Semakin hari bumi kita semakin panas saja. Intensitas panas bumi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Selain faktor alam itu sendiri, tentu faktor lain juga menjadi pemicu naiknya suhu bumi.
Tidak bisa kita nafikan, selain karena faktor alam sendiri, kita katakanlah peralihan musim yang satu ke musim yang lain, ternyata manusia memiliki andil besar dalam membuat bumi ini semakin panas.
Lihatlah belakangan waktu lalu, kita dihebohkan dengan pemberitaan kembali terbakarnya ratusan hektar hutan yang ada di Riau. Padahal kurang dari tiga bulan sebelum kejadian ini, kebakaran hutan telah terjadi dan bahkan menghanguskan ribuan hektar hutan yang ada.
Sebagaimana kita ketahui, hutan memiliki fungsi yang dapat menyerap gas-gas beracun misalnya CO2 dan lain sebagainya yang kemudian dikonversi menghasilkan gas O2 atau juga menjadi tempat berteduh dari teriknya matahari.
Logikanya, kalau jumlah hutan sudah berkurang dimuka bumi ini, apa yang akan terjadi? Jelas, selain akan mengakibatkan bencana seperti, banjir dan longsor juga secara tidak langsung akan membuat bumi semakin panas, karena hutan sebagai paru-paru bumi sudah mulai diamputasi dalam jumlah yang akut.
Studi terbaru yang dilakukan sejumlah ahli dari University of New South Wales, Australia, yang dilansir Selasa 10 Mei 2010, menjelaskan bahwa dalam kurun waktu kurang dari tiga abad, separuh dari planet bumi terlalu panas untuk dihuni.
Nah, coba anda bayangkan itu? Dalam kurun waktu yang begitu adanya, kita akan mewariskan hasil yang kita buat ini, yang sering merusak lingkungan dan hutan kita itu pada anak, cucu dan cicit kita nantinya. Bukankah kita sungguh berdosa? Bisa jadi kita masuk api neraka, karena dengan sendirinya kita menjadi orang-orang yang mengiyakan anak-cucu-cicit kita akan terpanggang oleh panasnya bumi.
Anda bayangkan saja, jumlah penduduk dari tahun ke tahun selalu bertambah, tidak pernah berkurang. Otomatis dengan jumlah geografis separuh yang tidak bisa ditempati, akan mungkin hukum rimba menjadi perhelatan sehari-hari. Akan lahirlah homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya) dalam memperebutkan separuh lagi geografis bumi yang bisa ditempati tadi.
Ini karena apa terjadi? Anda bayangkan saja, begitu menjamurnya mal-mal yang memiliki efek rumah kaca, emisi gas dari kendaraan bermotor, serta pembakaran hutan atas nama pembangunan dan kesengajaan seperti yang diatas tadi, semakin membuat temperatur bumi ini akan menjadi lautan api yang membara.
Coba lihat belakangan hari ini, terutama di Medan, cuaca di Medan membara bahkan sampai menembus 35 derajat celcius (Analisa, 22 Maret 2016). Saya sendiri, merasakan hal ini. Ketika tidur, saya merasakan begitu panasnya cuaca ini, padahal saya sudah membuka jendela saya lebar-lebar, demikian pula ketika saya mandi, keringat masih mengucur deras layaknya kita bekerja di ladang. Anda bayangkan saja, ketika mandi pun kita berkeringat, konon lagi para petani yang bekerja di sawah, entah, saya tidak tahulah berapa liter keringat yang mereka habiskan.
Masih dari survei University of New South Wales, Australia, tindakan-tindakan seperti mengurangi emisi gas dan rumah kaca sebagai solusi bukan lagi menjadi satu-satunya solusi. Membiarkan bumi ini terus dipenuhi dua hal itu akan membuat temperatur naik sekitar 10 hingga 12 persen pada tahun 2300.
Sebagaimana yang sudah saya jelaskan secara ringkas diatas, naiknya suhu bumi adalah mayoritas human error. Manusia kini bukan lagi entitas yang melindungi bumi dan mengelola bumi. Padahal sudah jelas tertulis dalam kitab kehidupan bahwa kita, umat manusia tidak hanya menaklukkan apa yang ada dibumi, namun kita harus merawat untuk generasi kita selanjutnya (Kejadian 1: 28).
Pentingnya Kesadaran
Untuk itu, kedepan, menumbuhkan kesadaran adalah hal yang mutlak dilakukan. Tidak usah lagi muluk-muluk, kalau para pembaca sekalian tertegun ketika membaca tulisan ini, maka anda masih sayang pada anak-cucu-cicit anda yang akan datang. Kalau anda tidak sayang lagi dengan generasi selanjutnya maka anda sama saja tidak menyanyangi bumi kita ini.
Menyanyangi bumi, lingkungan dan segala isinnya sama arti dengan kita mencintai keluarga kita sendiri. Maka untuk itu, sadarlah wahai perusak lingkungan, sadarlah wahai perusak hutan, sadarlah wahai manusia yang rakus dan tidak melihat apa-apa yang akan menjadi dampak di masa mendatang.
Bukankah Tuhan telah menyediakan bumi ini untuk kita olah dan kita rawat, lantas atas dasar apa anda merusak mereka-mereka ini? Kalau mungkin bisa bicara, para tumbuhan dan segala macam isi bumi ini, akan berteriak seraya mencaci maki anda yang tega merusak mereka atas nama kepentingan pribadi semata.
Lantas masihkah dirimu bebal, masihkan dirimu tidak mau melakukan yang sebaiknya? Dirimu masih menjawab bahwa engkau bebal dan tidak mau tahu? Maka dengan begitu sudah jelaslah urat kepedulianmu telah terputus.
Kalau demikian sudah terputus apa lagi yang mau saya katakan, selamat merusaklah bagi perusak lingkungan dan hutan kami. Kalian-kalian kan senang melihat kami-kami ini menderita. Bahkan kalian pun senang melihat anak-cucu-cicit kalian terpanggang dari panasnya bumi ini nantinya, ini kan kehendak kalian?
Maka untuk dari itu saya tidak perlu lagi berpanjang-panjang berkata-kata, kalau sudah urat kepedulian sudah putus, apa yang mau kita kata? Semoga kalian mendapat balasan yang setimpal di akhir kelak. [*]
Oleh: Fajar Anugrah Tumanggor
Mahasiswa Ilmu Politik 2014 FISIP USU