Islamofobia atau kebencian akan Islam meningkat menyusul serangan pelaku teror di sejumlah tempat di Eropa. Untuk meredamnya diperlukan upaya dan kerja keras menampilkan wajah Islam yang damai dan toleran.
Di Amerika, bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, mengatakan Muslim harus dilarang masuk ke Amerika Serikat (AS). , menyusul serangan mematikan di San Benardino California.
Lebih dari itu, beberapa tahun terakhir, diskriminasi menimpa masyarakat Muslim AS. Tidak tanggung-tanggung, rasa tidak suka terhadap Islam ditunjukkan secara terang-terangan seperti membakar hal-hal yang berhubungan dengan rumah ibadah, menyerang fisik seorang Muslim, merusak masjid dengan isu memecah belah.
Pada Maret 2016, The Huffington Post sampai harus mengundang sejumlah Muslim Amerika untuk berbicara ihwal bagaimana menjadi Muslim di Amerika saat ini. Beberapa Muslim mengatakan, Islamofobia merupakan perlakuan terburuk yang pernah diterima Muslim.
Di Inggris, pengeboman bus kota di London pada 7 Juli 2005 yang menewaskan 52 orang tentu tak mudah hilang dari ingatan warga kota itu. Terlebih lagi, keempat pengebom bunuh diri itu semuanya adalah warga Muslim Inggris yang berdarah Pakistan dan Jamaika. Motif mereka adalah keterlibatan Inggris dalam perang di Irak.
Serangan lainnya terjadi di Bandara Internasional Glasgow pada 30 Juni 2007, ketika sebuah jeep berisi tabung-tabung gas propana ditabrakkan ke salah satu terminal di bandara itu dan menimbulkan ledakan. Dua pelaku adalah Bilal Abdullah, warga Inggris keturunan Irak dan Khalid Ahmed, yang mengemudikan kendaraan itu. Keduanya luka parah akibat aksi mereka. Khalid Ahmed meninggal dunia di rumah sakit pada 2 Agustus 2007 dan Bilal Abdullah diadili lalu divonis hukuman penjara selama 32 tahun.
Aksi terbaru di daratan Inggris adalah pembunuhan prajurit Lee Rigby yang tewas dipenggal dua pria di dekat baraknya di Woolwich, London. Pelaku serangan yang dikecam para tokoh Muslim Inggris itu dilakukan dua pemuda keturunan Nigeria. Motifnya adalah membalaskan kematian umat Muslim di Timur Tengah yang diakibatkan tentara Inggris.
Sekali lagi, jika melihat serentetan aksi berdarah itu, tak heran jika sebagian warga Inggris, terutama mereka yang tak mengenal Islam dan pemeluknya, langsung dihinggapi Islamofobia.
Pada Januari 2010, Pusat Riset Muslim Eropa di Universitas Exeter, Inggris, mencatat jumlah tindak kriminal terkait kebencian terhadap Islam meningkat dalam berbagai bentuk.
Sementara itu, Kepolisian Metropolitan London memiliki data bahwa angka kejahatan terkait kebencian terhadap Islam menunjukkan angka 8,5 antara 2009-2012. Namun, angka tersebut melonjak setelah pembunuhan prajurit Lee Rigby.
Sepanjang 2014, kepolisian Inggris mencatat 667 serangan berlatar belakang kebencian agama. Angka itu meningkat 60 persen pada 2015. Sementara itu, Tell MAMA, sebuah organisasi yang memantau islamofobia di Inggris mencatat sedikitnya 2.500 insiden terkait islamofobia terjadi di seluruh Inggris pada tahun lalu. Masalah ini diperkeruh karena menurut sensus 2001, umat sebagian besar umat Muslim di Inggris Raya masih hidup dalam standar rendah hampir dalam berbagai aspek.
Di sisi lain, tercatat sekitar 10.000 umat Muslim Inggris masuk ke dalam katagori miliarder dan komunitas pengusaha Muslim Inggris juga terus mengalami peningkatan.
Sadiq Khan
Dari beberapa tindakan teror yang menstimulus ekspresi Islamofobia yang saya nukilkan di atas, ada fenomena menarik yang boleh jadi akan menjadi sebuah oase di tengah-tengah gurun padang pasir. Fenomena itu adalah terpilihnya Sadiq Khan yang seorang muslim, menjadi walikota London, Inggris.
Hasil pemungutan suara Mei 2016, memperlihatkan calon Partai Buruh ini meraih 56,8% suara sementara saingan terdekatnya Zac Goldsmith dari Partai Konservatif meraih 43,2% suara, dengan tingkat partisipasi 45,3% dari jumlah pemilih.
Seperti yang kita ketahui, karier politik Sadiq Khan dimulai pada tahun 2008, Perdana Menteri saat itu, Gordon Brown, mengangkatnya menjadi menteri komunitas sebelum menjadi menteri transportasi, sekaligus menjadi menteri Muslim pertama yang menghadiri sidang kabinet.
Ia bergabung dengan Partai Buruh pada usia 15 tahun dan ditunjuk sebagai anggota majelis di daerah yang dikuasai Partai Konservatif di London, Wandsworth, pada 1994.
Sebagai Walikota Muslim pertama London, usaha Sadiq Khan untuk mengikis Islamofobia adalah dengan cara mengundang kandidat calon presiden AS, Donald Trump untuk berkunjung ke London agar belajar tentang Islam. Sadiq Khan ingin mengenalkan Trump dengan pemain Leicester City Riyah Mahrez dan penyanyi Zayn Malik.
Sadiq Khan mengundang Donald Trump setelah bakal capres AS itu ingin melarang seluruh warga Muslim asing memasuki AS dengan alasan mencegah serangan teror.
Walikota Sadiq Khan mengatakan bahwa banyak orang tidak memiliki pengalaman yang benar soal Islam dan hanya belajar soal Islam dari televisi.
Sadiq Khan ingin menunjukkan pada miliarder AS itu bahwa umat Islam bukan orang jahat. Bila bersedia datang ke London, Trump akan dikenalkan dengan bintang-bintang London yang merupakan warga Muslim. Seperti pemaian sepak bola Riyah Mahrez, penyanyi Zayn Malik, dan pembuat kue ulang tahun ke-90 Ratu Elizabeth II, Nadiya Hussain.
Sadiq Khan juga akan mengajak Trump mengunjungi masjid dan berinteraksi dengan para warga Muslim yang senang menjadi warga Inggris. Dalam konteks bulan Ramadan, adalah waktu yang paling tepat untuk mengubah stigma negatif terhadap umat Muslim. Dirinya menyebut, banyak hal yang bisa dilakukan umat Muslim di London yang bisa melunturkan stigma negatif yang selama ini melekat pada Islam.
Menurut Sadiq Khan, Saat Ramadan dimulai, momentum besar untuk melakukan hal-hal baik di masyarakat dan memecah hal-hal mistik dan kecurigaan di antara agama.
Lebih lanjut dirinya menuturkan, cara yang paling cepat untuk melakukan itu adalah dengan mengajak warga non-Muslim untuk berbuka bersama. Karena menurut Walikota Muslim pertama London itu, berbagi pengalaman adalah cara yang paling efektif untuk saling memahami agama masing-masing.
Walhasil, Sadiq Khan adalah fenomena nyata bagaimana seorang muslim bisa hidup di tengah-tengah kultur dan sistem politik yang liberal. Di tangannya, masa depan Islam di Eropa saya perkirakan akan bersinar kembali. [*]
Oleh: Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang