Reklamasi Pantai Teluk Jakarta mencuat ramai menjadi pembicaraan publik, setelah adanya operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap seorang anggota DPRD DKI Jakarta. Penangkapan ini terkait dugaan suap untuk memuluskan Raperda mengenai reklamasi oleh pengembang. Dalam kasus dugaan suap reklamasi Teluk Jakarta, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant APL Trinanda Prihantoro.
Diduga, telah terjadi persekongkolan “mesra” antara legislatif dan eksekutif dengan perusahaan pengembang properti kakap untuk proyek reklamasi: mengubah perairan teluk Jakarta menjadi pulau buatan dengan membangun bangunan hunian dan fasilitas mewah.
Kenyataan ini semakin menguatkan premis bahwa antara penguasa dan pengusaha bisa melakukan negosiasi untuk kepentingan mereka. Pengusaha dengan modal besar bisa merayu pejabat untuk mengeluarkan berbagai izin yang sebenarnya ilegal dan merugikan masyarakat agar menjadi legal. Tertangkapnya anggota DPRD DKI Jakarta dengan bos realetate dalam pembahasan Raperda Reklamasi menguatkan hal ini.
***
Para penguasa bekerja bukan untuk rakyat, melainkan untuk dirinya dan pengusaha. Suara rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilihan, setelah pemilihan usai maka suara pasar-lah yang akan didengarkan. Aspirasi rakyat dikesampingkan, sedangkan aspirasi para pemilik modal akan diutamakan.
Ini menunjukan bahwa demokrasi nyatanya menjadi panggung bagi pemilik modal atau kaum kaya untuk semakin kaya dan akan menjadi tampat memilukan bagi kaum papa. Sedangkan negara seolah tak kuasa menghadapi kenyataan ini: relasi kekuasaan dengan pemilik modal. Sesungguhnya inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial. Kaum kaya menjadi kontras tajam ditengah-tengah kaum tak berpunya (kaum papa).
Kasus proyek reklamasi teluk Jakarta ini menjadi kenyataan tak terbantahkan bahwa bagaimana pembangunan property mewah untuk kaum kaya begitu sangat mudah dibangun dengan ekslusifitas bangunan dan lingkungannya sekalipun harus mengorbankan banyak aspek: ekologis, sosial dan tergusurnya permukiman kaum tak berpunya. Inilah ironi demokrasi negeri ini. Kenyataan ini tentu kian menyakitkan kita, terlebih bagi hati mereka yang tak berpunya.
Proyek reklamasi dengan pembangunan kawasan elitis di pulau buatan itu akan semakin mempertegas kesenjangan ekonomi di Jakarta. Reklamasi yang dibangun terkesan hanya untuk masyarakat ekonomi kelas atas. Harga properti yang sangat mahal, paling murah Rp 3,77 miliar, hanya mampu dibeli oleh kaum berpunya. Penggusuran nelayan kecil semakin menunjukkan bahwa Jakarta hanya untuk kaum berduit.
Masyarakat yang terkena korban langsung dari ganasnya proyek reklamai ini adalah nasib masyarakat nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya di teluk. Masyarakat nelayan akan sulit mengais rezeki karena sebagian besar mereka memang sangat bergantung pada perairan. Justru, dengan reklamasi nelayan kehilangan mata pencaharian, sementara nelayan di DKI Jakarta sangat banyak.
Hampir lebih dari 50 persen nelayan penuh di DKI Jakarta. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang bergantung sepenuhnya kepada lautan. Menurut BPS (2013), ada sekitar 58.805 nelayan penuh. Nelayan setengah penuh sekitar 1.593 orang dan nelayan tidak tetap sekitar 1.415 orang. Data ini sangat cukup memberikan informasi bahwa artinya, nelayan itu tidak ada kerjaan lain selain menangkap ikan, kerang, dan udang di lautan. Apakah pemerintah daerah DKI Jakarta sudah mempunyai solusi untuk mereka yang bergantung hidup di sana? Pada prinsipnya, nelayan tidak mempunyai keahlian selain itu. Maka, jelas akan sulit baginya untuk mencari sumber lain. (Bahagia: 2016).
***
Presiden Joko Widodo tentu sosok yang peduli pada rakyatnya. Tak mungkin Presiden Jokowi membiarkan rakyatnya yang terlanjur miskin itu semakin terisolasi dari haknya sebagai warga negara yang berhak mendapatkan hidup yang nyaman dan bermartabat. Namun sekali lagi, alangkah sangat menyakitkan hati kita ketika negara justru terus berpihak pada pemilik modal, sedangkan suara kaum papa akan mendapat perhatian di nomor urut belakang.
Jika demikian itu sangat jelas negara menciptakan diskriminasi yang nyata. Tentu ini penghiatan besar para pejabat negara terhadap amanat konstitusi. Kita tahu bahwa semua warga negara memegang hak hidup nyaman di negeri ini. Negeri ini juga ditegakan dengan sejarah pengorbanan rakyat yang tiaada tara.
Memang jika proyek reklamasi ditunda akan sangat memiliki dampak ekonomi yang besar. Namun itulah resiko yang harus dibayar ketika kita membuat rencana pembangunan yang tidak matang.
Lebih baik mereka mundur selangkah demi kebaikan daripada melanjutkan namun harus mengorbankan banyak aspek dengan resiko yang sangat tinggi dikemudian hari. Sejatinya kasus ini menjadi pembelajaran yang begitu berharga bagi para pemimpin ketika ingin mengeksekusi kebijakan haruslah dengan perhitungan matang. [*]
Oleh: Wahyudi
Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon. Pemerhati kesejahteraan sosial dan ekonomi.