham dan golongan. Jika sesama anak bangsa tak bisa menerima saudara sebangsanya, bagaimana berinteraksi dengan negara lain? Perbedaan harus menjadi energi bagi bangsa Indonesia menuju kejayaannya. [*]