Aku adalah anak yang ingin hidup penuh kasih sayang di tengah-tengah ketidak sempurnaan lingkunganku. Carok adalah lambang yang sebenarnya tidak perlu di bangga-banggakan sebagai identitas diri sejati. Karena ia adalah awal kehancuran umat manusia. Beberapa tahun silam carok menghabiskan beratus-ratus nyawa. Termasuk korbannya adalah ayahku sendiri. Dan sekarang cekcok itu harus terjadi antara aku dan pamanku.
Pikirnya, aku adalah perampas haknya sebagai pewaris tunggal. Dulu tanah yang letaknya tak jauh dari rumahku itu adalah tanah Bapakku, sekrang tanah itu jadi masalah yang baru. Kata Paman tanah itu adalah tanahnya, yang oleh Bapak dirampas darinya. Tapi kata Bapak, itu tanah Bapak satu-satunya yang diberikan Kakek kepada Bapak. Di mana letak pernyataan yang benar di antara keduanya? Aku yang berusia 17 tahun harus menghadapi masalah yang sebenarnya sama sekali tak aku ketahui.
“Bapakmu telah mengambil tanah itu dariku,” bentak paman dari halaman rumah menuju ke rumahku.
Aku langsung keluar dari kamar yang dari tadi mengerjakan PR Matematika.
“Silakan Paman masuk dulu,” sahutku lembut. Aku tahu apa yang aku jalani saat ini berat. Tapi orang di hadapanku ini adalah pamanku sendiri. Jadi aku harus tetap menghormatinya sebagai pamanku.
“Aku tak peduli siapa kau, jika menghalangi hakku siapapun itu harus segera menyelesaikannya secara laki-laki,” tantang Paman seolah aku bukan keponakannya. Aku serasa orang lain di mata Paman. Ya Allah! Padahal dia satu-satunya wali laki-laki yang aku miliki, yang sepantasnya melindungiku, bukan sebaliknya.
“Iya aku tahu Paman, tapi tak bisa kah Paman bicara baik-baik dengan keponakannya ini?” Aku mencoba tetap tenang. Meski suasana menegang.
Mendengar suara Paman yang seperti guntur, para tetangga berdatangan menuju rumahku. Lima menit kemudian orang-orang sudah mengerumani rumahku. Pak Hamid salah seorang tokoh di desa kami mencoba menasehati Paman Suleman.
“Dek Man, bisa kah kau rembuk dengan kami masalahmu dengan keponakanmu?” teriak Pak Hamid dari luar pagar rumah.
“Jangan ada yang coba-coba melawati pagar, atau lehernya akan luka.” Ancam Paman dengan sangat geram. Sepertinya setan telah mengusai Paman.
Orang-orang yang menyentuh pagar itu kemudian serentak mundur perlahan. Mungkin mereka takut dengan ancaman Paman. Aku yang hanya memakai kaos bola berwarna biru dan celana pendek tetap duduk di kursi tamu yang letaknya di serambi rumah. Tiba-tiba Paman meloncat dati halaman rumah yang setadi berdiri di dekat jemuran pakaian.
Ya Allah! Paman mengeluarkan celurit dari balik jaketnya. Ia langsung melayangkan celurit dari samping kiriku menuju kepalaku. Untung aku secepat kilat merunduk. dan menerjang meja keras-keras sampai mengenai lutut paman. Orang-orang pada menjerit semua. Mereka tak bisa melakukan apa-apa. Sedangkan Ibuku pingsan melihat kejadian histeris ini.
Aku segera menjauhkan diri dari Paman, dengan segera Paman lepas dari hadangan meja itu. Paman menghampiriku ke arah barat. Paman kembali melayangkan celuritnya, celurit itu langsung datang dari atas kepalaku. Dengan cepat kumelangkah ke depan Paman, menghindari serangan. Tanganku menangkis lengan Paman, aku ingin menjatuhkan celurit Paman. Tapi celurit itu begitu erat di genggamannya. Paman langsung mengarahkan siku kirinya dan mengenai dadaku. Akupun terpelanting ke lantai. Aku mundur beringsut dan berdiri. Tapi celaka, celurit tak mampu aku bendung lagi, ia mengenai lengan atasku. Aku terluka, darah berceceran ke tanganku lalu menetes ke lantai. Rupanya kemampuan pancak silatku yang aku peroleh dari sekolah belum mampu mnghindari serangan Paman.
Semua mata menatap kosong, mulut menjerit memenuhi suasana rumah. Aku tersimpuh dan berteriak sekeras-kerasnya.
“Berhenti Paman……..!!!!!!! Aku sudah bilang, kalu kita bisa bicara secara kekeluargaan ingin kumemberikan tanah itu, tanpa harus darah berbicara seperti ini.” Badanku lemah, mataku menatap orang-orang meloncat pagar.
Melihat aku kritis Pak Hamid dan beberapa orang berhasil masuk dan langsung menahan paman, mengambil celuritnya. Aku pun pingsang tak kuat menahan darah yang terus bercucuran.
***
Sudah seminggu aku dirawat di rumah sakit. Kulihat orang-orang di sampingku. Di situ ada Ibu meneteskan airmata. Bagiku airmata itu adalah mutiara yang tak pantas jatuh begitu saja. Tak terasa airmataku membasahi pipiku melihat keadaan mata ibuku bengkak. Di sebelah Ibu ada istri Paman. Ia memelas wajahnya melihat keadaanku, lalu sesenggukan keluar dari Bibik Suleha.
“Kenapa ini harus terjadi, Nak Rahman? aku tidak tahu waktu Pamanmu kerumahmu, dan setelah itu aku hanya mendengar kalau di antara kalian cekcok berdarah.” Suara Bibik Suleha sepertinya menyalahkan diri sendiri “ Sekarang Pamanmu sudah di penjara,” Lanjut Bibik.
Aku kaget mendengar perkataan Bibik. Aku tetap tak ingin ada dendam di antara aku dan paman. Lingkunganku dari dulu memang penuh darah. Dan sampai sekarang aku masih menyimpan baju ayah yang berdarah itu, tujuannya bukan untuk balas dendam. Tapi itu sebagai lambang bahwa tragedi berdarah itu menyakitkan. Dan dengan rasa sakit itu, aku ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa dalam keadaan sakitku aku bisa hidup penuh damai dalam lingkungan separah apapun tanpa ada dendam dan mendendami.
“Aku rindu, Paman!” [*]
Cerpen: Ebid El-Bary
Lahir di Batu Mar-mar. Buku puisinya adalah ”Senja Berlayar Membidik Fajar”, “Cahaya Jingga”. Akif di berbagai event kepenulisan.