Judul tulisan ini terinspirasi dari slogan Koran Madura “Dari Madura untuk Indonesia”. Koran ini berusaha eksis berkarya untuk Indonesia dari pojok pulau Madura. Padahal, sejumlah kalangan memandang Madura dengan sebelah mata. Sumber Daya Manusia (SDM) Madura dinilai tidak akan mampu mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Rupa-rupanya, koran ini mampu mempromosikan sisi positif Madura dari masa ke masa.
Ide Koran Madura untuk membangun Indonesia dari Madura bisa diadopsi oleh siapa saja, termasuk oleh keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Pendidikan dalam keluarga layaknya sebuah usaha untuk menentukan bagaimana seorang anak akan dibentuk. Dengan artian, pendidikan seorang anak dapat dibaca dengan cara membaca kondisi keluarganya.
Membangun Indonesia dari pendidikan keluarga ternyata telah dilakukan oleh Ayah Edy. Melalui bukunya Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga (2012), ia mengaku prihatin terhadap kondisi bangsa yang morat-marit. Sebenarnya, ia mengaku tidak tertarik pada masalah politik negeri ini. Tetapi, ketika ia menyaksikan panggung sandiwara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rasanya tidak mungkin lagi bangsa ini menggantungkan harapan dan masa depan anak-anak pada orang lain, termasuk pada wakil rakyat dan partai-partai yang selama ini telah diberi kepercayaan.
Ia mengajak masyarakat agar membangun bangsa ini dari keluarga, melalui anak-anak tercinta. Kita dianjurkan saling berbagi kebaikan dan informasi. Bagaimana pun, Tuhan ini tidak akan pernah mengubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu sendiri tidak mau mengubahnya. Mendidik anak dengan pendidikan yang baik di ranah keluarga sebagai langkah solutif untuk membangun bangsa menjadi bangsa yang besar.
Sejak dini, anak-anak harus dididik dengan moral, bukan sekedar mengejar angka-angka untuk mendapat nilai. Anak-anak sebagai generasi bangsa sangat menentukan bagaimana kondisi bangsa ini ke depan. Kita cukup lelah menyaksikan kondisi bangsa yang selalu menyajikan tindakan korupsi, pemerasan oknum pejabat, perilaku asusila yang dilakukan siswa, hingga kongkalikong penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ini adalah potret buram bangsa ini yang perlu diberantas.
Tugas orangtua adalah menunjukkan kepada anak-anak terhadap jalan yang lurus, jalan yang sesuai dengan adat dan budaya bangsa. Mental bangsa ini masih berupa mental ‘kerupuk’ yang mudah melempem. Hanya dengan melihat tumpukan uang, hukum bisa berubah. Proses hukum gagal memihak pada sesuatu yang benar. Mental inilah yang perlu dibenahi sehingga anak-anak kita memiliki mental baja yang siap dipertahankan kapan dan dalam kondisi apa pun.
Ada baiknya kita mengambil ibrah sisi baik sejumlah mantan presiden Republik Indonesia. Betapa Indonesia mendapat tekanan dari asing pada beberapa masa kepemimpinan. Neno Muhammad dalam #Save KPK #Save Polri #Save Indonesia (2015) menyatakan bahwa bangsa ini memiliki torehan sejarah yang mengagumkan. Mafhum bila bangsa lain kerap mencemburui bangsa ini dengan berbagai bentuk. Segala cara dilakukan untuk menggembosi bangsa ini seperti yang dilakukan Federal Bureau of Investigation (FBI) dan Central Intelligence Agency (CIA).
Tetapi, Presiden Soekarno, Soeharto, Gus Dur, dll. memiliki mental yang luar biasa. Mereka tidak akan menjual negeri ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Bangsa ini tetap jaya hingga kini karena mental mereka telah membaja dan tidak mudah rapuh. Nah, kondisi ini tentu saja didukung oleh orangtua sebagai pembentuk moral anak-anak dalam keluarga.
Para tokoh negeri ini bukan sekedar dididik oleh lembaga pendidikan. Orangtua memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak sudah bisa menyerap ilmu dan pengalaman sejak sebelum usia sekolah. Semua panca indera yang dimiliki berfungsi untuk melakukan aktivitas tersebut. Ini penting untuk disadari dan direnungkan oleh orangtua.
Yuli Astuti dalam bukunya Cara Mudah Asah Otak Anak (2016) menyatakan bahwa anak-anak belajar dari apa yang dialami, dirasakan, dilakukan, dilihat, dan didengarnya. Mereka tidak belajar sebagaimana orang dewasa belajar. Masa kanak-kanak, khususnya periode golden age adalah periode di mana kemampuannya tumbuh dengan pesat. Antara usia 0 sampai dengan 5 tahun, anak-anak selayaknya menikmati masa-masa bermain. Melalui aktivitas bermain itulah anak-anak belajar.
Pola pendidikan yang diterapkan kepada anak tidak boleh sama, bergantung usia, tipe, dan kepribadian anak. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pendidikan sesuai dengan usia, tipe, dan kepribadian tersebut. Kondisi ini menuntut orangtua agar menjadi orang tua yang kreatif. Inilah tantangan berat bagi orangtua ketika mendidik anak-anak.
Andi Yudha Asfandiyar dalam bukunya Creative Parenting Today (2016) secara gamblang menulis bahwa anak membutuhkan orang tua yang kreatif. Sebab, anak akan bertanya tentang sesuatu yang tidak dia ketahui dan meminta bantuan untuk sesuatu yang tidak dia kuasai kepada orangtuanya. Namun kenyataannya, belum tentu semua tuntutan anak bisa dipenuhi oleh orangtua. Di sinilah, orangtua harus pandai menjaga agar proses belajar anak tidak berhenti.
Tanggung jawab orang tua memang berat. Tetapi, seberat apa pun beban yang diberikan akan terasa indah ketika orangtua menikmatinya. Salah satu cara meringankan beban tersebut yaitu dengan cara menanamkan keyakinan bahwa mendidik anak adalah menyiapkan Indonesia di masa yang akan datang. Artinya, orangtua diberi kepercayaan bagaimana mendesain bangsa ini dari ranah keluarga.
Anak sebagai calon pemimpin bangsa perlu mendapat pendidikan optimal dalam keluarga. Sekolah atau lembaga pendidikan lainnya bisa ‘gagal’ mencetak anak ketika orangtua lalai mendidik anak-anaknya. Sebab, orang-orang hebat selalu lahir dari pendidikan keluarga yang baik. Mengoptimalkan pendidikan anak dalam keluarga merupakan salah satu langkah membangun Indonesia menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Amin! [*]
Oleh: Suhairi Rachmad
Alumnus Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya