Perubahan kondisi dari masyarakat agraris ke masyarakat metropolis melahirkan problematika kompleks dalam tatanan kehidupan, baik individual maupun sosial. Sehingga kesenjangan sering kali terjadi dalam lini kehidupan. Kerap kali kita disuguhkan dengan sikap para selebritis yang menampilkan aksi tak wajar demi mendewakan popularitas.
Perilaku aparatur negara yang terkesan “kekanak-kanakan” selalu menyajikan sikap arogan yang saling menyudutkan dan menjatuhkan. Belum lagi, ulah masyarakat tak bermoral yang menghalalkan segala cara untuk menuruti nafsu setannya.
Alhasil, akhir-akhir ini di layar kaca kita disuguhi dengan tindakan-tindakan asusila yang menyayat hati dan mengelus dada. Dari kasus penghinaan terhadap lambang Negara oleh seorang artis, kasus suap reklamasi teluk Jakarta, kasus mutilasi terhadap Nuri, pemerkosan dan pembunuhan terhadap Yuyun oleh 14 pemuda, hingga pemerkosaan dan pembunuhan dengan memasukkan gagang cangkul dari alat kelamin sampai menembus dada yang menimpa Enno Parihah. Lantas, Apakah kita apatis dan hanya diam berpangku tangan menyaksikan dekadensi moral seperti ini?
Punahnya “Adab”
Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat kita dewasa ini adalah masalah eksternal; pemikiran-pemikiran (ideolgi) yang merusak. Namun, terdapat masalah internal paling mendasar yang berupa “loss of adab” atau hilangnya adab dalam diri masyarakat kita.
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, “loss of adab” didefinisikan sebagai “hilangnya adab”. Seorang beradab adalah orang yang memahami dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan komunitasnya. Ia juga memahami dan menyikapi dengan betul potensi-potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya. Juga, ia memiliki sikap yang betul terhadap kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan wujud diatur secara hirarkis (Adian Husaini, 2015). Jadi, Apabila manusia tidak mafhum dan tidak memiliki sikap yang benar terhadap dirinya, lingkungan, dan ilmu pengetahuan, berarti orang tersebut telah hilang adabnya. Dan inilah “krisis” terbesar yang dialami bangsa saat ini.
Pendidikan merupakan wadah paling strategis untuk menyemai adab. Tapi sayangnya, Pendidikan kita telah salah memposisikan tingkat kesuksesan. Kesuksesan hanya dinilai dengan aspek kognitif teoritis semata. Anak didik dikatakan sukses apabila mereka telah masuk perguruan tinggi di program studi favorit yang berpotensial mendatangkan banyak uang. Sedangkan pendidikan adab atau karakter dianggap beban baru dan tabu. Pendidikan karakter masih diklaim hanya menambah beban tambahan bagi anak didik. Buktinya, porsi pembelajaran agama khususnya di sekolah-sekolah umum mempunyai waktu jam belajar paling sedikit di antara mata pelajaran lainnya.
Jika adab telah dianggap “beban baru” perlahan akan menjadi usang tak diperhatikan. Maka, ketika itu keadilan dan kedamaian hanya menjadi mimpi di siang bolong. Kedzoliman semakin meraja-lela. Manusia terjerembab dalam keserakahan (greedy), tuna moral, akhirnya membutakan mata hati. Manusia saling bersaing untuk untuk menjatuhkan manusia lainnya yang pada akhirnya berlakulah hukum rimba (jungle of law).
Akibatnya, timbullah penyimpangan-penyimpangan. Sikap para pejabat yang notabene alumnus universitas terkenal (dalam negeri maupun luar negeri) dengan gelar yang berjejer, eh ternyata masih doyan mengais uang Negara tanpa merasa berdosa. Para kiyai yang dipandang sebagai teladan (uswah) masyarakat dan panutan santri-santrinya, malah berjubah dan bersorban politik.
Ketika “publik figur” yang seharusnya menjadi contoh dan panutan, ternyata terbius oleh tindakan amoral dan asusila, maka bukan sesuatu yang mustahil jika rakyat kecil akan melakukan tindakan kriminal yang lebih sadis lantaran tidak ada pijakan hidup yang baik dari para pemimpinnya. Hidup seakan-akan penuh panggung sandiwara dengan tipu muslihat tanpa maslahat.
Sekolah yang Beradab
Terkait unsur adab tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangakan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Berdasarkan UU di atas, sekolah yang merupakan lokomotif pencetak manusia cendekia, dapat menjadi perantara (wasilah) untuk mengatasi degradasi moral saat ini. Sudah sepatutnya penanaman adab (karakter) diterapkan di bangku sekolah. Guru sebagai aktor utama tidak hanya menjadi dasar pijakan koginitif (transfer ilmu), tetapi juga harus menjadi sumber belajar psikomotorik (keterampilan), dan afektif (nilai-nilai yang baik) bagi anak didik. Guru harus berhati-hati dalam bertindak, bersikap, dan harus bisa digugu dan ditiru oleh anak didiknya. Jangan sampai terjadi “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka dari itu, penanaman adab atau karakter merupakan suatu keniscayaan.
Menurut Edi Sugianto dalam bukunya Menyalakan Api Pendidikan Karakter (2016), pendidikan adab atau karakter senantiasa akan terwujud jika tertanam nilai-nilai yang baik. Pertama, nilai-nilai spiritual (spiritual quotient). Generasi muda kita saat ini sedang dilanda dehidrasi spiritual yang gejalanya berupa anarkisme (tawuran), hedonisme, dan materialisme. Sehingga hidup hampa nilai dan makna (meaningless).
Kedua, nilai-nilai toleransi. Pendidikan yang terlalu memberhalakan angka-angka hitam di atas putih (kognitif) akan memisahkan kaum pelajar dari masyarakatnya. Maka “belajar untuk hidup bersama” (learning to live together) sangat penting untuk dilakukan.
Ketiga, nilai-nilai kejujuran (trustworthiness). Kejujuran merupakan sesuatu yang sangat urgen karena bencana birokratif (korupsi), kemanusiaan (kriminalitas), dan pendidikan (manipulasi nilai) berawal dari suatu kebohongan dan keserakahan sistemik.
Keempat, nilai-nilai kedisiplinan. Guru harus membudayakan budaya disiplin diri (self discipline) berupa datang ke sekolah tepat waktu, mengontrol emosi dan lain-lain. Disiplin sosial (social discipline) berupa cara interaksi dengan teman atau guru. Dan disiplin lingkungan (environment discipline) seperti menjaga kebersihan dan kesehatan. Semoga. [*]
Oleh: Nurul Yaqin
Guru MI Unggulan Daarul Fikri, Cikarang Barat, Bekasi