Kita telah memasuki Ramadan 1437 Hijriyah. Tiap tahun dalam sebulan, kita menjalankan puasa. Kita menahan lapar, haus, godaan, hawa nafsu dan segala hal-hal negatif dalam hati, pikiran, serta perbuatan. Bulan puasa juga selalu kita jadikan sebagai momentum evaluasi diri, sudah seberapa banyak kita berbuat kebaikan dan kebajikan di lingkungan keluarga, sekolah, kampus, tempat kerja, dan di masyarakat.
Meskipun puasa, pelayanan publik seyogianya tetap dijalankan oleh aparatur pemerintahan dari pusat hingga desa. Tak ada alasan para pegawai negeri sipil untuk mangkir/bolos saat di bulan puasa, karena puasa dan kerja dua-duanya adalah ibadah dan tidak saling mengganggu. Namun, sejak hari pertama puasa kemarin (6/6), banyak PNS di berbagai daerah yang bolos kerja. Yang paling banyak diantaranya, Bogor sebanyak 399 pegawai bolos, kota Ternate lebih dari 300 pegawai, Sulawesi Selatan 225 dari 1.416 pegawai. Dan diberitakan di berbagai media massa, belasan hingga ratusan PNS bolos kerja di hampir setiap daerah. Sebagian besar beralasan kumpul bersama keluarga dan sebagian lagi tanpa pemberitahuan sama sekali.
Respon kepala daerah melihat anak buahnya mangkir berbeda-beda. Bupati Purwakarta, Dedy Mulyadi, memotong gaji PNS yang bolos sebesar Rp 300 ribu per hari selama bulan puasa. Kepala daerah lainnya ada yang memberi sanksi surat peringatan hingga mengancam akan merumahkan mereka. Jadi, siapa saja PNS yang melanggar peraturan, sumpah/janji, dan kode etik, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dibuatnya.
Tentu, kebijakan sejumlah kepala daerah tersebut harus kita hargai. Namun pertanyaannya, apakah itu akan merubah perangai PNS yang pemalas? Tentu tidak. Buktinya, tiap tahun, banyak PNS yang mangkir setiap awal puasa. Hal ini sangat menciderai prestasi dari pemerintahan Jokowi yang menurut survei Saiful Mujani Research & Consulting yang menunjukkan 59 persen dari 1.220 responden dari 34 provinsi selama Januari-Maret 2016 puas atas kinerja pemerintah. Itulah sebabnya, saat Jokowi mendengar banyaknya PNS bolos masuk kantor, dia tak menampik bahwa rasionalisasi PNS tepat untuk diberlakukan.
Sepatutnya, PNS harus meninggalkan sifat pemalasnya. Justru ketika kita menjalankan ibadah, kita mestinya lebih rajin bekerja untuk melayani public sebagai bentuk aktualisasi dari ibadah tersebut. Peraturan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) No. 3 tahun 2016 tentang Penetapan Jam Kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri juga telah memberi keringanan kepada PNS dengan mengurangi jam kerjanya. Selama bulan puasa, PNS pulang sudah bisa cepat dari hari-hari biasa.
Tujuan peraturan tersebut sudah sangat tepat diimplementasikan guna menjawab keluhan PNS setiap Ramadan datang. Namun, nyatanya PNS tetap saja mangkir. Padahal, di bulan Ramadan banyak problematika yang terjadi di masyarakat seperti harga sembako yang terus merangkak naik, peredaran miras dan narkoba, prostitusi, dan tindakan kriminalitas lainnya. Semuanya ini adalah tugas dan tanggung jawab dari aparatur sipil negara. Jadi, mustahil masalah-masalah itu bisa diatasi bila para penyelenggara pemerintahan tidak disiplin dan tidak berintegritas dalam bekerja.
Sanksi dan Perubahan
Bisa dikatakan, tabiat buruk para PNS kita sudah darurat dan semakin membudaya. Perangai buruk itu harus segera dihentikan dari sekarang. Oleh karena itu, kita mesti mendukung program pemerintah pusat, dimana pada tahun 2017 hingga 2019 mendatang akan melakukan rasionalisasi jumlah PNS. Diprediksi akan ada sekitar 1 juta PNS yang akan dirumahkan. Kriteria kandidatnya adalah PNS yang tidak bersih (KKN), bekerja tidak akuntabel, efektif dan efisien, mereka semua akan dipensiunkan dini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga September 2015, jumlah PNS di Indonesia mencapai lebih kurang 4,5 juta orang. Sejumlah pengamat bahkan pemerintah mengatakan bahwa jumlah PNS sekarang terlalu banyak dan kualitas pelayanan yang diberikan selama ini tak sesuai dengan kuantitasnya. Banyak PNS di berbagai jabatan yang kinerjanya tidak maksimal karena etikanya yang buruk dan terlibat KKN. Sementara semua alasan itu bertentangan dengan sumpah dan janji PNS yang mengatakan akan mengutamakan kepentingan negara (baca: masyarakat) daripada kepentingan pribadi.
Merumahkan PNS yang tidak menjunjung tinggi etos kerjanya bukanlah pelanggaran HAM, justru merupakan sanksi wajar dan mutlak guna memberi efek jera. Banyak masyarakat sipil punya etos kerja mengimpikan jabatan PNS, namun tak mampu karena rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Hidup PNS sekarang sudah jauh lebih sejahtera dibandingkan zaman orde baru. Karenanya, kinerja PNS harusnya jauh lebih maksimal. Kalau sudah tidak kompeten lagi, alangkah eloknya mau berbenah diri. Jika tak lagi berdampak, maka dengan legawa harus rela dirumahkan. Karena dari ratusan juta rakyat Indonesia, pasti banyak diantaranya yang lebih mampu memundak tugas dan tanggung jawab sebagai PNS.
Tentu, ini menjadi tamparan bagi para PNS. Mereka yang notabene orang-orang berpendidikan – mengerti mana yang benar dan salah – paham mana yang patut dan tidak patut, sudah tak pantas diancam sanksi berat agar mau bekerja. Pendidikan tinggi yang mereka miliki mestinya memandirikannya dalam mengevaluasi diri sebelum dievaluasi orang lain. Mereka harus membuktikan bahwa mereka layak sebagai PNS yang dibayar dengan keringat rakyat.
Sekali lagi, bulan Ramadan adalah bulan suci. Inilah momentum untuk membersihkan diri dari sifat buruk di masa yang lalu. Bulan ini juga merupakan waktu yang tepat bagi para PNS yang pemalas untuk berubah menjadi pelayan publik yang memegang teguh sumpah dan kode etiknya. Harapannya, sumpah PNS tak hanya sebatas kata-kata atau retorika, tetapi diaktualisasikan. Jika PNS memiliki komitmen yang kuat untuk itu, ke depan tidak akan ada lagi berita PNS yang bolos kerja. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. [*]
Oleh: Hasian Sidabutar
Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia, Jakarta. Kandidat gelar Master Ilmu Hubungan Internasional UGM