JAKARTA | koranmadura.com – Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui postur sementara Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016.
Salah satunya, menyepakati defisit dalam R-APBN Perubahan 2016 turun dari Rp 313,2 triliun atau 2,48 persen dari produk domestik bruto (PDB), menjadi Rp 298,7 triliun atau 2,35 persen dari PDB. Angka ini turun sekitar Rp 16,6 triliun dibandingkan yang diusulkan dalam RAPBNP 2016.
“Saya minta agar penurunan deficit ini dipakai untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 500 Miliar,” ujar Wakil Ketua Banggar Said Abdullah di Jakarta, Rabu (22/6).
Rencananya, usulan RAPBN-P ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU. Namun penetapan postur RAPBNP 2016 secara resmi, masih menunggu hasil rapat Panja yang membahas belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa.
Said menjelaskan postur APBN-P sementara yang disepakati tersebut merupakan hasil rapat Panitia Kerja (Panja) Banggar yang membahas asumsi makro, penerimaan dan defisit anggaran.
Dalam rapat Panja tersebut, Said meminta pemerintah untuk menghitung ulang defisit anggaran agar bisa lebih rendah dari usulan semula.
Penghitungan ulang tersebut defisit anggaran dimungkinkan karena asumsi harga Indonesia Crude Price (ICP) telah disepakati dari usulan awal 35 dolar AS per barel menjadi 40 dolar AS per barel. Ini artinya, ada potensi tambahan penerimaan migas yang pada akhirnyamenambal anggaran negara yang cukup signifikan.
Politisi senior PDI Perjuangan ini optimis pertumbuhan ekonomi 5.2% akan tercapai jika melihat kecendrungan harga minyak mentah dan estimasi pemerintah dari penerimaan tax amnesty sebesar Rp 165 Triliun. Namun jika pengampunan pajak ini gagal maka dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Sebab, dana yang digadang-gadang masuk dalam jumlah besar itu direncanankan dapat menjadi pelumas sejumlah proyek prioritas seperti infrastruktur. “Indonesia akan menanggung dampak negetif yang lebih besar jika tax amnesty gagal,” terangnya.
Kegagalan tax amnesty diprediksi akan menimbulkan shortfall realisasi penerimaan target pajak yang semakin besar. “Yang ditakutan Indonesia akan mengalami defisit anggaran yang besar,” tuturnya.
Untuk itu, Said meminta perubahan defisit anggaran tersebut tidak boleh mengganggu belanja prioritas, bahkan apabila dimungkinkan ada tambahan belanja untuk kebutuhan mendesak yang terbagi rata untuk infrastruktur daerah maupun pusat. “Pemerintah harus fokus pada dua hal kebutuhan mendesak dan kebutuhan prioritas. Intinya tidak boleh keluar dari RKP,” kata politisi asal Sumenep, Madura ini.
Dalam postur tersebut asumsi makro yang disepakati adalah pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, tingkat inflasi 4 persen, suku bunga SPN 3 bulan 5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp13.500 per dolar AS, harga ICP minyak 40 dolar AS per barel, lifting minyak 820 ribu barel per hari dan lifting gas 1.150 ribu barel per hari setara minyak.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan dari postur asumsi tersebut maka target pendapatan negara disetujui sebesar Rp1.786,2 triliun atau ada selisih Rp51,7 triliun dari usulan RAPBN-P sebesar Rp1.734,5 triliun.
Dari pendapatan negara itu, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.539,2 triliun atau naik Rp12,1 triliun dari usulan Rp1.527,1 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp245,1 triliun atau meningkat Rp39,7 triliun dari usulan Rp205,4 triliun.
“Kenaikan target perpajakan didukung oleh proyeksi kenaikan PPh migas sebesar Rp12,1 triliun, atau dari Rp24,3 triliun menjadi Rp36,3 triliun, karena adanya kenaikan asumsi makro harga ICP minyak, lifting migas dan cost recovery,” ujar Bambang. (GAM)