Tinggal menghitung hari, pasar bebas ASEAN akan segera diberlakukan untuk negara-negara di Asia Tenggara. Seperti yang kita ketahui, tujuan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini sendiri sangatlah ideal dan indah, yakni meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN sekaligus membentuk kawasan ekonomi antarnegara Asia Tenggara yang kuat.
Persiapan menghadapi era perdagangan bebas ASEAN sudah lama dilakukan pemerintah di negara masing-masing, tak terkecuali Indonesia. Sejauh mana persiapan yang dilakukan selama ini telah berjalan efektif? Kalau sudah baik, Indonesia tidak perlu khawatir menghadapi persaingan antarnegara yang akan bergulir per 1 Januari 2016.
Pertanyaannya, benarkah masyarakat dan semua komponen terkait di negeri ini sudah siap memasuki era perdagangan bebas ASEAN? Apa pun jawaban dan kondisinya, pada akhir 2015, semua harus siap. Ini karena pada awal 2016, di seluruh negara ASEAN akan berlaku peraturan aliran bebas investasi, jasa, barang, tenaga kerja terdidik dari dan ke masing-masing negara.
Ketika MEA diberlakukan, tidak ada lagi alasan bagi Indonesia untuk tidak siap. Siap atau tidak siap, Tanah Air harus masuk arena bertarung. Negara-negara lain akan berusaha dan bergerak cepat guna memanfaatkan peluang pasar yang telah disepakati bersama.
Kita tentu saja sedikit prihatin dan tetap ketar-ketir menghadapi era perdagangan bebas ini. Apalagi, Indonesia memiliki banyak kendala dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, terutama dari aspek daya saing. Dalam beberapa tahun belakangan ini, negeri ini bahkan tidak lepas dari berbagai kegaduhan. Dampaknya, banyak instansi yang tidak fokus dalam menjalankan tugas, terutama sejumlah kementerian yang bertanggung jawab dalam hal peningkatan kualitas dalam rangka memanfaatkan peluang besar MEA.
Selama ini, pemerintah mengklaim sangat serius dalam menyosialisasikan manfaat MEA maupun dampaknya bagi masyarakat dan negara jika diberlakukan. Untuk itu, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 11/2001 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru MEA. Dalam cetak biru itu ditetapkan 12 sektor prioritas yang menjadi unggulan bagi Indonesia dalam menghadapi MEA. Poin-poin dalam cetak biru itu menjadi pedoman bagi semua pihak terkait untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk atau jasa tersebut.
Sektor yang menjadi prioritas dimaksud, yakni tujuh sektor barang berupa industri agro, otomotif, elektronik, perikanan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, dan tekstil. Di samping itu, ada lima sektor bidang jasa, yaitu transportasi udara, kesehatan, pariwisata, logistik, dan teknologi informasi. Semua sektor tersebut pada era MEA akan terimplementasi dalam bentuk pembebasan arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja.
Meski ada 12 sektor unggulan yang dipersiapkan, belum ada satu pun yang meyakinkan bagi Indonesia. Jauh sebelum MEA dilakukan, misalnya, Indonesia sudah diserbu sejumlah produk-produk dari negara-negara lainnya, terutama dari Tiongkok, yang membanjiri semua pasar di Indonesia. Dengan era perdagangan bebas, bukan tidak mungkin pasar kita semakin dibanjiri produk-produk luar negeri.
Oleh karena itu, sosialisasi tetap perlu digencarkan pemerintah. Jadi, masyarakat benar-benar siap dengan langkah-langkah yang tepat. Pemerintah, misalnya, harus tetap menggencarkan pemakaian produk-produk dalam negeri kepada masyarakat, di samping meningkatkan kualitas produknya supaya mampu bersaing global. Jadi, yang diuntungkan adalah bangsa sendiri. Hal ini penting sebagai penangkal agar masyarakat tidak mudah tergiur produk asing. Hal serupa dilakukan negara-negara ASEAN lainnya.
Sejauh ini berdasarkan pemantauan, masih terdapat banyak kelemahan Indonesia dalam menghadapi MEA. Kendala itu terutama dalam daya saing produk dari sisi kualitas. Ada juga faktor ekonomi karena biaya tinggi karena dan infrastruktur. Maraknya korupsi, faktor perizinan, dan lain sebagainya ikut melemahkan Indonesia. Banyak kendala yang masih perlu dibenahi untuk memperkuat industri dalam negeri sehingga mampu meningkatkan daya saing.
Oleh karena itu, wajar jika masih banyak pendapat yang menyatakan, Indonesia belum siap menghadapi MEA 2015. Hal ini menandakan masyarakat tetap khawatir menghadapi era perdagangan bebas Asia Tenggara tersebut.
Serbuan tenaga kerja asing, misalnya, merupakan salah satu yang dikhawatirkan. Selain itu, produk-produk asing dipastikan semakin membanjiri pasar dalam negeri karena banyak kebutuhan masyarakat yang belum bisa dipenuhi sendiri, termasuk kebutuhan pangan.
Kita tentu tidak rela jika Indonesia menjadi rebutan negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk dan jasanya. Sementara itu, Indonesia tidak bisa memanfaatkan peluang di negara-negara ASEAN lainnya. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak terkait untuk terus-menerus mendorong, sekaligus memperkuat dunia usaha agar berani berekspansi untuk memanfaatkan semua potensi pasar di masing-masing negara ASEAN.
Kekhawatiran berbagai pihak mengenai tidak siapnya Indonesia memasuki MEA bukan tidak beralasan. Itu karena negeri ini tidak pernah sepi dari kegaduhan. Berharap kegaduhan tak akan berkepanjangan agar Indonesia mantap memasuki MEA. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta. Alumnus Universitas Negeri Medan