Lebih dari dua minggu Ramadan 1437 Hijriah mendampingi kehidupan seluruh umat Islam seluruh pelosok di penjuru dunia, tak terkecuali negeri tercinta Indonesia. Ekspektasi miliaran umat untuk menyambut datangnya bulan yang penuh dengan rahmah, maghfirah, dan itqun minan nar (pembebasan dari api neraka) sangat luar biasa.
Mereka jauh-jauh hari telah mempersiapkan bekal untuk menyambut Ramadan 1437 Hijriah, di antaranya bekal fisik, psikologis, dan yang paling utama ialah bekal ilmu agama. Selain itu salah satu keistimewaan Ramadan adalah terdapat satu malam yang lebih mulia dari seribu malam yaitu malam Laillatul Qodar yang terletak di sepuluh malam terakhir Ramadan. Walaupun sebenarnya setiap hari pada bulan Ramadan juga memiliki keutamaan-keutamaan yang penuh dengan ridho Allah Swt.
Spirit umat muslim di Indonesia dalam hal menyambut dan menjalani ibadah pada bulan suci Ramadan sudah tidak dapat dipungkiri lagi, ini berimplikasi pada bergemuruhnya rumah-rumah Allah Swt di seluruh pelosok tanah air. Kemudian mengaktualisasikan diri dengan kacamata Islam secara kaffah (universal), misalnya lebih dominan menegakkan syariat-syariat Islam, beribadah dengan cara berjamaah, serta meningkatkan rasa persaudaraan yang lebih erat antar sesama muslim guna untuk mencapai ketakwaan yang hakiki setelah menjalani pendidikan (tarbiyah) selama 30 hari penuh. Ramadan merupakan sarana (wasilah) bagi umat muslim untuk menata mentarbiyah diri menuju kehidupan yang damai, sejahtera, dan selamat baik didunia dan akhirat kelak.
Namun dewasa ini, niat baik umat muslim di Indonesia tersebut sudah banyak diintervensi oleh individu atau kelompok-kelompok yang terindikasi berpaham liberalis, sekularis, dan kapitalis untuk mengganggu kesucian serta kesakralan bulan Ramadan tahun ini. Hal ini ditandai dengan maraknya kelompok-kelompok yang eksis mempromosikan nilai-nilai yang kontra dengan Islam dan Pancasila, di antaranya dengan gencarnya mensosialisasikan suatu logika berpikir yang terbalik dan menyimpang yaitu intisari kalimatnya adalah “yang berpuasa hendaknya menghormati yang tidak berpuasa”.
Logika berpikir yang seperti ini dapat memicu terjadinya konflik antar agama. Memang di Indonesia katanya selalu mengedepankan toleransi, HAM, dan demokrasi. Namun, apapun itu namanya hendaknya toleransi tidak boleh kebablasan dan menyimpang dari kaidah-kaidah agama dan negara. Bukankah Ramadan sudah lahir sejak Indonesia belum lahir, dan berabad-abad lamanya puasa sudah membudaya di negeri ini. Dahulu sangat susah sekali ditemui bahkan tidak ada terdengar khalayak umum yang terkait dengan istilah-istilah yang keluar dari pemangku negara yang menyudutkan umat Islam ketika sedang berpuasa. Dahulu kita sangat familiar dengan kalimat “hormati orang-orang yang sedang berpuasa dan silahkan bagi masyakakat yang tidak menjalani ibadah puasa untuk makan di belakang”. Maksudnya bagi mereka yang tidak berpuasa, tidak mengapa rumah makan tepat buka pada siang hari, namun ada batasannya yang sudah teregulasi dalam suatu undang-undang atau peraturan daerah, misalnya rumah penyedia makanan boleh berjualan di bulan Ramadan asal diberi kain penutup yang tidak transparan.
Namun baru-baru ini dengan munculnya istilah “yang berpuasa menghormati yang tidak berpuasa” seolah-olah logika berpikir ini bermakna umat islam yang sedang puasa itu mengganggu orang yang tidak berpuasa dan umat islam harus menghormati mereka yang tidak berpuasa. kalimat tersebut dapat mengundang kegaduhan dalam kehidupan sosial masyarakat, yaitu dengan adanya kalimat bersebut berarti rumah-rumah penyedia makanan boleh berjualan pada waktu kapan saja dan tidak perlu menggunakan kain penutup pandangan dan tempat-tempat hiburan malam juga boleh buka pada waktu bulan suci Ramadan berlangsung. Dari kalimat di atas apakah itu yang disebut dengan toleransi, HAM, dan demokrasi? Saya rasa bukan, karena di balik logika berpikir yang terbalik tersebut terdapat kepentingan-kepentingan yang mendasar yang keluar dari koridor Pancasila dan Islam. Yaitu saat ini Indonesia sudah mulai disusupi oleh paham yang sekular yakni memisahkan urusan nagara dengan urusan agama, kemudian ada juga kepentingan kapitalis yang pada bulan suci ini terus berusaha untuk menjual dagangan mereka agar laku terjual walaupun harus melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kemudian juga baru-baru ini ada wacana bahwa Presiden RI bapak H. Joko widodo akan menghapuskan 3.143 Peraturan Daerah (Perda). Diantaranya cukup banyak Perda-Perda syariah akan dihapus. Berikut diantaranya Perda yang akan dihapus : Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat: Surat Imbauan Bupati Tanah Datar No.451.4/556/Kesra-2001, Perihal Himbauan berbusana Muslim/Muslimah kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja.
Kabupaten Bengkulu Tengah : Perda No.05 Tahun 2014 tentang Wajib bisa baca Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin. Kabupaten Cianjur, Jawa Barat : Keputusan Bupati no.451/2712/ASSDA.I/200 tentang kewajiban memakai Jilbab di Cianjur, Jawa Barat. Kabupaten Pasuruan Jawa Timur : Perda No.4/2006 tentang Pengaturan membuka rumah makan, rombong dan sejenisnya pada bulan Ramadan. Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan : Perda No.10/2001 tentang larangan membuka restoran, warung, rombong dan sejenisnya serta makan, minum atau merokok di tempat umum pada bulan Ramadan. Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) : a). Perda No. 11/2004 tentang tata cara pemilihan kades (materi muatanya mengatur keharusan calon dan keluarganya bisa membaca Al-Qur’an yang dibuktikan dengan rekomendasi KUA). b). SK Bupati Dompu No KD.19.05/HM.00/1330/2004, tentang pengembangan Perda No.1 Tahun 2002. Isinya menyebutkan : Kewajiban membaca Al-Qur’an bagi PNS yang akan mengambil SK/Kenaikan pangkat, calon pengantin, calon siswa SMP dan SMU dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah Kewajiban memakai busana Muslim (Jilbab). Kewajiban mengembangkan budaya Islam (MTQ, Qosidah, dan sejenisnya).
Meneguhkan kembali nilai-nilai yang mencirikan bulan suci Ramadan adalah kewajiban setiap muslim, nilai-nilai agamalah yang selama ini diyakini sebagai pemersatu bangsa dan negara ini, serta musuh besar nagara adalah musuh besar agama. komunisme, kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme merupakan musuh dari Pancasila dan Islam yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Republik ini. [*]
Oleh: Iswadi
Mahasiswa Prodi Sosiologi, FISIP Universitas Sriwijaya