Buku dalam keluarga menentukan sakralnya kenangan dan nostalgia. Buku-buku imajinatif itu tidak sekadar menjadi masa lalu membahagiakan atau mengesankan dalam biografi berkeluarga. Tidak habis pakai seperti kemalangan buku teks pelajaran. Ada momentum keriuhan kata-kata dalam rumah; orang tua bercerita, anak-anak mendengarkan, atau buku-buku yang terus melantun setiap waktu. Orang-orang berkeluarga untuk membaca.
Dalam buku cerita untuk anak-anak berjudul Gembira cetakan kesembilan (1977) garapan A.S. Maxwell, pewarisan kenangan dan laku membaca terjadi. Penerbit memberikan pengakuan, “Generasi yang terdahulu telah dewasa, namun masih banyak dari antara mereka yang mengingat buku ini dan kisah-kisah yang terdapat di dalamnya. Dari antara mereka itu banyak yang sudah berkeluarga dan ingin mengisahkan apa yang telah dibaca mereka puluhan tahun yang lalu….mereka menganjurkan supaya buku ini dicetak kembali dan anak-anak mereka dapat membacanya.” Buku diminta lahir kembali untuk mengiringi anak-anak bertumbuh.
Buku Gembira memuat cerita tentang dunia anak, keluarga, binatang, lagu, alat transportasi, cita-cita. Permintaan buku diterbitkan ulang jadi pewarisan kegembiraan menyimak cerita. Laku literasi tidak boleh diputus oleh perbedaan zaman. Tindakan orang tua ini tentu beresiko menyindir program lima belas menit membaca buku non teks pelajaran (Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2015) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anak-anak Indonesia hanya perlu lima belas menit membaca yang terasa pelit jika dibandingkan dengan waktu panjang pelajaran inti sekolah.
Di kelas, 15 menit itu mungkin penuh horor. Pemerintah yang waswas karena gairah baca tidak juga meningkat, guru-guru yang lekas ingin menyampaikan pelajaran, dan anak-anak yang mungkin bingung kenapa acara membaca buku tiba-tiba diada-adakan. Anak-anak seperti tersentak menyadari bahwa buku-buku imajinatif penuh petualangan sebenarnya tidak pernah ada dalam keseharian mereka berkeluarga. Keluarga tidak pernah jadi persinggahan buku dan mata hanya menyaksikan buku diistirahatkan di sekolah. Masa menyejarah berbuku hanya terjadi saat liburan kenaikan kelas; belanja buku tulis.
Keluarga Buku
Pemerintah sebagai panitia acara membaca barangkali tidak berani menjamin bahwa 15 menit membaca seketika membawa anak ke masa lain yang semarak. 15 menit itu hanya visualitas jam dinding di tembok kelas yang sabar bergerak dari menit ke menit, dari angka menuju angka lain. Tidak ada pertanggungjawaban lanjut bahwa 15 menit memang keterpukauan yang tidak akan terputus menuju kesemestaan huruf-huruf.
Kita bisa membaca keluarga sebagai semesta buku dalam Hatta, di Mata Tiga Putrinya (2015) garapan Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Meutia kecil menyadari kehadiran buku-buku sebagai anggota keluarga di rumah tinggal, rumah dinas Wakil Presiden RI di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta Pusat. Meutia memiliki rak tersendiri untuk merawat koleksi. Sejak kecil, emosionalitas buku dirawat; tidak mencoret, melipat, atau membiarkan buku tercecer sembarangan. Komik Mahabharata garapan R. A. Kosasih dan petualangan Winnetou-nya Karl May jadi bacaan favorit. Buku bacaan anak di masa kecil pada akhirnya menjadi penentu pilihan keilmuan.
Meutia mengatakan, “Dimulai dari sekadar membaca buku cerita, cara hidup para pelaku yang digambarkan dalam buku cerita itu sampai lama menempel di pikiran saya dan menjadi sumber penting bagi minat saya pada antropologi.” Cerita-cerita juga hidup saat libur akhir pekan di rumah Megamendung. Gemala mengenang, “Ayah selalu bercerita kepada kami tentang beragam cerita dari berbagai buku cerita, antara lain dari buku dongeng Hans Christian Andersen. Kami menitikkan air mata kalau Ayah menceritakan bagian yang mengharukan atau membuat sedih. Kami juga menjadi sebal dan geram terhadap witch atau tukang sihir perempuan jahat.” Hatta berhasil membawa tiga putrinya melintas ruang dan waktu lewat buku.
Buku pengalaman berorang tua, Berkah Kehidupan (2011) dieditori oleh Baskara T. Wardaya, juga memuat cerita-cerita para tokoh besar. Mereka bercerita tentang bapak dan ibu sebagai rahim buku. Budayawan Franz Magnis-Suseno mengingat ayah sebagai pembaca yang rakus buku-buku sejarah serta pustaka teologi dan ibu sebagai pendongeng yang memukau. Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dibentuk oleh masa-masa berbuku bersama ayah, Agus Setiadi sang penerjemah buku Lima Sekawan, Sapta Siaga, Trio Detektif. Ayah juga menjadi teman mengobrol dan mengasah kemampuan berbahasa. Masih ada cerita berkeluarga-berbuku dari aktivis Ita Fatia Nadia, Ben Anderson, Syafii Maarif, dan tokoh lain. Masa depan menjadi apa dan siapa ditegaskan oleh jalan masa lalu bersama keluarga buku.
Keluarga menjadi yang pertama menentukan kesungguhan-keinginan membaca. Keluarga Indonesia kekinian harus meyakini bahwa mereka bisa menggagalkan misi 15 menit membaca yang sistematis. Beramai menolak dan memberontak atas peristiwa membaca yang singkat. Keluarga Indonesia bisa mewaktu bersama buku jauh melampaui 15 menit sampai tidak sadar bahwa tubuh telah memberi diri sebagai rumah membaca. Rumah keluarga buku tempat anak-anak buku hidup bersama bapak dan ibu buku. [*]
Oleh: Setyaningsih
Pembelajar bacaan anak, bergiat di Bilik Literasi Solo. Penulis buku Melulu Buku (2015)