Aku terpaku melihat seorang lelaki bermuka masam yang duduk berhadapan denganku yang sejak keberangkatan kereta dari stasiun pasar turi selalu menatap ke luar jendela. Ia diam, diam, diam, dan selalu saja diam seolah tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali diam. Tatapannya kosong entah sedang memperhatikan apa. Entah apakah ia sedang melihat awan kelabu yang masih mengandung butiran-butiran bayi hujan. Atau, ia melihat permadani cakrawala yang kini tampak hijau kuning keemasan berkat sepuhan sinar matahari jingga. Ketika kutanya apa yang sedang ia lakukan, ia menjawab, “aku sedang menunggu senja.”
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar jawaban yang ia lontarkan itu. “Menunggu senja?” Pertanyaanku mengawang-awang tak jelas bunyinya.
Sekilas ia melirikku, lantas memalingkan kembali pandangannya ke luar jendela.
“Ya. Menunggu senja.” Ia tersenyum kecut. Wajahnya semakin masam tak karuan.
“Aku sedang menunggu senja.” Ia berujar lirih mengulangi kalimatnya tadi. Kulihat sorot matanya yang sayu menatap nanar pemandangan di luar sana. Hampa.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Sementara itu, kereta yang kami tumpangi melesat maju menerabas hamparan sawah-sawah serta ladang-ladang tak bertuan. Kereta ini melesat cepat, lebih cepat, dan semakin cepat demi mengejar waktu agar tiba di stasiun tujuan akhir sesuai dengan jadwal kedatangan yang telah ditentukan. Gerbong-gerbong bergoyang kadang ke kiri, kadang ke kanan. Gerbong-gerbong yang bergoyang itu sama-sama membuat suara gaduh, ber-jegelek-jegelek-jegelek ria.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
“Maafkan aku bila aku lancang padamu. Namun, sepertinya kau sedang dililit masalah.” Aku berkata hati-hati, takut-takut menyinggung perasaannya.
Sekilas ia melirikku lagi. Sejenak ia memandangku sinis acuh tak acuh.
“Maaf,” ujarku kaku. “Aku tak bermaksud untuk mencampuri urusanmu,” imbuhku.
Lelaki bermuka masam itu mendesah pelan. Pandangannya ia lempar kembali ke luar jendela. Di perbatasan ufuk, matahari memerah dan mulai menenggelamkan diri. Sinarnya menciptakan bayang-bayang hitam memanjang dari setiap benda yang disentuhnya. Burung-burung yang terbang bergerombol pun tampak sebagai noktah-noktah hitam yang bergerak beriringan menuju ke arah selatan, ke arah hutan yang tampak hitam.
Hening mencuri waktu kami beberapa saat kemudian.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Gerbong kereta yang kami tumpangi masih bergoyang-goyang kadang ke kiri kadang ke kanan mengikuti jalur rel kereta yang bantalannya dilindas roda-roda besi yang terus saja berputar dan berputar. Kulihat orang-orang di sekitar sudah terlelap tidur. Satu-dua masih sibuk bermain gadget-nya. Dua-tiga hilir mudik pergi ke sambungan kereta. Sisanya, hanya Lelaki bermuka masam itu yang setia menatap ke luar jendela.
Hm. Setelah kuperhatikan lamat-lamat, aku jadi penasaran. Mengapa mendung yang menggelayut di wajah Lelaki itu tak kunjung sirna? Bila ditilik dari ekspresinya yang dingin, aku yakin bahwa Lelaki itu sedang tergores hatinya. Duhai, tapi, siapakah yang tega membuatnya sedemikian rupa? Hingga ia seakan tak sudi terlelap, lantas menjaga mendung yang menggelayut itu tetap bergelayut di paras wajahnya.
Hm. Duhai, wanita manakah yang telah memporak-porandakan relung hatinya?
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Matahari setengah tenggelam. Langit timur mulai gelap membiru keungu-unguan. Langit tengah masih merah bercampur jingga. Langit barat entah kuning entah abu-abu, awan-awan bergumpal berwarna kelabu. Sayangnya, Lelaki berwajah masam itu kini termangu. Matanya berkaca-kaca. Rahangnya mengeras. Mulutnya mengatup semakin rapat. Dan ia masih saja diam, diam, dan selalu diam seakan tak ada yang bisa ia lakukan selain diam. Seakan diam adalah harga mati untuknya.
“Ehm.” Aku berdehem, berharap kesunyian di seat kami segera minggat. Ia menoleh sesaat. Aku memasang senyum malaikat.
“Maaf, Mas.” Aku memberanikan diri membuka pembicaraan lagi. “Urusan hati memang rumit dibahas. Masalah perasaan memang sulit diungkapkan. Tapi, ada baiknya bila hati sedang gundah, Mas mengungkapkannya. Tidak baik masalah itu disimpan. Jangan sampai ia membelenggu diri Mas sendiri.” Aku berujar mantap, tak peduli apakah ia menerimanya atau tidak.
