Ramadan 2016 tinggal menghitung hari. Harga sembako terus merangkak naik. Padahal, konsumsi masyarakat di bulan puasa seyogianya menurun. Memang aneh, tapi itulah realita di negeri ini. Mirisnya lagi, ketika harga sembako naik, pedagang yang disalahkan. Padahal, sudah bukan rahasia lagi, banyak mafia yang mempermainkan laju perekonomian di pasar jelang hari-hari besar.
Beberapa waktu lalu, anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, mencatat kenaikan harga sembako akan terus terjadi pada periode Mei-Juli 2016 rata-rata sebesar 47,45%. Bahkan saat ini di pasaran, harga daging sapi naik 72%, ayam ras 67%, dan beras 50%. Belum lagi harga komoditas lainnya seperti bawang, cabai, tomat, buah-buahan, sayur-sayuran dan rempah-rempah sudah naik 15-50%.
Kenaikan harga sembako pasti akan menekan kemampuan keuangan rumah tangga hingga 50%. Tentunya ini akan sangat terasa ketika kemampuan daya beli makin lemah akibat lesunya perekonomian nasional. Dan pada gilirannya, kenaikan itu pasti akan berdampak pada laju inflasi nasional. Tercatat, inflasi 2016 sebesar 0,62%. Kenaikan itu disumbangkan paling besar oleh naiknya indeks kelompok bahan makanan sebesar 0,69%. Biar bagaimana pun kenaikan harga kebutuhan jelang hari-hari besar harus diwaspadai.
Pemerintah Tanggap
Amanat UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan pasal 25 ayat (3) menyatakan bahwa pemerintah wajib menjaga ketersediaan dan stabilitas harga kebutuhan bahan pokok dan penting. Tak salah bila berasumsi bahwa selama ini pemerintah gagal mewujudkan amanat tersebut. Pasalnya, berkali-kali berganti orde pemerintahan, namun gejolak harga komoditas menjelang hari besar selalu terjadi.
Untuk itu, pemerintah harus benar-benar tanggap dan mencari langkah solutif. Selama ini, pemerintah selalu dikelabui oleh oknum mafia pasar. Jadi, sekali mafia pasar mampu mengelabui pemerintah, maka rentetan permainan pasar jelang hari-hari besar berikutnya sudah menjadi skema permanen bagi mafia tersebut. Untuk itu, sudah saatnya memperkuat pengawasan laju perdagangan di pasar.
Ada dua faktor utama meroketnya harga kebutuhan pokok jelang hari besar dan ini harus menjadi perhatian intens pemerintah. Pertama, adanya praktik monopoli di pasar. Artinya, kendali pasar dikuasai oleh sejumlah pengusaha/produsen. Akibatnya, demi meraup untung yang berlipat, maka mereka cenderung mempermainkan laju distribusi barang, agar terjadi hukum persediaan (supply) dan permintaan (demand). Jadi, masyarakat akan memburu persediaan sembako, sementara para pengusaha memperlambat distribusi barang ke pasar. Di saat rakyat mengeluh akibat stok sembako minim, di saat itulah pengusaha melancarkan barang ke pasar dengan harga berlipat.
Di sini lah pemerintah harus tanggap. Pemerintah harus dengan tegas mengganjar para oknum mafia pasar dengan UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan dengan hukuman denda, penghentian kegiatan produksi, pencabutan izin hingga pidana penjara. Dengan pemberian sanksi tersebut, diharapkan pasar akan bersih dari permainan para pengusaha. Harga kebutuhan pokok pun bisa kembali normal di hari-hari biasa maupun hari-hari besar.
Kedua, krisis stok nasional. Pemerintah punya otoritas dan tanggung jawab dalam mengamankan stok kebutuhan pokok jelang hari besar. Jika ditinjau selama ini, pemerintah tak berhasil mewujudkannya. Pemerintah terkesan tak bekerja keras untuk menggenjot para petani agar berproduksi. Alhasil, target tak tercapai, ujung-ujungnya impor pun dibudayakan.
