JAKARTA, koranmadura.com – Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengingatkan elit politik agar tidak terus menerus mempolitisasi dana desa. Peringatan ini disampaikannya menyusul masih ada tarik menarik kepentingan antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Ini mau meningkatkan desa atau mempolitisasi desa, karena bahasa-bahasa yang digunakan selalu menunjukkan kamuflase,” katanya dalam dialog kenegaraan “Pencairan Dana Desa Menjelang Pilkada Serentak 2015” di Jakarta, Rabu (11/11).
Sejak awal katanya, rebutan kewenangan antara kedua kementrian itu sangat kentara sekali soal urusan desa. “Masalahnya sekarang ini Kemendes diberi kewenangan mengelola uanganya, sedangkan Kemendagri yang sudah lama mengelola desa, hanya kebagian mengurus administrasinya saja,” ujarnya.
Wiwik-sapaan akrab Siti Zuhro, mengaku khawatir dengan penggunaan dana-dana desa ini malah memunculkan koruptor-koruptor baru, seperti yang terjadi pada dana bansos. “Kita kasihan dengan kepala-kepala desa. Jangan sampai yang terjadi malah copy paste dengan kepala-kepala daerah yang berurusan dengan Kepolisian dan Kejaksaan,” tambahnya.
Sementara itu anggota DPD RI Abdul Azis Kafia mengakui ada kegagalan pemerintah dalam menyalurkan dana desa. Karena di lapangan ada tarik ulur dan kepentingan antara Kemendes dan Kemendagri. “Yang lebih parah lagi dikhawatirkan dana desa ini malah jadi kuda tunggangan,” terangnya.
Namun demikian, Azis tak membantah proses dan mekanisme pencairan dana desa ini sangat sulit. Malah ada sebuah daerah yang justru menolak dana desa. “Meski sulit dicairkan tetap saja dana desa ini sangat sensitif, saat menjelang Pilkada 9 Desember 2015. Karena bukan tidak mungkin incumbent akan menjadikannya sebagai amunisi,” imbuhnya.
Sementara itu Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan hingga kini, sejumlah Rp12 triliun dana desa mengendap di kas kabupaten karena masih banyak desa yang belum siap mengelola dana tersebut.
Menurut Bambang pada sosialisasi dana desa di wilayah Kabupaten Barito Kuala, Banjarmasin, Selasa (10/11), di 2015 pemerintah pusat melalui APBN menganggarkan dana desa sebesar Rp16,6 triliun, namun hingga Oktober 2015 baru Rp4,9 triliun yang terealisasi sampai ke desa.
Kondisi tersebut terjadi, karena hingga kini banyak desa yang belum siap dengan program untuk mengakses dana sesuai ketentuan yang ditetapkan. “Ya kita bisa memaklumi minimnya penyerapan dana desa, karena ini masih yang pertama, kami harap pada 2016 sudah ada perbaikan,” ungkapnya.
Sementara itu, Mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansjah Djohan menegaskan dana desa itu sudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik sejak Pemilu Legislatif (Pilleg) Juli 2014 lalu. Buktinya, dana desa ini menjadi iming-iming untuk setiap desa dalam pencalegan dan Pilpres 2014 itu. “Makanya dana desa ini menjadi gula-gula, termasuk digunakan incumbent dalam Pilkada,” katanya dalam dialog kenegaraan “Pencairan Dana Desa Menjelang Pilkada Serentak 2015” di Jakarta, Rabu (11/11).
Namun Djo-sapaan akrabnya tidak yakin dana desa saat ini bisa dipolitisasi. Karena prosesnya agak rumit. Apalagi dana desa itu banyak berhenti di kabupaten/kota. “Bupati dan wali kota tidak bisa serta-merta mencairkan dana desa tersebut sebelum melengkapi dokumen-dokumen yang disyaratkan,” cetusnya
Djohermansyah mengingatkan elit politik tak boleh main-main dengan penggunaan dana desa. Karena dalam APBN 2016 dana desa yang masuk dalam dana transfer daerah mencapai mencapai Rp 770 triliun.
Djohermansjah yakin dana desa saat ini makin sulit disalahgunakan karena dua sebab, yaitu belum turun semua karena terhambat masalah teknis adminsitratif perangkat desa dan peluang order kepentingan bagi petahana tidak mudah, meski politik itu seni segala kemungkinan. “Kalau boleh usul, pola PNPM Mandiri ini lebih bagus, karena kepala desa hanya cukup mengetahui. Tapi kalau dana desa langsung ditken oleh kepala desa,” pungkasnya.
(GAM/ABD)