Kedatangan Ramadan tahun ini terasa sangat spesial bagi bangsa Indonesia. Seakan seperti embun penyejuk di tengah berbagai persoalan terkait tindakan kekerasan pada anak-anak. Menjadi semacam stimulus untuk mengingatkan kembali tentang nilai penting institusi bernama keluarga.
Sulit mengingkari berbagai kekerasan pada ana-anak belakangan ini muara utamanya karena benang kusut lingkungan keluarga. Anak yang melakukan kekerasan hampir dipastikan merupakan produk dari kegagalan pendidikan lingkungan keluarga. Mereka yang menjadi korbanpun kadang terjadi karena kurangnya pengawasan, perhatiaan dan pembinaan kemampuan diri dari keluarga.
Ramadan yang datang mulai pekan ini memang bukanlah ibadah khusus sebagai solusi persoalan keluarga. Namun berbagai aktivitas dalam menjalankan ibadah puasa banyak yang memberi ruang pada penyegaran lingkungan keluargaa.
Ketika kesibukan luar biasa akibat pengejaran kebutuhan hidup menjauhkan komunikasi antara suami dan istri, bapak dan ibu dengan anak-anaknya sehingga jarang sekali berada dalam meja makan bersama, melalui pelaksanaan sahur dini hari, sebuah keluarga “sesungguhnya” seperti baru terasa. Akan ada saling sapa, saling mengingatkan, saling membangunkan di saat pelaksanaan sahur. Sebuah interaksi sosial yang seharusnya selalu menjadi bagian keseharian keluarga, yang karena kesibukan hampir-hampir tak terjadi lagi, disegarkan kembali melalui aktivitas sahur puasa.
Saat berbuka puasapun tak kalah menggoda untuk berkumpul bersama keluarga. Bukan rahasia lagi jam-jam kantor berubah dan dirancang agar para karyawan dapat berbuka bersama di rumahnya bersama keluarga. Sudah tentu ini bukan hanya pemahaman perusahaan. Kadang kebersamaan karyawan yang bersikeras merobah jam kerja atas dasar semangat ingin berbuka bersama keluarga setengah memaksa perusahaan.
Di kota-kota besar, aroma perubahan dinamika pergerakan manusia itu sangat terasa. Tanpa perlu kemampuan tajam analisa sosial mudah mencermati semangat para karyawan ingin segera pulang untuk berbuka bersama keluarga. Transportasi kereta praktis mengalami perubahan kepadatan penumpang yang lagi-lagi sangat jelas arahnya mengekspresikan semangat keluarga.
Sulit mungkin memahami fenomena sosial pada moment puasa itu, paling tidak untuk di negeri ini. Seakan puasa Ramadan itu membawa energi khusus yang menggerakkan hati manusia menyegarkan jalinan kekeluargaan bahkan kepada orang-orang yang kadang sama sekali tidak memiliki pertautan genetis.
Itu baru beberapa hal aktivitas puasa yang menyuntikan kegairahan mempertautkan hubungan kekeluargaan. Masih banyak aktivitas lain seperti sholat taraweh, sholat berjamaah di masjid yang terasa lebih ramai dibanding hari-hari biasa. Semuanya sangat kasat mata menyegarkan hubungan keluarga juga hubungan kemanusiaan di lingkungan sosial.
Tentu momen indah itu diharapkan tak hanya sekedar sebuah lintasan sesaat, yang kemudian kembali ke dalam kerutinan yang memunculkan skat-skat kemanusian di lingkungan keluarga. Puasa yang menyuntikkan energi dasyat itu selayaknya menjadi proses penyegaran hubungan di lingkungan keluarga. Memperkuat institusi keluarga sehingga pasca Ramadan nanti pengalaman pahit dalam berbagai bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan lain yang mencerminkan kerapuhan hubungan sosial, tidak terjadi lagi.
Kembali Ramadan datang, mari kembalikan kesegaran hubungan persaudaraan di lingkungan keluarga. Semoga. [*]
Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis asal Madura