Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat disebutkan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengacu pada hal itu, maka tiap warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga kerukunan umat beragama. Tanpa ada kerukunan umat beragama itu, niscaya negara ini akan mudah diporak-porandakan. ‘Pihak luar’ akan sangat mudah memecah-belah persatuan dan kesatuan yang selama ini dirawat.
Tentang kerukunan umat beragama ini, sebenarnya ada beberapa contoh yang bisa ditiru. Di Desa Pabian, Kecamatan Kota, Sumenep, terdapat sebuah Klenteng. Yang menarik perhatian adalah posisi bangunan Klenteng itu, yaitu diapit rumah ibadah agama lain. Persis di depan Klenteng ada sebuah Masjid. Dan di sebelah barat Klenteng terdapat Gereja. Meski di desa itu terdapat beragam penganut agama, rupanya kehidupan sosial tetap tentram. Tidak ada gejolak apa pun yang dilatarbelakangi perbedaan keyakinan. Semua akur. Suasana jadi adem.
Kira-kira apa penyebab suasana damai dalam contoh di atas? Penulis yakin, di dalam otak warga di sana tidak terbersit pikiran untuk menganggap agama atau keyakinan orang lain keliru, juga tidak menganggap bahwa hanya keyakinan dirinyalah yang benar. Pikiran itu kemudian diterjemahkan dalam keseharian dengan membiarkan orang lain berperilaku dan beribadah sesuai hati nurani. Tidak ada niat memaksa orang lain mengikuti jalan yang ditempuh. Tidak punya rencana mengusik ketenangan ibadah orang lain.
Suasana seperti itu tidak mungkin bisa berlangsung dalam kurun waktu lama. Di sinilah peran penting pemuka agama memberikan pemahaman kepada yang lain agar saling menghormati, sehingga toleransi beragama tercipta. Hubungan erat tetap dijalin antar pemuka agama untuk memproteksi para pengikut agamanya dari pengaruh yang bisa menyulut intoleransi. Dialog dengan kepala dingin dijadikan senjata mengurai persoalan yang dihadapi.
Peran Pemerintah
Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan meski beragam perbedaan di depan matan.
Dalam menerapkan konsep tersebut, memang akan dijumpai sejumlah kendala. Agus Saputera (2008: 13) menyebutkan hambatan-hambatan yang terjadi dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama antara lain; (1) Semakin meningkatnya kecenderungan umat beragama untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama daripada mengejar kualitas umat beragama; (2) Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun maknanya; (3) Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu; (4) Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah; (5) Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis.
Akan tetapi jika konsep itu dapat direalisasikan, maka perhatian dan konsentrasi pemerintah mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur akan terwujud, tentu saja hal itu lantaran umat beragama yang mampu hidup berdampingan dengan serasi di atas berbagai perbedaan keyakinan dan agama. Maka, betapa layak Indonesia menjadi contoh kongkret kerukunan hidup beragama bagi masyarakat dunia.
Yang tak kalah penting adalah kerukukunan intrern umat beragama. Seperti dalam Islam, ada beragam madzhab dan aliran, semisal keberadaan NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi masyarakat dan keagamaan besar yang memiliki pandangan berbeda dalam beberapa hal. Bila kedua pengikut dua organisasi ini tidak bisa menghargai cara hidup masing-masing, niscaya konflik intern agama tak bisa dihindari. Jika itu terjadi, maka rasa persatuan nasional terusik, dan mengancam stabilitas nasional. Tapi untunglah, meski berbeda persepsi dalam menyikapi sesuatu, kedua pengikut organisasi tetap bergandengan tangan dan berangkulan, sehingga keharmonisan nasional tetap terjaga.
Mari berangkulan untuk merawat dan perkokoh kerunan umat ini. Tidak ada keindahan yang sangat pantas diperjuangkan selain kerukunan umat. Biarlah ‘pihak luar’ sedemikian rupa merongrong rasa persatuan yang sudah terbangun. Selama semua element masih bisa saling menghargai, saling mengasihi dan memiliki, tiap usaha memecah persatuan nasional dari dalam tidak akan pernah terjadi. Karena NKRI harga mati. [*]
Oleh: M. Muhri
Ketua PC Gerakan Pemuda (GP) ANSOR Kabupaten Sumenep