10 November kemarin kita rayakan sebagai Hari Pahlawan. Tanggal tersebut merujuk pada pertempuran sengit antara tentara dan rakyat Indonesia dengan tentara Inggris dan Belanda di Surabaya pada tahun 1945. Ribuan korban berjatuhan dari pihak Indonesia dalam peristiwa yang tercatat sebagai perang terbesar dan masif setelah proklamasi kemerdekaan itu.
Dalam pertempuran tersebut, pejuang Indonesia berasal dari lintas sektor. Tokoh-tokoh agama dan kiai-kiai pesantren seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah juga terlibat memimpin gerakan-gerakan perlawan bersama para santrinya.
Dan pada Kamis (5/11) lalu, jelang peringatan Hari Pahlawan, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Bernard Wilhem Lapian (alm), Mas Iman (alm), Komjen Pol Moehammad Jasin (alm), I Gusti Ngurah Made Agung (alm) dan Ki Bagus Hadikusumo (alm). Penganugerahan gelar tersebut dilakukan di Istana Negara. Kelimanya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional lewat keputusan presiden (Keppres) 116/TK Tahun 2015. Mereka dianggap berjasa pada negara, sehingga dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Anehnya, spirit kepahlawan dari sederet pahlawan itu nyaris tidak dicontoh oleh generasi penerus bangsa. Tiap hari, televisi, koran, internet, dan media lainnya, terus memproduksi liputan-liputan tentang kebobrokan kehidupan bangsa ini dari berbagai lini. Dunia politik gaduh dengan masalahnya sendiri; tentang korupsi, tentang kenaikan gaji, tentang revisi UU KPK, tentang selfie ketua DPR dengan bos judi Donald Trump, dan sebagainya. Di pemerintahan pun sama belaka. Kegaduhan-kegaduhan juga terus diproduksi, misalnya tentang rencana kenaikan tarif dasar listrik, tentang gonjang-ganjing perpanjangan kontrak Freeport, tentang nilai tukar rupiah yang anjlok, dan seterusnya. Aparat kepolisian dan TNI juga memiliki keributannya sendiri, semisal tentang pengungkapan perusahaan pembakar hutan, tentang salah satu anggotanya yang menembak masyarakat sipil, tentang suap-menyuap, dan lain-lain.
Melihat dari masih banyaknya masalah yang membelit negeri ini, nilai-nilai kepahlawanan tampaknya tetap relevan untuk terus digelorakan. Penjajah dari negara lain memang sudah lama meninggalkan negeri ini, tapi panjajahan oleh petinggi-petinggi negeri sendiri makin hari kian sistemik.
Dari Ruang Keluarga
Sampai saat ini, korupsi masih menjadi masalah paling krusial di negara kita. Tahun 2014, Transparency International mencatat peringkat korupsi Indonesia masih berada di urutan ke 107 dari 175 negara. Posisi itu jauh berada di bawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85). Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste (113), Laos (145), serta Kamboja dan Myanmar (156).
Korupsi di negara ini memang bersifat masif. Ia tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi juga di daerah-daerah. Dalam lingkup keluarga pun, tindakan-tindakan kecil yang mengarah ke korupsi kerap terjadi.
Sebegitu meratanya praktik korupsi ini membuat penindakannya sulit dilakukan. KPK hanya menangani kasus-kasus besar karena keterbatasan pegawai dan pembiayaannya. Kasus-kasus kecil nyaris tak tersentuh. Sementara institusi penegak hukum lainnya sudah ternoda oleh praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di dalamnya, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan. KPK satu-satunya yang masih menjadi harapan dalam penegakan kasus korupsi ini karena lembaga tersebut sampai saat ini masih terbilang paling bersih.
Menggantungkan harapan kepada KPK satu-satunya tentu bukan tindakan yang cukup baik. Kita sebagai rakyat Indonesia juga bisa berkontribusi terhadap pencegahan korupsi. Peran yang cukup penting bagi kita adalah menanamkan nilai-nilai anti korupsi dalam lingkup keluarga.
Korupsi terjadi karena dua hal, yaitu sistem dan nilai moral. Peran keluarga bisa mengambil posisi dalam membenahi nilai-nilai moral tadi. Orang tua bisa membangun sikap anti korupsi kepada anak-anaknya dengan cara menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan.
Meutia Hatta, anak sulung Bung Hatta, suatu hari di gedung KPK pernah mengisahkan tentang pendidikan anti korupsi yang dilakukan orang tuanya terhadap keluarganya. Ia berkisah bahwa ayahnya, yang menjabat Wakil Presiden waktu itu, selalu menunjukkan kepadanya bahwa mobil dinas Wakil Presiden hanya boleh dipakai oleh sang ayah. Ibunya hanya boleh menumpang bila ia bersama sang suami. Bila tidak, maka harus menggunakan mobil pribadi.
Sejak kecil Meutia juga diajari untuk selalu jujur. Barang-barang belanjaan rumah tangga yang dibelinya harus dicatat dengan baik. Bila terdapat sisa uang dari hasil belanja, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada orang tuanya. Dan bila jumlahnya kurang, maka tak ada toleransi, ia harus mengembalikannya secara utuh.
Tindakan-tindakan yang dicontohkan Meutia Hatta di atas memang terkesan kecil, tapi sebetulnya ia bisa berdampak besar terhadap pembentukan karakter anak saat sudah besar. Bagaimanapun, anak adalah masa depan negeri ini. Mereka yang akan mewarnai perjalanan bangsa ini di masa depan. Maka, Hari Pahlawan saat ini bisa kita jadikan sebagai momentum untuk mendidik anak-anak kita agar warna yang mereka torehkan kelak di kanvas sejarah negeri ini tidak coreng-moreng. [*]
Oleh: Affandi Ubala
Ketua Umum Pimpinan Daerah (PD) Pemuda Muhammadiyah Sumenep