Saeni, perempuan (53) pemilik warteg itu terlihat menangis lemah. Tak kuasa menahan sedih, melihati dagangannya dibawa paksa oleh petugas satuan polisi pamung praja, Kabupaten Serang, Banten. Kejadian itu bermula ketika dalam razia Ramadhan, Saeni didapati menjual nasi di siang hari. Atas aktivitasnya tersebut, Saini dinilai melanggar praturan daerah, yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh pemerintah setempat.
Kisah tentang Saeni, telah menambah daftar tumpukan kasus-kasus ‘lucu’ di negeri ini. Lain judul, lain masalah, tapi masih dalam satu lingkup tujuan dan ‘agenda’ yang sama. Sebelumnya, dalam banyak kesempatan bangsa ini sudah amat sering disuguhi peristiwa remeh-temeh, namun karena peran media sosial yang tidak terbendung, kasus ecek-ecek tersebut menjadi suatu yang wah, lantaran sudah dipoles dalam bentuk dan ragam pemberitaan yang beraneka modus.
Sebuah Dromologi
Postmodernitas adalah satu wujud realitas masyarakat kontemporen yang hadir sebagai konsekuensi perkembangan teknologi. Wujud teknologi yang dari waktu ke waktu semakin mempesat, mau tidak mau menggiring realitas kehidupan masyarakat pada dimensi kebudayaan baru. Salah satunya adalah budaya percepatan, atau yang lebih popular disebut dengan dromologi kebudayaan.
Dalam buku yang berjudul Speed and Politics (1932), Virilio menjelaskan dromologi sebagai proses percepatan kultural yang ditopang oleh kehadiran teknologi, komputerisasi, beragam sumber informasi (media) secara signifikan. Globalisasi, modernisasi terjadi disetiap lini sehingga mengantarkan manusia pada ruang artifisial dalam bentuk digitalisasi dan visualisasi. Meminjam istilah dari Marshall McLuhan (1911-1980), manusia berada dalam sebuah bangunan global village.
Terjebaknya aktivitas sosial masyarakat dalam ruang globall village berdampak besar pada peleburan kebudayaan dalam segala aspek. Demikian berlangsung dalam proses pertukran sosial-budaya yang begitu cepat, sulit dikendalikan. Jadilah kemudia dromologi berevolusi sebagai identitas masyarakat postmodern. Baik itu dalam hal ekonomi, pendidikan, politik, hingga pada yang mendasar sekalipun, interaksi sosial misal. Karenanya, semakin teknologi dan komputerisasi berkembang dalam beragam inovasi, maka disitulah dromologi semakin menemukan eksistensinya. Akibat percepatan inilah segala aktivitas manusia diredusir pada sebuah layar kecil bernamakan televisi, media digital, handpone, gadget, dan lain semacamnya. Sehingga, jadilah kemudian realitas kehilangan makna subtansinya, tergantikan oleh realitas buatan, yang oleh Jean Baudillard disebut sebagai dunia Hyperealitas. Yaitu sebuah kultur masyarakat kekininian yang terjajah oleh simulasi dan adegan fiktif media massa. Etika dikalahkan oleh estetika, Fakta dikalahkan oleh citra, esensial dikalahkan oleh artificial.
Konsepsi Virilio tentang dromologi, Marshall Mc Luhan tentang global village, dan Jean Baudillard tentang Hyperrealitas sejatinya dapat menjelaskan fenomena Saini degan Wartegnya. Apa yang terjadi dalam kasus penutupan warteg Saeni tidak lainadalah miniature era postmodernitas. Sebuah kasus yang tidak begitu subtansial, namun mampu menyedot jutaan pasang mata lantaran dibumbui oleh peran media, berkat beragam citra yang disimulasikan dalam beragam kode dan symbol. Barangkali inilah sebabnya, mengapa isu tentang Saeni dan Wartegnya berada di atas angin ketimbang isu-isu sosial lain, yang sejatinya secara universalitas lebih subtansial. Problem kenaikan bahan pokok yang belum bisa terkendalikan misalkan.
Perlunya Kedalaman
Dalam kontruksi sosial masyarakat postmodern dekade ini, apa yang disebut sebagai esensi realitas sosial cenderung terperangkap dalam konstruksi pemahaman yang relative dangkal. Pemaknaan terhadap gejala-gejala sosial, apakah itu dalam bentuk dinamika politik, ekonomi, pendidikan terhenti sebatas pada permukaan semata. Jadilah kemudian kesadaran subjektivitas terjebak sekadar pada apa yang nampak, bukan pada yang esensial. Inilah mengapa, sikap kritis sebagai sebuah agenda pencarian makna esensial (original meaning) adalah suatu yang niscaya, melepaskan kultur masyarakat dari jajahan produk-produk postmodernitas, termasuk di dalamnya adalah sikap taken for granted.
Pencarian makna esensial inilah yang kemudian menjadi satu dari sekian faktor perlunya pencarian kedalaman. Dengan artian, dalam beberapa kesempatan, pemahaman subjektivitas terhadap fenomena sosial tertentu harus mampu menelisik ke ranah yang lebih subtansial. Mengungkap hal-hal kontradiktif yang lebih berarti, lebih factual, dan memiliki orientasi jelas terhadap proyek perwujudan kemashlahatan masyarakat. Bukan berdasarkan pada kepentingan golongan tertentu.
Cita-cita kedalaman makna inilah yang turut pula dikampanyekan oleh Jacques Derrida (1930-2004) dengan proyek pemikiran besarnya, dekonstruksi. Yaitu sebuah proyek pembongkaran menggali realitas sesungguhnya melalui penanaman paradigma berpikir kritis, analitik, dan faktual. Dengan dekonstruksinya, Derrida berusaha membebaskan pola konstruksi masyarakat kontemporer dari keterjebakan simbol-simbol sosial (baca, logosentrisme), menuju perluasan pemikiran yang tidak lagi bersikap taken for granted. Tidak menerima apa adanya, dan bersikap passif. Sebaliknya, berani menyusup ke permukaan paling dalam, mencari dan mengangkat fenomena-fenomena tersumbunyi di baliknya. Sehingga, nampaklah kemudian mana yang esensial dan mana yang artfisial, mana yang fakta dan mana citraan.
Pemikiran Jacques Derrida dan Jean baudillard di atas sesungguhnya dapat merumuskan, sekaligus bisa menawarkan solusi atas peran sentral media (sosial), yang satu sisi memiliki kekuatan membentuk realitas buatan, dan di sisi lain mampu melenyapkan realitas sesungguhnya. Dalam konteks ini, pendekatan idealisme adalah keniscayaan. Karena sebuah pembangunan, apakah itu modernitas ataupun postmodernitas tidak akan memiliki arah jelas tanpa ditanami idealism sebagai rohnya. Kedepannya, masyarakat berharap, media (sosial) selaku agen kebudayaan mampu mendudukkan diri secara proporsional. Dan pada saat bersamaan, masyarakat sendiri bersikap arif dan bijak dalam merespon, dan mengkonsumsi pemebritaan media. Sehingga ke depannya tidak lagi muncul kasus-kasus serupa, seperti Saeni-Saeni berikutnya. [*]
Oleh: Abd Hannan
Akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Universitas Airlangga Surabaya.