Untuk stok Ramadan ini, pemerintah berencana mengimpor daging sapi beku dari negara asing karena stok sapi lokal minim dan harganya mahal. Selain itu, buah-buahan juga akan diimpor dengan alasan produksi buah nasional sangat menurun drastis selama tahun 2015-2016.
Inilah kelemahan besar pemerintah kita, tak pernah menargetkan stok nasional jauh-jauh hari sebelumnya. Padahal, sejak tahun lalu, pemerintah harusnya sudah menjamin stok pangan untuk Ramadan ini. Namun, hal ini sepertinya dianggap bukan prioritas untuk direalisasikan. Jadi, sangat wajar jika pemerintah menganggap impor sebagai solusi terbaik. Padahal, budaya impor menandakan kegagalan pemerintah, juga menunjukkan bahwa tidak ada sinergitas yang baik antara pemerintah dengan petani untuk meningkatkan produksi bahan pokok dalam negeri.
Asuransikan Petani
Stok nasional akan tecapai jika produksi dalam negeri mampu digenjot. Artinya, petani selaku pemasok utama komoditas pangan harus diperhatikan. Tiap tahun, jumlah petani Indonesia terus berkurang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari tahun 2003-2013 dari 31 juta petani Indonesia turun drastis menjadi 26 juta. Artinya, dalam 10 tahun, 5 juta petani berkurang. Rata-rata mereka beralih pekerjaan.
Pada umumnya, petani beralih profesi karena mereka tak mampu memperbaiki perekonomian keluarga dengan hasil panennya. Ujungnya, mereka beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik, supir angkot, pedagang pasar tradisional dan membangun usaha kecil-kecilan. Fakta ini harusnya jadi tamparan bagi pemerintah selaku pemangku kebijakan. Kurangnya kepedulian pemerintah selama ini semakin memiskinkan para petani.
Petani dipermainkan pengusaha, pemerintah membiarkan begitu saja. Petani mengalami gagal panen akibat bencana, cuaca buruk dan kurangnya pengetahuan tentang pertanian, pemerintah tak juga hadir untuk membantu. Jadi, jika petani beralih profesi ke yang lain, pemerintah tidak punya hak untuk menyalahkannya. Jika stok komoditas pangan nasional kurang, pemerintah lah yang bertanggung jawab.
Untuk itu, pemerintah diharapkan serius memperhatikan petani. Jika petani sejahtera, maka mereka akan lebih bekerja keras untuk medongkrak jumlah produksi kebutuhan pokok nasional. Sudah saatnya pemerintah mengasuransikan petani dan usahanya agar mereka tidak meninggalkan profesinya. Asuransi tersebut sangat penting mengingat petani Indonesia sering mengalami gagal panen akibat serangan hama, cuaca buruk, bencana alam dan faktor lainnya.
Selain itu, petani kita juga selama ini kurang dibekali ilmu pertanian. Banyak petani gagal berproduksi karena tanamannya rusak/mati akibat tidak paham metode bertani yang baik. Untuk itu, pendampingan pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah diharapkan memberi berbagai pelatihan dan penyuluhan tentang cara bertani yang efisien, efektif dan profit. Bentuk perhatian seperti itulah yang selama ini dinanti para petani dari pemerintah.
Jadi, pemerintah jangan dengan mudahnya menargetkan stok kebutuhan pokok nasional dengan begitu tinggi tanpa memperdulikan nasib petani selaku produsen utama. Semua kebijakan pemerintah mestinya berpihak kepada kesejahteraan petani, bukan kepada mafia pasar dengan segala kebijakan kapitalis dan monopolinya.
Jika relasi simbiosis mutualisme dan sinergitas antara pemerintah dan petani tercipta, dijamin produksi kebutuhan pokok nasional akan meningkat dan selalu memadai di hari-hari biasa maupun di hari-hari besar. Tidak akan ada lagi keluhan masyarakat terkait harga sembako di pasar. Rakyat yang sedang berpuasa pun akan menjalankan ibadahnya dengan lancar.
Selamat menunaikan Ibadah Puasa. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta