“Tomi, besok pagi kamu ikut saya masang pupuk Urea ke Jagung ya. Hitung-hitung biar kamu belajar dan tau cara masang pupuk”. Aku menyanggupi saja permintaan ibuku. Dalam pikiranku itu pekerjaan mudah. Sehingga, dengan tanpa beban di kepala aku menyanggupinya. Tak ada kabut dalam pikiranku. Aktifitasku sehari-hari hanyalah sekolah. Sepulang sekolah aku bermain ke rumah temanku dengan sepeda ontelku. Kukayuh pedal sepeda menyusuri jalan-jalan sempit. Sesekali aku hanya tertawa aku hanya tertawa ria dengan teman-temanku ketika bersepeda bersama di jalan. Ketika aku disuruh belajar oleh ibuku, aku selalu membalas titahnya dengan kalimat andalanku “Bermain itu penting” aku selalu berkata begitu karena aku selalu teringat judul tulisan pelajaran di sekolah yang berjudul “Bermain Sambil Belajar” ketika masih kelas 2 SD. Namun, tetap terus tergiang di kepalaku sampai saat ini, saat aku duduk di bangku SMA.
Pagi itu, saatnya aku membantu orang tuaku dengan tetap beranggapan “pekerjaan mudah”. Pagi, sekitar jam 06.30 WIB aku sudah berangkat dengan ibuku. Ladangku lumayan jauh dari rumahku, berkisar 2 Km. Dengan berjalan kaki, kami menyusi jalan-jalan kecil berbatu. Ladangku berada di daratan tinggi. Lebih tepatnya berada dibagian paling tinggi. Di sepanjang jalan, mataku kerap kali melihat batu-batu dengan segala keberaniannya menantang mentari, kiri-kanan jalan tampak berjajar dengan rapi pohon jagung, kira-kira setinggi 1 M menurut tafsiranku. Tidak tahu, umur berapa puluh hari pohon-pohon jagung itu. Tanganku masih bersih dari bau pupuk dan dari dunia pertanian seperti ayah-ibuku. Ketika aku berjalan sambil mengamati pohon-pohon jagung di sekitar jalan, dalam benakku terlintas “ah, kalau cuman seperti ini, gampang tinggal masang ke pangkal pohon jagung, tidak ada susahnya”. Tubuhku terus diterpa angin pagi, sedikit dingin namun segar. Mungkin proses fotosintesis di areal pertanian seperti ini berjalan dengan sempurna, saking banyaknya dedaunan hijau. Di setiap pinggir ladang banyak pula pohon-pohon menjulang tinggi. Saya tidak begitu tahu apa saja namanya. Namun yang pasti, orang-orang sekitar menyebutnya panjherran. Ladangku sudah terlihat oleh mata. Di sana, berjajar pohon jagung, hijau dan rimbun. Menurut perkiraanku tingginya sekitar 1 M lebih sedikit. Sepanjang jalan, ibuku tak berbicara sepatah katapun. Baru setelah sampai tempat tujuan beliau angkat bicara. “nih Mi, kamu pakai ember ini, kita langsung mulai saja biar cepat selesai.” aku meraih ember dari tangan ibuku dan mengisinya dengan pupuk Urea yang sedari tadi dibawa ibuku dari rumah. Kuisi penuh emberku. Kupasangi setiap pangkal pohon jagung sedikit demi sedikit. Semakin memasuki lahan, tubuhku semakin hilang ditengah hijau dan rimbunnya pohon jagung. Terus kupasang sambil sedikit membungkuk. Kata ibuku, hal itu agar pupuk tidak berceceran kemana-mana.
Keningku mulai berkeringat. Keringat di tubuhku mulai keluar. Baju bagian punggungku sudah mulai basah dengan keringat. Apa yang kuanggap mudah sebelumnya ternyata tidak seperti kenyataan yang terjadi. Dalam rimbunnya pohon jagung ini kumendengar sorakan para nyamuk, seakan mereka bahagia dengan keadaanku. Sesekali mereka menghisap darahku. Ketepis tubuh berselang itu dengan tanganku. Sesekali pula, aku harus menggaruk lengan dan betisku yang terasa gatal. Entah apa penyebabnya. Mungkin karena bulu-bulu pohon jagung yang hinggap di kulitku yang membuatku gatal. Aku saat itu mengenakan celana pendek, dibawah lutut sedikit dan mengenakan kaos lengan pendek pula, karena sebagaimana pikiran awalku. Semua serba mudah. Pohon jagung yang saya kira hanya berkisar 1 M ternyata salah. Ketika aku berdiri di tengah-tengah rimbunnya pohon jagung, tubuhku hilang. Pohon jagung itu lebih tinggi dariku. Padahal, ketika tinggi badanku diukur di sekolah, tinggi badanku mencapai 142 cm cukup tinggi dibanding dengan teman-teman sekelasku. Kini, aku benar-benar merasakan sebagian perjuangan orang tuaku untukku, untuk kita dan untuk bangsaku, bangsa Indonesia. Keringatku mulai menetes dari ujung hidungku, daguku, yang bersumber dari kening dan semua wajahku.
Pikiranku mulai mengembara kemana-mana. Ke sekolah, ke gedung parlemen, gedung Istana Merdeka sampai para pemimpin negeri ini. Di sekolah jarang sekali saya temui teman-teman, bahkan nyaris tidak ada yang bercita-cita menjadi petani. Kebanyakan mereka menjadi birokrat, DPR, presiden, pilot, polisi, ABRI, dokter, dan kelas-kelas elit lainnya. Padahal, semua itu tidak akan bisa makan tanpa adanya petani. Atas dasar tetes keringat petanilah mereka makan, bukan karena DPR maupun presiden. Begitu hinakah cita-cita menjadi petani yang ulet dan hebat ini bagi meraka? Aku tak mengerti. Mungkin, susahnya menjadi menjadi petani di negeri ini, bukan karena susah menjadi petaninya melainkan susahnya nasib menjadi petani di negeri ini, negeri yang terkenal agraris, subur, potensi alam yang berlimpah ruah. Mungkin karena nasip petani yang selalu kolep, modal dan hasil panen yang tak sesuai. Jika demikian, aku tak ingin menyalahkan teman-temanku karena tak ada yang bercita-cita menjadi petani. Mungkin pula, mereka terlena dengan jabatan tinggi, terutama para pejabat negara yang selalu meminta anggaran ini dan itu yang katanya demi rakyat walaupun nyatanya rakyat melarat.
Dalam pikiranku, aku terus bertanya-tanya, “kenapa ya, para petani kurang diperhatikan oleh para pejabat negara. Padahal, mereka selalu mengorupsi beras kami para petani, kedelai kami, bahkan sapi kami. Kalau tidak ada kami apa yang akan mereka koropsikan?
Seharusnya mereka memanusiakan manusia bukan malah menghinakan manusia. Ah, biarlah. Jika kami melarat kami yakin mereka juga melarat”. [*]
Oleh: Moh. Tamimi
Mahasiswa INSTIK Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.