SAMPANG | koranmadura.com – Penerapan hukuman kebiri untuk para pelaku kekerasan seksual pada anak dan perempuan masih menjadi perdebatan. Masyarakat ada sebagian yang pro dan ada juga yang kontra.
Kapolres Sampang AKBP Tofik Sukendar masih belum bisa memberikan kejelasan untuk menjalankan amanat Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditanda tangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada pada Rabu (25/5) lalu.
“Persoalan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak dan perempuan, masih kami sesuaikan dengan yang ada di Jakarta,” ucapnya kepada Koran Madura, Minggu (5/6).
Akan tetapi, menurutnya, terkait sanksi kebiri akan tetap diterapkan berdasarkan dengan aturan dari pemerintah pusat sebagaimana tertuang di Perppu No 1 Tahun 2016. Pihaknya sebelum melakukan penindakan akan mensosialisasikannya. “Kalau itu aturan dari pemerintah pusat dan disosialisasikan, maka kami akan laksanakan sesuai perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Tofik mengatakan, maraknya kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan sebagaimana yang terjadi di seluruh Indonesia, maka untuk wilayah Sampang pihaknya akan memberdayakan tiga pilar yakni kepala desa (kades), Babinsa, dan Babinkamtibmas serta para ulama untuk menekan kasus kekerasan seksual tersebut. “Kami akan tetap mensosialisasikan maksimal kepada tiga pilar kades, Babinsa dan Babinkamtibmas serta para ulama,” paparnya.
Sekadar Diketahui, di Sampang, kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan di tahun 2015 lalu yaitu sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada tahun 2016 hingga bulan Mei yaitu mencapai 37 kasus.
Namun begitu, MUI Sampang kurang setuju atas penerapan hukuman kebiri yang dilakukan para pelaku kejahatan sebab tidak mencerminkan pada syariat Islam seperti pemutusan rantai keturunan. (MUHLIS/LUM)