
JAKARTA | koranmadura.com – Presiden Joko Widodo meminta rekomendasi dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditindaklanjuti secepatnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, sebanyak 56 Kementerian/Lembaga (K/L) memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Kemudian 26 K/L memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan 4 K/L yang memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat atau TMP atau disclaimer.
“Mengenai rekomendasi-rekomendasi yang ada, saya harapkan rekomendasi-rekomendasi tersebut bisa jadi ditindaklanjuti secepatnya karena masih ada sisa rekomendasi yang belum ditindaklanjuti,” kata Presiden Jokowi saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015 di Istana Negara Jakarta, Senin (6/6).
Presiden menegaskan tidak boleh ada pihak yang “bermain-main” dengan uang rakyat. “Kita tahu semuanya bahwa penggunaan APBN harus sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat, untuk kepentingan masyarakat, dan kita harus bisa memastikan rakyat benar-benar bisa mendapatkan manfaat dari penggunaan APBN tersebut,” katanya.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz melaporkan enam temuan masalah dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015.”Permasalahan tersebut merupakan gabungan ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan tehasap ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Harry.
Masalah ini adalah saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyer-taan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1.800,93 triliun yang di antaranya sebesar Rp848,38 triliun merupakan PMN kepada PT PLN.
PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya pada 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu padahal OJK mewajibkan PLN menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. “Sebagai akibatnya BPK tidak dapat menentukan apakah diperlukan penyesuaian terhadap angka yang ada,”ujarnya.
Temuan kedua adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar, termasuk pajak dikurangi subsidi tetap, sehingga membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana itu.
Temuan ketiga adalah menyangkut piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
Temuan keempat adalah persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.
BPK juga menemukan masalah pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat sehingga kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.
Temuan keenam adalah koreksi-koreksi pemerintah yang mengurangi nilai ekuitas Rp96,53 triliun dan transaksi antarentitas sebesar Rp53,34 triliun tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai.
“Terhadap enam permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan agar ke depan permasalahan yang mempengaruhi kewajaran laporan keuangan menjadi semakin berkurang dan tidak menjadi temuan berulang,” pungkasnya. (GAM/ANT/ABD)