Lelaki itu tak menggubris. Kulihat ia sama sekali bergeming. Ia tak ubahnya patung. Ia tak ubahnya batu.
Hening menyelinap sesaat.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
“Hhhh.” Aku menghela nafas panjang. “Ya sudahlah, Mas.” Aku tersenyum kecut. “Maaf telah mengganggu…”
“Apa yang kautahu tentang hati yang tergores luka?” Tiba-tiba saja ia memalingkan wajahnya. Sembari menatapku, kulihat airmata keluar dari ujung kedua sudut matanya. Akhirnya, mendung yang menggelayut itu, sirna. Lalu, kini, tetesan air mulai jatuh di wajahnya.
Aku terperangah. Ia menangis?
“Apa yang kautahu tentang hati yang kini membatu dan tak bisa melumer seperti sedia kala?” Ia berkata lagi. “Apa yang kaukenal dari seorang lelaki yang ditinggal pergi oleh kekasihnya?” Alisnya seperti menyatu-padu. Matanya sembab berlinang airmata. Ah! Ia benar-benar menangis!
Aku memilih diam dan menenangkan diriku sendiri lantas mencoba mendengarkan baik-baik apa yang akan dikatakan Lelaki itu.
Ia terisak. Ia lalu kembali menatap kosong ke luar jendela.
“Mengapa aku menunggu senja? Mengapa? Kautanya aku mengapa aku menunggu senja?” Ia berkata cepat, hampir tak jelas. “Aku sebenarnya berharap senja tak akan datang hari ini! Sedari tadi aku hanya memastikan, bahwa harapanku itu benar-benar terjadi! Meski, kutahu, senja pasti akan datang sesaat lagi!”
Kudengar nafasnya berderu samar. Lelaki itu mengusap airmatanya.
“Senja?” Aku berkata pelan. Alis sebelah kananku naik. “Ada apa dengan senja?”
Lelaki itu menoleh. “Seseorang akan menikah.” Suaranya bergetar. “Senja ini, Alena akan menikah.”
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Aku terdiam tak tahu apa yang mau dikata. Lelaki itu terus mengoceh mengungkapkan masalahnya.
Alena, seorang wanita yang telah menjadi kekasihnya selama empat tahun, wanita yang ia janjikan akan dilamarnya bulan depan tepat di hari ulang tahunnya, minggu lalu memberinya kabar buruk. Sebulan yang lalu, seorang lelaki telah datang pada ayahnya untuk meminang dirinya. Katanya, lelaki itu telah banyak berjasa pada keluarganya. Lantas, ketika lelaki itu datang menemui ayahnya dan meminang dirinya, sang ayah langsung menerima begitu saja. Alena, yang tak bisa menolak permintaan ayahnya untuk menerima pinangan lelaki tersebut, mau tidak mau, menerima pinangan itu.
Minggu lalu, saat Lelaki bermuka masam bertemu dengannya, Alena menangis tersedu-sedu, meminta maaf. Lelaki itu hanya bisa diam, mencoba tersenyum dan menegarkan hatinya. Nyatanya, hatinya remuk-redam. Apalagi, saat Alena memberikan surat undangan perkawinannya. Lelaki itu hanya bisa memasang topeng wajah tersenyum lebar, yang membuat hati Alena juga ikut remuk-redam. Alena pun jatuh menangis dan memeluknya.
“Aku baik-baik saja, Alena.” Ujar Lelaki itu dingin. “Aku baik-baik saja.”
“Maafkan aku, Rei. Maafkan aku. Aku tidak bisa menolak permintaan Ayah. Kautahu sendiri, Ayah sakit-sakitan…”
“Aku baik-baik saja, Alena!” Lelaki itu berkata tegas.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Hhh. Aku menghela nafas panjang sekali lagi. Urusan hati memang rumit.
“Lantas, mengapa kau pergi, Rei? Apakah kau baik-baik saja?” Aku bertanya prihatin.
Lelaki yang bermuka masam itu, Reihan namanya, menatapku datar. Ia memasang topeng wajah tersenyum lebar. Ia tertawa pelan seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.
“Aku hanya ingin pergi. Dan jangan pernah kautanyakan keadaanku. Aku baik-baik saja. Sungguh, aku baik-baik saja.” Ia berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Jegelek. Jegelek. Jegelek.
Sementara itu, matahari sudah tenggelam dan langit memasang jubah kegelapannya. Senja telah tiba.
Kulihat, Reihan, menatap kosong ke luar jendela. [*]
Oleh: Faris Maulana Akbar
Seorang perantau yang sedang menempuh pendidikan di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.