Pancasila merupakan bagian dari pilar berbangsa dan bernegara. Secara konseptual, kesempurnaan individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diukur dari kemampuan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari. Butir-butir dalam pencasila secara universal mengatur bagaimana hubungan individu secara horizontal dengan individu yang lain, dan hubungan individu secara vertikal dengan Tuhan.
Tetapi dalam kerangka kehidupan bernegara di era global seperti sekarang, internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dan rujukan dalam bertindak mengalami tantangan yang kompleks. Baik tantangan mencari metodologi yang efektif dalam mentransformasikan nilai-nilai Pancasila pada satu sisi, dan lemahnya komitmen political will pemerintah dalam mendesain nilai-nilai Pancasila agar mudah diterapkan. Karena harus diakui, selama ini pola transformasi nilai-nilai Pancasila terlalu akademis-diajarkan hanya sebagai fakta pengetahuan belaka serta warisan historis bangsa Indonesia-dan pada sisi lain, terlalu ideologis dalam bentuk memaksakan nilai-nilai Pancasila sebagai doktrin.
Jika belajar pada sejarah, kegagalan Orde Baru misalnya dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dengan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal mengakibatkan masyarakat Indonesia berideologi Pancasila secara semu. Pendekatan Orde Baru yang represif dan doktrinal mengakibatkan sikap sinisme masyarakat bahwa Pancasilahanya instrumen politik penguasa tempo itu dalam melanggengkan kekuasaannya. Sehingga ketika kekuasaan Orde Baru runtuh, maka konsekuensi logisnya Pancasila seperti ikut runtuh pula.
Akibatnya sekarang-pun Pancasila mengalami kehampaan makna karena pemaknaan Pancasila oleh Orde Baru berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) beserta 36 butir nilai-nilai seolah-olah juga hampa. Sehingga pada aras ini sangat diperlukan rekonstruksi tafsir untuk menjelaskan bahwa pada hakikatnya nilai-nilai dalam Pancasila saling berhubungan sehingga dapat mengantarkan bangsa ini pada kehidupan yang lebih bermaksa, sebagaimana tersirat dalam janji-janji kemerdekaan. Secara makro, rekonstruksi tafsir dengan metodologi yang lebih efektif adalah keniscayaan dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada sisi yang lain, sekalipun sudah ada program ‘Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan’ yang masif dilakukan sebagai wujud untuk mendorong individu dan masyarakat dalam menginternalisasikan nilai-nilai berbangsa dan bernegara-termasuk Pancasila-tetapi pada kenyataannya hanya sebagai transformasi doktrinal semata. Buktinya mekanisme sosialisasi hanya terdengar sayup-sayup kepada publik. Praktisnya, pola sosialisasi yang dilakukan cenderung hanya tuntutan prosedural. Sehingga belum ada indikator secara ilmiah yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat keberhasilan sosialisasi yang terus dilakukan. Bermuara pada persoalan inilah mencari terobosan baru dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila adalah sebuah keharusan.
Realitas Kegagalan Internalisasi Nilai Pancasila
Semakin jamaknya gerakan separatisme di beberapa daerah, tidak saja didasari oleh motif ekonomi dan disparitas pembangunan wilayah. Tetapi pada sisi lain, gerakan separatis menunjukkan lemahnya internalisasi nilai-nilai Pancasila terhadap seluruh warga Indonesia. Sehingga, potensi munculnya gerakan separatisme yang semakin besar di beberapa daerah tidak boleh dianggap remeh. Kenyataan ini harus mendorong komitmen pemerintah dalam mencari formula efektif internalisasi nilai-nilai Pancasila.Jika tidak, maka pada titik tertentu gerakan separatis akan menjadi pemicu runtuhnya kesatuan bangsa Indonesia.
Pendekatan meredam potensi dan gejala separatisme bukan hanya dengan pembangunan ekonomi, tetapi juga menawarkan urgensitas internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai sikap dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pendekatan ini diyakini lebih efektif, karena Pancasila merupakan asas dasar dalam berbangsa dan bernegara. Pemerintah dan seluruh elemen, termasuk kelompok civil society punya peran yang sama besar untuk menstransformasikan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai saluran. Baik melalui lembaga pendidikan ataupun mekanisme yang lain.
Secara sosiologis, gejolak gerakan separatisme menunjukkan rentetan kegagalan bagaimana nilai-nilai Pancasila ditransformasikan lebih sebagai mitos, dibandingkan ilmiah. Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara seolah-olah kehilangan daya magic sebagai instrumen dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, misalnya. Sehingga masalah ini tidak boleh dibiarkan, dan seyogianya pada sisi lain pemerintah harus lebih terpacu dalam merevitalisasi Pancasila dengan pendekatan yang lebih ilmiah sehingga betul-betul terpatri dalam jiwa sebagai sikap hidup.
‘Mengilmiahkan’ Pancasila Melalui Pendidikan
Butir penting dalam rangka reaktualisasi nilai-nilai Pancasila adalah melalui transformasi dalam pendidikan. Pendidikan masih diyakini sebagai soko guru dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Tetapi dengan asumsi, transformasi dalam pendidikan harus lebih inovatif. Pola transformasi nilai-nilai Pancasila yang masih terkesan tak melekat dalam jiwa harus dihindari. Sehingga dalam kerangka ini Pancasila wajib ‘diilmiahkan’. Karena Pancasila bukan barang antik yang tak membumi. Pancasila juga bukan batas imajinasi, tetapi acuan untuk pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi Pancasila lebih merupakan fundamen, filsafat serta pikiran yang mendalam.
Karena itu, pola ‘mengilmiahkan’ nilai-nilai Pancasila harus diobyektivikasi secara lebih normatif dan logis-empiris. Pembahasan Pancasila harus mampu mengantarkan individu kepada situasi logika dan fakta yang tak terelakkan, sehingga harus diterima sebagai cara berpikir dan bertindak. Kenyataan ini diyakini akan jauh lebih efektif daripada pendekatan transformasi nilai-nilai Pancasila yang bersifat konvensional. Tentu saja, pembahasan Pancasila tidak cukup dan berhenti sebatas konsep-konsep universal, tetapi harus berlanjut kepada tatanan yang bersifat kontekstual dan operasional berdasarkan situasi, kebutuhan dan pengalaman bangsa Indonesia.
Pendekatan ini diharapkan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kebutuhan dalam kehidupan bersama dalam alam kebutuhan modern, sehingga tidak sekedar didasarkan kepada argumentasi yang common sence. Sehingga konsekunsinya adalah pendidikan, tafsir dan pemikiran tentang Pancasila perlu dikemas sedemikian rupa agar mampu menjadi individu yang berkepribadian berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Optimisme ini dapat dilakukan, karena dalam Kurikulum 2013 mengembalikan Pancasila sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. [*]
Oleh: H. Slamet Junaidi
Anggota DPR RI Dapil Madura, Jawa Timur Periode 2014-2019.