Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin menurun. Hal ini ditandai dengan indeks rasio gini yang mengalami perbaikan. BPS mencatat pada September 2015 indeks rasio gini sebesar 0,40%. Angka ini turun 0,01% dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 0,41%. Ini artinya terjadi perbaikan pemerataan pendapatan. Untuk diketahui rasio gini merupakan indikator dalam mengukur ketimpangan atau kesenjangan distribusi pendapatan masyarakat dengan skala 0 sampai 1. Semakin tinggi rasio gini maka semakin tinggi pula ketimpangan masyarakat.
Lalu BPS juga mencatat pada September 2015 pengeluaran 40% penduduk terbawah sebesar 17,45% meningkat dibanding Maret 2015 yang sebesar 17,10%. Sementara itu 49% penduduk menengah menikmati 34,70% dari total pengeluaran, membaik 0,05% dibanding Maret 2015. Di sisi lain distribusi pengeluaran kelompok 20% teratas turun dari 48,25% menjadi 47,84%.
Menurut BPS ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam menurunkan kesenjangan penduduk. Pertama, kenaikan upah buruh pertanian dari Rp 46.180 pada Maret 2015 menjadi Rp 46.739 pada September 2015. Kedua, kenaikan upah buruh bangunan dari Rp 79.657 pada Maret 2015 menjadi Rp 80.494 pada September 2015. Ketiga, terjadinya peningkatan jumlah pekerja bebas, baik sektor pertanian maupun sektor non-pertanian dari 11,9 juta orang pada Februari 2015 menjadi 12,5 juta pada Agustus 2015.
Di saat bersamaan Susenas mencatat terjadi kenaikan pengeluaran kelompok penduduk bawah lebih cepat dibandingkan kelompok penduduk kelas atas karena upaya pembangunan infrastruktur padat karya, bantuan sosial, serta perbaikan pendapatan PNS golongan bawah.
Meski data ini bisa dibilang cukup menggembirakan. Lagi-lagi kita dihadapkan pada situasi yang kontradiktif. Pasalnya di periode yang bersamaan berdasarkan laporan BPS, angka kemiskinan malah mengalami peningkatan. BPS sebelumnya mengeluarkan data bahwa per
September 2015 jumlah penduduk miskin mencapai 28,1 juta atau bertambah 780 ribu orang dibandingkan September 2014 yang sebesar 27,73 juta. Dimana kenaikan penduduk miskin paling signifikan terjadi pada periode September 2014 ke Maret 2015 yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan perlambatan ekonomi.
Hal ini semakin kontradiktif bila kita melihat angka pengangguran di Indonesia. Berdasarkan data BPS, jumlah pengguran periode Agustus 2015 mencapai 7,56 juta jiwa.Angka-angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 320 ribu dibanding periode yang sama tahun 2014 lalu yang sebesar 7,24 juta orang.
Kondisi ini seakan menjadi kontradiksi sekaligus dilema tersendiri bagi pemerintah terkhusus bagi masyarakat. Masyarakat tentunya berharap ketika kesenjangan menurun maka kemiskinan dan pengangguran ikut menurun. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bagaimana bisa ketika kesenjangan penduduk menurun, angka kemiskinan malah bertambah ?. Ini seakan menjadi sinyalemen bahwa pendapatan per kapita hingga hari ini masih saja dinikmati oleh segelintir orang. Hal ini terbukti dari begitu tingginya rasio gini di daerah perkotaan (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar) yang notabene sebagai pusat ekonomi. Kota pun seolah menjadi tempat tinggal kaum paling kaya sekaligus kaum paling miskin.
Mengapa kontadiksi ini bisa terjadi ? Bagaimana mengatasi kontradiksi ini ? Harus segera dicari tahu dan dievaluasi oleh pemerintah.
Harapan
Terjadinya kontradiksi dari data yang dipublikasikan BPS menunjukkan ada yang salah dengan pembangunan di tanah air. Kalau kita cermati data kesenjangan yang dipublikasikan oleh BPS. Menurunnya kesenjangan lebih disebabkan karena menurunnya distribusi pengeluaran kelompok teratas.Yang artinya masyarakat kelompok atas mengalami gangguan ekonomi. Hal ini semakin diperkuat dengan situasi perekonomian tanah air yang secara nyata belum menunjukkan adanya perbaikan ekonomi khususnya masyarakat yang selama ini termarginalkan seperti nelayan, petani, dan kaum papa. Belum ada bukti real yang membuktikan terjadi penurunan ketimpangan penduduk di masyarakat.
Lewat tulisan ini penulis berharap pemerintah tidak terbuai dengan data penurunan ketimpangan ini. Pemerintah diharapkan kerja…kerja…dan kerja untuk benar-benar mewujudnyatakan pemerataan ekonomi di masyarakat yang bukan sekedar angin lalu namun berkelanjutan dan komprehensif. Salah satu cara yang menurut penulis bisa dimaksimalkan adalah memaksimalkan program dana desa yang kini tengah dilaksanakan. Pemerintah harus memastikan bahwa distribusi dan penyerapan dana desa berjalan sebagaimana mestinya sehingga pembangunan perekonomian pedesaan dapat meningkat guna meningkatkan pemerataan ekonomi.
Oleh karena itu pemerintah selaku stakeholder harus memastikan bahwa seluruh kepala desa memiliki kapabilitas untuk mengolah dana desa yang masuk dan mampu pula berkoordinasi dengan masyarakatnya sehingga keikutsertaan masyarakat dalam pembagunan desa akan membuat pelaksanaannya lebih maksimal. Untuk itulah pemerintah secara perkesinambungan harus melakukan pembinaan terhadap kepala desa yang dianggap kurang kapabel, misalnya kepala desa di daerah Rp 3 triliun.Semoga pemerataan ekonomi segera tercapai. [*]
Oleh: Firman Situmeang
Mahasiswa Sosiologi USU