Di dalam Kitab Muqaddimah, Ibnu Kholdun sebagai negarawan sekaligus bapak sosiologi, telah menjelaskan tentang teori siklus. Dalam teori itu, siklus digambarkan sebagai ombak.Ya, ombak. Sebuah gulungan air laut, yang berasal dari gulungan kecil, kemudian membesar, membesar lagi dan setelah itu hancur di tepi laut.
Pun setelah kehancuran itu, kemudian diikuti oleh ombak-ombak lain yang ada di belakangnya. Melihat penggambaran yang diungkapkan seperti itu, maka bias direlevansikan dengan pengertian siklus dalam KBBI yang diartikan sebagai, putaran waktu yang di dalamnya terdapat serangkaian peristiwa yang diulang-ulang secara tetap dan bahkan teratur.
Dari definisi dan gambaran di atas, setidaknya masyarakat yang ada di dalamnya terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah pejuang, kedua adalah penerus dan yang terakhir adalah penikmat. Dari ketiga kelompok tersebut, sudah terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara ketiganya. Pendeknya, ketiga golongan itu memiliki prioritas dan kehidupan yang berbeda-beda. Bahkan ketika dikaji dalam ranah kenegaraan sekali pun, teori ini berhembus dari Negara terbelakang. Atau jika tidak, maka Negara itu awalnya memiliki kedaulatan, akan tetapi kemudian dihancurkan oleh problematika kenegaraan di dalamnya—dijajah misalnya.
Maka, dengan melihat awal dari siklus yang pertama, setidaknya ketika dikontekstualisasikan di ranah Indonesia, maka bias disejajarkan pada ranah penjajahan.Sudah kita ketahui bersama, sebelum Indonesia mencapai titik kemerdekaan, maka tentu kehidupan yang dialami oleh masyarakatnya berada dalam keterkungkungan dan bahkan penindasan. Karena telah terbiasa dengan kehidupan demikian, maka hal itu yang membuat masyarakat memiliki kekuatan ekstra dalam menjalani kesusahpayahan. Alhasil, dengan pelajaran yang didapati selama kehidupan itu, setidaknya masyarakat akan tetap bias hidup walaupun pada fase yang sangat minimalis.
Dengan kehidupan yang serba tidak ada atau bahkan berdarah-darah, pada akhinya justru menyebabkan keinginan oleh kebanyakan masyarakat untuk maju. Secara bersama-sama, kelompok inilah yang kemudian memperjuangkan kehidupannya—dan bahkan anak cucunya nanti—agar terbebas dari belenggu penindasan. Dalam tanda petik, bias disimpulkan keinginan yang dicita-citakan adalah bebas dari penindasan—maju ke ranah kemerdekaan. Nah, kelompok inilah yang disebut sebagai kelompok pejuang. Setelah menjalani kehidupan panjang dan sampai pada titik temu kemerdekaan, kemudian hilanglah generasi itu dan tergantikan dengan generasi penerus.
Kebiasaannya, kehidupan yang ditempuh generasi ini, tidak separah pada kehidupan generasi pejuang. Ketika generasi pejuang memperjuangkann Indonesia sampai mengorbankan jiwa dan raganya. Maka, generasi ini cukuplah menjalankan segala bentuk kewajiban dan aturan yang disyariatkan oleh negara. Sampai pada kesimpulan akhirnya, generasi ini mencapai Negara adidaya. Setelah kehidupan yang dialami oleh generasi penerus, muncullah generasi selanjutnya, yakni generasi penikmat. Dalam kehidupan yang dialami oleh generasi yang terakhir, biasanya generasi ini termanjakan oleh fasilitas yang ada.
Dengan kata lain, karena telah mencapai kemakmuran bersama, maka generasi yang tumbuh pada masa ini tidak menjalani kehidupan layaknya generasi pejuang dan penerus. Sehingga realitas yang terjadi adalah, generasi yang terakhir justru tidak memiliki ketahanan dalam menjalani kehidupannya. Alhasil, kecenderungan yang terjadi pada masyarakat ini adalah pragmatis dan oportunis.Ya, walaupun ketika disejajarkan dengan musuh yang dihadapi, lebih sulit melawan musuh yang ada di generasi penikmat. Namun, tak bias dinafikan bahwa kecenderungan masyarakatnya adalah demikian. Sebab, ketika musuh yang dihadapi di generasi pejuang adalah kesulitan (penjajah). Akan tetapi, musuh yang dihadapi pada masa ini adalah kesenangan—hawa nafsu yang kemudian melupakan segalanya.
Senada dengan itu, Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabda, bahwa musuh yang paling berate dalah hawa nafsu. Nah, dari hal itulah, dengan mengacu pada kehidupan yang dialami generasi ketiga, pada akhirnya menyebabkan negara yang telah berada di ranah adidaya menjadi hilang tertelan masa. Setidaknya, itulah teori siklus yang dijelaskan oleh Ibnu Kholdun ketika dikontekstualisasikan pada ranah negara. Lebih dari itu, ketika dikontekstualisasikan di ranah Indonesia, maka pada saat inilah oleh para pengamat dikatakan bahwa masyarakat berada pada generasi penikmat. Idealitas bukanlah tanpa alasan. Akan tetapi, hal ini ditandai dengan kehidupan bangsa Indonesia yang secara tidak sadar termanjakan oleh kesenangan semata—teknologi yang semakin canggih.
Selain itu, termanjakannya masyarakat dengan bentuk kehidupan yang jauh dari kesulitan—layaknya masa penjajah—juga menjadi realitas yang tak bias dielakkan. Kemudian, realitas oportunis dan pragmatis yang terbungkus dalam wajah korupsi, kolusi, dan nepotisme, setidaknya juga bias dijadikan indikator dalam menjustifikasi bahwa generasi Indonesia berada pada masyarakat kategori penikmat. Maka dari itu, dengan memilik idealitas yang dibangun oleh Ibnu Kholdun seperti yang telah diuraikan di atas. Maka tentu usia Indonesia tidak akan berlangsung lama. Oleh karena itulah, demi menyelamatkan peradaban Indonesia dari keruntuhannya, maka diperlukan reformulasi kehidupan generasi pejuang, atau dalam standar minimal, bias diobsesikan dengan kehidupan generasi penerus.
Hal ini bukan tanpa alasan, akan tetapi kaidah fiqih pun menyebutkan bahwa al-ajru bi qadri at-ta’ab, pahala itu tergantung kadar kesusahan yang dijalani. Oleh sebab itu, dengan menilik dampak yang akan ditimbulkan pada generasi penikmat, maka reformasi ulang dalam menentukan kehidupan generasi selanjutnya harus diperhatikan. Tujuannya, agar Indonesia tidak berada dalam kehancuran. Maka dari itu, pelatihan yang ekstra dalam bentuk kehidupan yang sulit, menjadi keniscayaan yang mau tidak mau harus dilakukan. Sebab, tentu lebih baik mandi keringat di pelatihan, daripada bersimbah darah di medan pertempuran. Wallahua’lam bi al-showab. [*]
Oleh: Moh Nurul Huda
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang