
Sejak satu tahun lalu Presiden Joko Widodo mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan, salah satu konsep yang kerap digaungkan adalah terkait dengan Poros Maritim Dunia.
Poros Maritim Dunia, sebagaimana namanya, tentu kerap terkait, walau tidak seluruhnya dengan kinerja di sektor kelautan dan perikanan, yang terpersonifikasikan dengan wujud Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
KKP sendiri memiliki banyak program. Tetapi yang kerap dibicarakan adalah aksi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam memberantas pencurian ikan, terutama dengan sejumlah tindakan penenggelaman kapal yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.
Seperti terakhir di Batam, Senin (19/10), KKP bersama aparat penegak hukum lainnya kembali menenggelamkan 12 kapal pelaku “illegal fishing”.
“Empat kapal diantaranya merupakan kapal yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkcracht) atau masih dalam proses hukum oleh TNI Angkatan Laut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Susi menegaskan, hal tersebut selaras dengan semangat pemerintahan Presiden Jokowi untuk langsung dilakukan penenggelaman sesuai dengan amanah UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan mengemukakan, dengan alasan penegakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kapal asing pelaku pencurian ikan yang tertangkap tangan sudah sepatutnya langsung ditenggelamkan tanpa perlu melalui proses hukum.
“Kapal-kapal tersebut tentunya telah melanggar kedaulatan NKRI, dengan seenaknya bebas masuk ke wilayah perairan Indonesia tanpa dokumen yang sah. Selain untuk mempercepat mata rantai, hal itu dilakukan untuk memberikan efek gentar kepada para pelaku,” tegasnya.
Menurut Susi, penenggelaman kapal pencuri ikan secara langsung sangat dimungkinkan, sebagaimana Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung No 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal Dalam Perkara Pidana Perikanan.
Dalam surat edaran itu dijelaskan bahwa menurut Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dalam melaksanakan fungsinya, penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan data KKP, selama 2015 telah ditenggelamkan 54 kapal pelaku penangkapan ikan ilegal, sedangkan kapal yang masih dan sudah melalui proses hukum hasil tangkapan KKP, TNI AL, dan pihak terkait lain sebanyak 117 kapal pada 2015.
Kapal-kapal tersebut sebagian besar ditangkap di perairan Laut Tiongkok Selatan atau sekitar perairan Natuna serta perairan Arafura.
KKP juga telah bekerja sama dengan menandatangani kerja sama bersama Kementerian Pertanian dan Sumber Daya Air Australia dalam memberantas pencurian ikan dan melakukan patroli bersama.
“Kerja sama ini diharapkan bisa mencegah terjadinya pencurian ikan di perbatasan Papua Nugini, Timor Leste dan Australia. Sebab sejauh ini Australia sangat membantu Indonesia dalam mencegah terjadinya pencurian ikan,” kata Susi.
Dengan adanya kerja sama itu, ujar dia, maka diharapkan tidak akan ada lagi kapal asing yang mencuri sumber daya ikan di kawasan perairan Republik Indonesia.
Menteri Susi mencontohkan ditangkapnya kapal MV Silver Sea berbendera Thailand yang dibantu ditangkap dengan bantuan pemotretan dari petugas Australia.
“Potret yang kami terima adalah pemotretan hasil patroli mereka. Kerja sama ini akan membuat efek jera bagi kapal-kapal asing,” ucapnya.
Kedua negara juga telah menandatangani nota kesepahaman dan rencana melakukan patroli bersama di sekitar daerah perbatasan Australia-Timor Leste-Papua Nugini dan pengembangan sektor perikanan.
Jangan terpaku Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan pemerintah Presiden Joko Widodo dan segenap jajarannya agar jangan hanya terpaku kepada pemberantasan pencurian ikan tetapi mengutamakan pula peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Presiden Jokowi dan Kabinet Kerjanya tidak boleh terpaku pada urusan ‘IUU Fishing’ (pencurian ikan) semata,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (20/10).
Ia menyatakan bahwa pemberantasan pencurian ikan merupakan upaya kecil dari kewajiban negara dalam rangka menyejahterakan masyarakat pesisir.
Menurut dia, hal yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan dengan kemudahan mobilitas dan kebutuhan pokok yang terjangkau dan berkualitas di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk itu, lanjutnya, hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek antara lain adalah menyambungkan pengelolaan sumber daya laut seperti ikan dan garam dari hulu ke hilir.
Sementara itu, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik memberikan apresiasi kepada pemerintah telah meletakkan pemberantasan pencurian ikan menjadi salah satu isu sentral penegakan hukum di Indonesia.
Namun demikian, ujar dia, meski setahun terakhir pemerintah telah menenggelamkan banyak kapal pencuri ikan, serangkaian tindakan ini masih parsial sehingga belum terlihat akan memberikan efek jera kepada para pelaku pencuri ikan, bahkan belum terasa manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia.
“Hal ini tidak lepas dari belum adanya kejelasan kerangka prioritas, strategi, maupun regulasi mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia,” katanya.
Riza mengemukakan bahwa ada sejumlah indikator minimalisnya kinerja pemerintah dalam hal perlindungan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam setahun terakhir.
Ia memaparkan, indikasi itu antara lain belum ada keberpihakan dalam penyediaan infrastruktur perikanan rakyat dan belum ada pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor perikanan, sebaliknya justru menyusut akibat kebijakan perikanan yang dikeluarkan setahun terakhir tanpa antisipasi dan solusi.
Ketum KNTI juga menyatakan kinerja perekonomian sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2015 ini ternyata nisbi tidak berubah dengan kinerja sektor yang sama pada tahun 2014.
“Kinerja ekonomi, sosial dan industri sektor perikanan kita tidak berbeda secara signifikan dengan tahun lalu,” kata Riza Damanik dalam acara bertajuk “Evaluasi Satu Tahun Poros Maritim” di Jakarta, Senin (19/10).
Dia mengingatkan bahwa dulu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pernah menjanjikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan meningkat lebih dari Rp1 triliun, tetapi saat ini nilainya hanya sekitar Rp300 juta, atau sama seperti tahun 2014 lalu.
Selain itu, ujar Riza Damanik, kinerja serupa yang ada antara tahun 2014 dan 2015 juga dapat dilihat indikasinya antara lain dari nilai tukar nelayan yang mengukur tingkat kesejahteraan nelayan di berbagai daerah.
“Tingkat kesejahteraan nelayan tidak mengalami perbaikan. Tahun 2014 dan 2015, nilai tukar nelayan relatif sama saja, dinamikanya sama saja, tidak ada proses peningkatan pendapatan nelayan, tidak ada perbaikan yang signifikan,” ucapnya.
Tidak hanya terhadap kesejahteraan nelayan, lanjutnya, kinerja pengolahan ikan 2015 juga dinilai nisbi sama dengan tahun 2014.
Berdayakan pelabuhan KNTI juga menyoroti ketimpangan infrastruktur serta sarana dan prasarana antara pelabuhan perikanan yang ada di berbagai kawasan nusantara di Tanah Air.
“Pelabuhan perikanan cukup banyak di Indonesia bagian barat, tetapi di Indonesia bagian timur masih minimalis,” kata Riza Damanik.
Menurut dia, sampai saat ini juga dinilai tidak ada perbaikan-perbaikan untuk membenahi pelabuhan perikanan yang dinilai masih timpang tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengupayakan pemberdayaan 147 pelabuhan yang mangkrak, tidak beroperasi secara optimal, atau masih dalam proses pembangunan.
“Dari 816 pelabuhan di Indonesia sebanyak 669 saja yang jalan. Karena itu sudah waktunya kita memberi ruh pada apa yang telah dibangun. Fisik saja tidak cukup,” kata Plt Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Syarief Widjaja dalam kunjungan selama tiga hari ke sejumlah pulau di kawasan Kepulauan Natuna, Kepri, Senin (12/10).
Penyebab ” mangkrak”, ujar Syarief yang juga Sekjen KKP itu, karena tidak dilengkapi oleh salah satu fasilitas yang seharusnya dimiliki sebuah pelabuhan seperti tempat pengisian bahan bakar, persediaan air bersih, tempat penyimpanan dingin (cold storage), pasar ikan dan sarana pendukung lainnya.
Syarief mengungkapkan, KKP sekarang sedang mengidentifikasi berbagai kekurangan dari pelabuhan-pelabuhan perikanan di seluruh Indonesia dan berupaya melengkapinya agar bisa berjalan optimal, bukan saja sarananya tetapi juga kelembagaannya.
KKP juga akan menyediakan 4.000 kapal kecil 5-10 GT per tahun untuk kelompok-kelompok nelayan di Indonesia mulai tahun depan selama empat tahun dan 200 kapal ukuran 30 GT.
Ia mengatakan pihaknya sudah mengajak 250 galangan kapal di Indonesia untuk membangun kapal-kapal ini yang tipenya dikaitkan dengan ciri khas daerah masing-masing, sebanyak 17 jenis kelompok kapal.
KNTI merekomendasikan agar pemerintah memperluas keterlibatan partisipasi masyarakat nelayan dalam inisiasi program, pelaksanaan, dan pengawasan.
“Tidak boleh lagi ada inisiatif kebijakan maupun program ke depannya keluar tanpa didahului konsultasi publik dan tanpa diikuti dengan alternatif solusi,” katanya.
Guna mewujudkan konsep poros maritim, Riza juga menegaskan agar pemerintah memastikan program-program kerakyatan berjalan tepat sasaran, serta memperkuat penuntasan pemberantasan pencurian ikan dengan memperjelas kebijakan perikanan nasional pascaberakhirnya moratorium.
Kebijakan setelah moratorium antara lain mencakup dengan menagih dan mengembalikan akumulasi kerugian negara yang terjadi selama ini akibat illegal fishing, meningkatkan kapasitas armada perikanan rakyat untuk beroperasi di seluruh perairan Indonesia, serta memperkuat revisi UU Perikanan dalam rangka memberikan sanksi lebih berat terhadap berbagai bentuk kejahatan perikanan.
“Berikan prioritas dan mendukung penyelesaian sejumlah regulasi nasional, di antaranya RUU Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, sejumlah RPP turunan dari UU Kelautan, dan peyelesaian Dokumen Kebijakan Kelautan Nasional sebagai rujukan arah pembangunan Poros Maritim,” katanya.
(MUHAMMAD RAZI R/ANT)