
Sulit dibayangkan jika Sjafruddin Prawiranegara tidak berinisiatif mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat agresi militer Belanda ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Ketika itu, pemerintahan Indonesia nyaris tidak berfungsi.
Dalam kondisi tegang dan mencekam tersebut, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang ditangkap Belanda melakukan rapat kilat memutuskan mengirim kawat kepada Sjafruddin Prawiranegara berisi mandat membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.
Sjafruddin yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Sumatera bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr TM Hasan, kemudian bersepakat membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 22 Desember 1948, di Halaban, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.
Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam suatu seminar menceritakan terjadi dialog Sjafruddin dengan TM Hasan yang saling menolak memutuskan siapa yang akan jadi pemimpin PDRI.
Sjafruddin meminta TM Hasan yang menjadi pemimpin/ketua, namun menolak dan mengatakan Sjafruddin lebih tepat memimpin PDRI. Setelah saling tolak-menolak, akhirnya diputuskan Sjafruddin menjadi pemimpin PDRI.
“Coba bayangkan jika hal itu terjadi hari ini, pasti kita akan berebut, apalagi untuk jabatan sekaliber kepala negara, membayar pun kita pasti mau,” kata Gamawan.
Namun, kata Gamawan, untuk jabatan strategis tersebut mereka saling tolak-menolak.
“Kiranya ini sebuah pelajaran tentang keikhlasan, yang bisa kita teladani, terutama bagi pemimpin saat ini,” katanya.
Seusai agresi militer tersebut, Belanda mengira eksistensi Indonesia telah berakhir dan posisi legal perwakilan RI di PBB bisa dipertanyakan. Namun, berkat PDRI, posisi Indonesia di PBB tidak bisa digugat.
PDRI telah menjadi pusat komunikasi RI dengan luar negeri sehingga dunia tetap mengetahui perjuangan rakyat Indonesia.
Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana ketika itu PDRI tetap berjuang untuk menegakkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia.
Saat itu, sarana dan prasarana sangat minim, namun selama 207 hari Sjafruddin melakukan berbagai upaya untuk menegakkan eksistensi negara ini.
Kalau dibandingkan dengan pejabat saat ini, kata Gamawan, tidak ada apa-apanya. Waktu itu pejabat seperti Sjafruddin dalam bertugas ke mana-mana tidak difasilitasi dengan SPPD (surat perintah perjalanan dinas).
“Namun mereka dengan ikhlas dan penuh pengorbanan tetap berjuang. Sedangkan pejabat hari ini meskipun ke mana-mana sudah dibekali SPPD dan beragam fasilitas, terkadang masih mengeluh dalam bekerja,” kata dia.
Kemudian, pada 13 Juli 1949, Sjafruddin dengan ikhlas mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta. Penyerahan ini memang dilematis karena sejarah mencatat mandat yang dikirim melalui kawat tersebut tidak pernah sampai kepadanya.
Banyak yang mempersoalkan, apakah Sjafruddin merupakan “Ketua PDRI” atau “Presiden PDRI” , namun ia tidak pernah mempersoalkannya. Baginya PDRI telah berkontribusi, berjuang dan berkorban bagi bangsa ini.
“Nilai keteladanan yang bisa diambil bangsa ini, dengan ikhlas Sjafruddin menyerahkan sebuah jabatan yang sangat prestisius karena merasa sudah waktunya pemerintah berdaulat kembali memimpin Indonesia,” kata dia.
Selamatkan Indonesia Sementara Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan Sumbar merupakan daerah yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena saat negara dalam keadaan krisis, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dideklarasikan di daerah ini.
“Posisi Sumbar yang sangat penting dalam sejarah bangsa, sama halnya dengan Surabaya. Karena itu, saat presiden mengikuti peringatan di Surabaya, saya di Sumbar,” kata dia usai menjadi inspektur upacara peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2015 di halaman kantor Gubernur Sumbar.
Ia mengingatkan agar masyarakat Sumbar tidak melupakan sejarahnya dan menjadikannya sebagai pendorong untuk menjadi lebih baik di masa datang.
Lebih lanjut, ia mengatakan, semangat perjuangan para pahlawan yang telah mengorbankan harta dan nyawa untuk kemerdekaan bangsa masih sangat relevan untuk digunakan saat ini.
“Semangat perjuangan yang pantang menyerah itu, jika diterapkan saat ini, akan bisa membawa bangsa kita menjadi bangsa yang kuat, yang disegani oleh bangsa lain,” ujarnya.
Gubernur Sumatera Barat periode 2010-2015 Irwan Prayitno, mengemukakan Sjafruddin merupakan pribadi yang memiliki integritas, multitalenta, kritis, tegas, dan terbuka.
Menurut dia, tugas yang dilakukan Sjafruddin sebagai ketua PDRI selama 207 hari merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjuangan bela negara.
Yang Dipinggirkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam suatu seminar mengemukakan, PDRI merupakan tonggak peristiwa sejarah penting, yang selama ini terlupakan serta dipinggirkan.
“Banyak yang tidak mengetahui sejarah PDRI, seolah-oleh PDRI tidak pernah terjadi,” katanya.
Padahal, Sjafruddin Prawiranegara adalah seorang pendiri republik, tokoh bangsa yang berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahankan republik Indonesia.
Faktanya, Sjafruddin pernah mendirikan PDRI, atas mandat dari Presiden Soekarno, di tengah ketidakberdayaan republik akibat agresi militer Belanda.
Dia menilai, PDRI telah memberikan pelajaran betapa untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membutuhkan banyak pengorbanan.
Karena itulah, Pemerintah Provinsi Sumbar sedang membangun Museum Bela Negara di Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, sebagai simbol perjuangan PDRI.
Proses pembangunan Museum dan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi, Limapuluh Kota tersebut telah dimulai sejak tahun 2012 dan direncanakan selesai secara keseluruhan pada 2017.
Kompleks Museum dan Monumen Bela Negara yang berdiri di atas tanah seluas 20 hektare tersebut terdiri dari bangunan museum, monumen, masjid, penginapan, plaza, restoran dan gerbang dengan biaya sekitar Rp 579 miliar.
(IKHWAN WAHYUDI/ANT)