Komisi III DPR telah memilih lima pimpinnan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang nantinya menakhodai lembaga antirasua tersebut hingga empat tahun ke depan. Terlepas dari kontoversi, kelimanya adalah sosok pendatang baru yang diharapkan mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi di Indonesia yang sudah sangat mengakar kuat di negeri ini.
Di antaranya adalah Agus Raharjo, Kepala Lembaga Kebijakan Barang dan Jasa Pemerintah, terpilih menjadi ketua KPK priode 2015-2019. Empat nama lainnya yakni Irjen (Pol) Basaria Panjaitan, pejabat Badan Intelijen Negara (BIN), Saut Situmorang, Alexander Mawarta (hakim Tipikor), dan Laode Muhammad Syarif, (akademisi).
Yang perlu diingat bahwa kita berharap lima pimpinan baru KPK tidak menjadi lemah hanya karena dipilih oleh para politisi Senayan. Apalagi di tengah issu pelemahan KPK seperti saat ini. Politisi DPR Senayan yang notabene perpanjangan tangan dari partai politik, jangan sampai kemudian para pimpinan KPK merasa berhutang budi kepada mereka. Disinilah KPK harus mampu menghindarkan diri dari pusaran “politik balas budi”. Politik balas budi tersebut tentu akan mencidrai independensi KPK dan tentu sangat berpengaruh terhadap kinerja penindakan yang dilakukan KPK.
Kinerja para pimpinan baru KPK yang dinakhodai Agus Rahardjo tentu bukan suatu hal yang mudah. Sekalipun ini bukan pekerjaan ringan untuk mewujudkan ekspektasi masyarakat, tetapi dengan segala potensi dan komitmen yang dimiliki bukan hal yang mustahil bagi mereka untuk bekerja lebih baik dari pendahulunya.
Sekali lagi, kita berharap lima pimpinan baru KPK tidak menjadi lunak hanya karena dipilih oleh para politisi Senayan. Harus diingat bahwa pimpinan baru KPK adalah nyawa KPK yang diberi kepercayaan memberantas korupsi, bukan untuk berkompromi ditengah baying-bayang politik balas budi. Gebrakan tegas tanpa kompromi tersebut sesungguhnya sudah dilakukan oleh para pendahulunya.
Secara historis bahwa tujuan awal pembentukan lembaga KPK bertitik tolak dari lemahnya lembaga penegak hukum seperti kejaksaan, pengadilan dan kepolisian dalam menegakkan hukum dengan sebenarnya. Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga penegak hukum tersebut masih belum mampu menghindarkan diri dari “bujukan profan” dan “tekanan kekuatan” dari luar.
Di sinilah kita harus tahu bahwa keberadaan KPK amat dibutuhkan di negeri ini. Mengingat begitu pentingnya keberadaan KPK kita harus menolak segala upaya “pengebirian” KPK. Salah satunya berupa upaya pembatasan usia KPK, pembatasan penanganan kasus korupsi senilai sekian miliar, dan adanya prosedur perizinan penguasa untuk melakukan upaya penyadapan. Semua pembatasan itu sama artinya sebuah kesengajaan “menggiring” KPK ke tempat yang memang diharapkan oleh mereka yang memiliki nafsu jahat.
Upaya lain pelemahan KPK bisa dilihat dengan adanya suara “ngotot” melakukan revisi UU No 30 Tahun 2002. Hal ini terlihat sebagai upaya rasa takut para politisi dan birokrat yang memiliki nafsu jahat. Disinilah pimpinan baru KPK harus benar-benar menunjukan totalitas kinerja pengabdiannya untuk upaya pemberantasan korupsi.
Oleh sebab itulah moral iman dan keberanian mental para pimpinan baru KPK sangat berperan penting dalam menghalau berbagai godaan dan ancaman. Karena itu, para pimpinan KPK baru ini harus sejak awal berjanji dan berkomitmen tegas pada misi pemberantasan korupsi.
Hal ini diperlukan mengingat kita tahu bahwa di negeri ini masih sangat jauh dari kata “selesai” dari jerat budaya korupsi. Disinilah diperlukan pimpinan baru KPK yang memiliki integritas dan komitmen tinggi. Jika pimpinan yang menjadi garda depan lembaga seperti KPK sangat lemah, sampai kapan pun takkan bisa menangkap para bandit koruptor.
Menarik 13 tahun perjalanan KPK selama ini, ada sejumlah hal yang harus dihindari para pimpinan baru KPK, setidaknya untuk mingkatkan kinerjanya dimasa mendatang. Pertama, KPK harus bebas dari intervensi luar. Sesuai dengan tujuan awal pembentukannya, KPK diberi kewenangan lebih agar bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya. Namun kewenangan penyidikan besar yang dimiliki KPK harus benar-benar digunakan untuk kepentingan pemberantasan korupsi. Jangan sampai KPK membuka peluang masuknya kekuatan dari luar untuk melakukan intervensi kasus yang sedang disidik KPK. Disinilah kita harus kritis terhadap upaya-upaya pembatasan agresifitas KPK. Disinilah, bagaimana antar pimpinan KPK menjalin soliditas sehingga tak mudah dimasuki intervrensi kepentingan luar.
Kedua, Jangan sampai para pimpinan KPK bermain politik, apalagi menggunakan kewenangan untuk ambisi politik pribadinya. Tentu hal ini akan merusak kredibilitas KPK.
Ketiga, KPK harus independen dan tetap tegas. Tidak pandang bulu dalam menindak pelaku kejahatan korupsi. Dan yang lebih penting adalah KPK tidak boleh dijadikan alat politik oleh pihak tertentu untuk menyerang kelompok lain.
Keempat, KPK harus mampu menghindarkan diri dari perseteruan antar kelompok, jangan mudah diadu domba. Satu hal lagi yang harus menjadi perhatian pimpinan baru KPK adalah bagaimana mampu bekerja sama dengan Polri dan kejaksaan. Jangan sampai konflik tajam ”cicak vs buaya”. Model ini hanya akan menghabiskan waktu, energi dan fikiran, dalam kondisi ini para koruptorlah yang akan diuntungkan. Karena itu, pimpinan baru KPK harus mampu merangkul lembaga penegak hukum lainnya. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon. Mantan Direktur I PT. WF Indo