Setiap menjelang tahun ajaran baru, dunia pendidikan di Indonesia akan dihadapkan dengan fenomena rutin tahunan, yaitu pencarian lembaga unggul oleh orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Semua orangtua pasti ingin menyekolahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang mempunyai nilai lebih (baca: prestasi akademik) di antara lembaga lainnya.
Ternyata paradigma orangtua dan sistem pemerintah selaras, terjebak pada sistem lama yang salah kaprah. Yaitu, sistem lembaga pendidikan warisan nenek moyang yang hanya mengandalkan test formal (achievement test). Sekolah yang menerapkan tes standar masuk, merupakan maqam (tingkatan) terendah dalam sebuah institusi pendidikan (Munif Chotib, 2012). Sungguh ironis, jika lembaga pendidikan hanya berbarometer ranah kognitif teoritis semata. Lantas, bagaimana dengan anak yang terbelakang dan berkebutuhan khusus (ABK)?.
Padahal, setiap anak mempunyai hak untuk menempuh pendidikannya, tak terkecuali anak itu miskin, autis bahkan terbelakang sekali pun. Karena pendidikan adalah hak dasar (fundamental right) untuk setiap anak. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Perlakuan sistem telah mematikan potensi anak yang kecerdasannya kurang. Hanya mereka yang mampu mencapai KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang akan menjadi siswa baru. Sedangkan bagi mereka yang nilainya di bawah KKM dengan terpaksa harus mencari lembaga alternatif yang dirasa kurang unggul.
Di Selandia Baru sistem penyaringan siswa bukan mereka yang unggul nilai akademisnya. Akan tetapi, semua pendaftar (baik yang berprestasi maupun yang terendah) akan lolos dalam ujian seleksi. Yang pasti ujian seleksi bukan hanya bertumpu pada ujian test. Di negeri ini setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.
Mencari lembaga pendidikan yang benar-benar berdasarkan asas utama mencerdaskan anak didik bukan perkara gampang. Lembaga pendidikan di negeri ini dalam skala mayoritas masih saja memberhalakan angka sebagai tolok ukur kesuksesan. Lembaga pendidikan yang bersungguh-sungguh menjadi penyelam bagi potensi setiap anak didiknya (discovering ability) masih sangat jarang ditemukan.
Sandiwara Akreditasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa nilai akreditasi menjadi simbol keunggulan sebuah lembaga pendidikan. Predikat “akreditasi A” menjadi barometer utama orangtua untuk memasukkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan. Memang, dilihat dari definisi dalam kamus bahasa Indonesia, akreditasi adalah pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu.
Pertanyaanya, apakah sistem penilaian akreditasi telah dilaksanakan dengan objektif?. Apakah administrasi (berkas) yang menjadi objek penilaian telah sesuai dengan kenyataan di lapangan?. Ini menjadi refleksi kolektif untuk menjawab kebenarannya.
Tidak bermaksud mengerdilkan eksistensi akreditasi. Namun, kenyataan yang memperlihatkan bahwa akreditasi adalah penentu kuantitas murid ketika masuk ke sebuah lembaga pendidikan perlu diluruskan. Realita yang mempertontokan bahwa akreditasi merupakan simbol kualitas lembaga pendidikan perlu diarahkan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sehinga masyarakat kita tidak mendewakan akreditasi.
Jika kita perhatikan dari fisik luar seolah berjalan normal, tapi apabila kita gali lebih mendalam, kita akan menemukan hama-hama kejanggalan dalam pola pelaksanaan akreditasi. Penyambutan asesor yang terkesan over dan berlebihan. Sekolah yang bersangkutan menyuruh para siswa agar membentuk pagar betis dengan diiringi alunan musik drumband dalam menyambut asesor. Spanduk terpancang tinggi di sana sini. Apakah salah? Tidak, namun tidak wajar.
Sekolah memperlakukan asesor bak seorang raja. Suguhan yang dihidangkan tak seperti biasanya. Sambutan yang meriah ibarat menyambut kedatangan presiden. Belum lagi salam tempel (amplop) tebal dari pihak sekolah kepada para asesor sudah menjadi hal yang tak tabu. Di negeri ini akreditasi seolah-olah telah menjadi ajang “jual-beli” nilai. Lembaga sekolah telah memberhalakan sistem penilaian akreditasi dengan berbagai cara. Sungguh ironis memang, tapi perlahan menjadi hal yang lumrah dan biasa.
Belum lagi dua atau tiga bulan sebelum menyambut hari “H” (pelaksanaan akreditasi) para guru lembur kerja dari pagi hingga petang. Sudah pasti, berkas administrasi yang seharusnya menjadi kegiatan rutin dan kontinyu kurang-lebih selama lima tahun, ternyata bisa terpenuhi dengan waktu cukup singkat, satu atau dua bulan.
Sekolah Positif
Sekolah dengan tampilan “akreditasi A” dan disertai dengan prasarana yang mewah bukan kategori utama sekolah itu baik. Sekolah yang baik adalah sekolah yang selalu memperhatikan potensi anak didiknya. Sekolah positif adalah sekolah yang bisa mengajarkan anak didik cara belajar yang baik sehingga mereka bisa menggali segala kemampuan (skill) yang ada dalam dirinya.
Oleh karena itu, orang tua harus lebih jeli dalam memilih sekolah untuk anak-anaknya agar tidak terjebak dengan tampilan luar yang memukau. Ada dua kriteria sekolah baik berdasarakan buku Anak Cerdas Bahagia dengan Pendidikan Positif karya Muhammad Alwi (2014). Pertama, apabila sekolah melaksanakan proses pembelajaran yang menyenangkan. Memang, saat ini metode “ceramah” masih saja menjadi metode popular bagi para guru dalam menyampaikan materi. Sehingga tak jarang anak didik jenuh dan bosan. Maka, pembelajaran yang menyenangkan (yang sesuai dengan bakat anak) sudah menjadi kemutlakan agar lembaga pendidikan terkesan indah seperti taman bermain.
Kedua, sekolah yang peduli kepada anak didik. Peduli terhadap cara belajar yang baik bagi anak sehingga pengetahuan yang diperoleh tidak cepat hilang atau basi. Peduli kepada keterampilan anak didik yang menjadikan pengetahuan tidak hanya tersimpan di otak tapi juga bisa diaplikasikan dengan pekerjaan. Peduli terhadap kemampuan anak untuk menganalisis pengalaman dan bertindak atas dasar kesimpulan-kesimpulan, seperti menentukan prioritas, menganalisis dan lain-lain. Kepedualian terhadap karakter anak didik seperti jujur, percaya diri, punya integritas, dan empati. Dan sekolah yang peduli terhadap kematangan emosional anak didiknya. Itulah barometer lembaga pendidikan yang baik daripada sekadar tampilan “akreditasi A” tanpa makna. [*]
Oleh: Nurul Yaqin
Guru MI Unggulan Daarul Fikri, Cikarang Barat, Bekasi