Memprihatinkan! Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh perilaku tak terpuji berupa tindakan plagiasi. Ironisnya, sang plagiator adalah dosen STKIP Kumala Lampung sekaligus kandidat doktor ilmu manajemen.
Adalah Kiai M. Mushthafa, salah seorang pegiat literasi asal Sumenep, yang mengungkap kasus tersebut di laman pribadinya pada 20 Juni 2016. Pelakunya bernama Darmadi yang juga tercatat sebagai pegawai fungsional Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah.
Tulisan Mushthafa yang berjudul Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa di blog pribadinya yang diunggah pada September 2007 dijiplak habis-habisan oleh Darmadi dengan judul Religiusitas Puasa vs Ideologi Televisi. Tulisan Darmadi ini dipublikasikan di Musibanyuasin Post pada 4 Juli 2014 dan bisa diakses di laman issuu.com yang memang menyediakan banyak e-paper surat kabar lokal.
Menurut Mushthafa, awalnya dia ingin mengunggah tulisan lama tersebut di akun Facebook-nya karena dianggap masih relevan dengan suasana Ramadan kali ini. Setelah sempat googling, ia terkejut ketika menemui fakta bahwa artikel itu telah diplagiat oleh Darmadi dan dimuat di salah satu surat kabar lokal.
Temuan ini memang telat karena baru terungkap setelah dua tahun. Namun, kasus ini sangat penting menjadi perhatian. Sebab, bukan sekali ini saja tulisan Gus Mushthafa yang merupakan penulis kondang Madura itu menjadi ”korban plagiat” akademisi.
Pada 2014 lalu tulisannya yang pernah dimuat di Koran Tempo edisi 4 April 2004 dijiplak secara brutal oleh Drs Tamami MAg, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Yang menyedihkan, tulisan sepanjang sekitar 600 kata itu dikutip ke dalam buku Psikologi Tasawuf karya Tamami tanpa menyebutkan sumber dan penulis aslinya, yakni M. Mushthafa.
Tulisan Mushthafa yang disalin tempel hanya dirujukkan ke Koran Tempo. ”Tanda perujukan diletakkan di paragraf terakhir dari seluruh bagian yang disalin-tempel,” terang Mushthafa. Tulisan itu juga dipasang Mushthafa di blognya, yaitu rindupulang.blogspot.com. ”Saya juga memeriksa arsip kliping tulisan yang disusun saat saya masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM itu. Saya bandingkan dengan buku yang baru saya beli itu. Memang salin-tempelnya tidak 100%. Tapi mungkin bisa dibilang 99% tidak jauh berbeda,” jelasnya (milis IGI, 1/9/2014).
Sanksi Tegas
Saya menaruh simpati yang besar kepada Mushthaffa bukan karena ia adalah kawan baik saya sesama pegiat literasi. Lebih dari itu, persoalan plagiarisme ini tidak boleh dipandang remeh. Tindakan plagiasi yang dilakukan secara sengaja demi kepentingan pribadi jelas tidak dapat ditoleransi. Ini adalah tindakan yang menjijikkan dan amat memalukan.
Di Indonesia, kasus plagiasi yang melibatkan akademisi berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Pada Mei lalu saja, tulisan kolumnis Bernando J. Sujibto yang pernah dimuat di Jawa Pos dijiplak oleh Husnul Koriba Hasibuan di harian Analisa. Memang sudah ada modifikasi dari si pelaku, tetapi perubahan yang dilakukan amat sedikit sehingga upaya plagiasi itu bisa dikenali. Selidik punya selidik, ternyata Husnul Koriba yang kerap menulis kolom di Analisa tersebut tidak sekali itu saja melakukan tindakan penjiplakan. Dari temuan Bernando, Husnul pernah pula memplagiat sebuah artikel di koran Sindo. Gila!
Di antara semua kasus plagiat, yang sempat heboh mungkin plagiasi yang melibatkan Anggito Abimanyu di harian Kompas pada Februari 2014. Bisa dibayangkan pelakunya adalah tokoh selevel Anggito yang saat itu menjabat Dirjen Haji dan Umroh Kemenag sekaligus dosen ekonomi UGM.
Pada Februari 2015, saya pernah membaca berita di harian Malang Post tentang pengungkapan kasus plagiasi oleh kalangan akademisi. Hasilnya mencengangkan. Kota Malang menempati salah satu urutan tertinggi angka kasus plagiarisme di Jawa Timur. Pelaku yang sempat diungkap adalah dosen dan kalangan guru setempat.
Kendatipun kasus demi kasus tentang plagiarisme ini terangkat ke permukaan dan diramaikan di media arus utama maupun media sosial, hal ini belum menjamin tindakan plagiasi berhenti begitu saja. Godaan untuk menempuh jalan pintas demi kepentingan tertentu, kemudahan akses informasi di internet, dan rasa malas menjadi faktor utama mengapa seseorang melakukan plagiat.
Sebagai contoh kecil, menulis di koran lokal pada umumnya memang tidak berhonor. Namun, apabila tulisan itu termuat, hal ini bisa menjadi portofolio yang biasanya dibutuhkan oleh kalangan akademisi untuk kepentingan kenaikan pangkat dan jabatan. Belum lagi keuntungan personal branding jika sebuah tulisan dipublikasikan di media massa.
Karena itu, sudah sewajarnya pelaku-pelaku plagiarisme diberi sanksi yang sangat tegas. Sanksi sosial saja tidak cukup. Apabila melibatkan akademisi, sanksi yang cukup layak adalah pemecatan. Tindakan tegas ini harus diambil untuk memberikan efek jera agar ke depan tidak terjadi kasus-kasus serupa. Sebab, plagiasi merupakan tindakan pencurian yang paling hina dan merendahkan derajat keilmuan. [*]
Oleh: Eko Prasetyo
Pemred Media Guru Indonesia, alumnus Pascasarjana Unitomo Surabaya