Di bawah rintikan hujan, deretan tanaman cabai itu tampak sangat mempesona. Sama seperti hujan yang banyak menguapkan kenangan lewat tetes-tetes airnya, tanaman cabai juga meniupkan kenangan lewat pemandangan memukau saat hujan turun. Persis seperti yang kunikmati sore ini. Karena bagiku, tak ada yang lebih istimewa daripada tanaman cabai yang tertimpa hujan.
Puluhan tanaman cabai menghiasi pelataran di belakang rumahku. Semenjak bapak dan kakek hidup dan tinggal di rumah ini, tanaman cabai sudah menjadi keharusan untuk ditanam. Kakek bercerita bahwa cabai adalah tanaman khas Indonesia yang harus terus ditanam, bahkan Belanda datang menjajah karena rasa kagum akan rasa pedas cabai yang tidak mereka temukan di daratan Eropa. Cabai bukan hanya tentang bumbu dan rasa pedas, tapi tentang kemandirian ekonomi, begitu kata kakek.Saat itu, aku masih kecil dan hanya manggut-manggut saja. Yang ada dalam pikiranku saat itu, cabai adalah bahan utama sambal terasi buatan nenek yang sangat sedap, hingga aku makan bertambah-tambah.
Setelah kakek dan nenek meninggal, kegigihan untuk terus menanam dan merawat cabai diwarisi oleh ibu, begitu juga dengan keahlian mengolah sambal terasi. Setiap pagi, ibu memetik buah cabai di belakang rumah untuk olahan bumbu masak. Tak perlu pergi ke pasar atau warung. Tanaman cabai itu selalu berbuah tak kenal waktu, aku sampai lupa menghitung berapa biji buah cabai yang telah kumakan sepanjang tahun. Jika tanaman cabai itu telah tua dan hampir mati, ibu akan menanam bibit yang baru. Begitu seterusnya, hingga puluhan tanaman cabai itu kunikmati pesonanya di balik tetesan air hujan sore hari.
***
“Berapa harga cabai sekarang di pasar-pasar desa?,” ibu menelponku di suatu siang yang terik. Aku tak heran, setiap bulan ibu selalu menelponku untuk mengetahui kabarku dan juga kabar tanaman cabainya.
“Hampir mendekati seratus ribu perkilonya. Maklum bulan puasa, permintaan cabai semakin banyak” jawabku sambil mengingat-ingat obrolan ibu-ibu di warung dekat rumah.
“Jika harga cabai mulai mahal, maka harga-harga sembako lambat laun akan mengikuti. Begitu siklus tiap tahunnya, dan akan memuncak ketika lebaran tinggal dua tiga hari,” ibu menimpali.
“Tapi, pohon-tanaman cabai di belakang rumah masih berbuah kan? Kau masih menanam dan memetiknya kan?”
“Masih bu, masih sekali.” Nada pertanyaan ibu terlihat khawatir. Aku teringat pesan terakhir ibu sebelum dia meninggalkanku lima tahun silam. “Aku titipkan padamu puluhan tanaman cabai di belakang rumah dan keahlian meramu sambal terasi. Itu warisan turun temurun dari keluarga nenek moyang kita. Negeri ini sangat kaya, nak, kau tanam sebiji bibit, dia akan hidup tanpa harus dipelihara susah-susah. Jika tanaman cabai telah layu, maka tanamlah kembali pohon lainnya. Terus begitu, hingga aku pulang kembali.” Aku mengangguk sambil sesenggukan. Ibu akan pergi jauh, meninggalkanku sendiri bersama tanaman cabai di belakang rumah.
“Kau tak perlu khawatir, selama kau masih menanam tanaman cabai sendiri, kau tak akan dipermainkan para tengkulak-tengkulak yang mempermainkan harga cabai. Tengkulak cabai itu sudah bertahun-tahun hidup semenjak zaman orde baru. Mengutak-atik harga cabai saat lebaran mau menjelang, untuk tunjangan anak bini mereka. Selama kau masih menanam cabai, penghidupan harianmu akan tercukupi,” kata-katanya deras meluncur, menguraikan pengalaman hidupnya dahulu.
“Jangan sampai seperti ibu yang menelantarkan cabai-cabai itu atau nasibmu akan sama seperti denganku.”
“Iya, bu. Bagaimana kabar ibu disana?”
“Aku merindukan pohon-tanaman Cabai yang kutanam sebelum aku berangkat”.
Tuutt tuutt tuutt. Saluran terputus. Aku mengumpat-umpat tak karuan. Kerinduanku pada ibu belum terobati.
***
Angin pantai mendesis-desis menerpa wajahku yang sudah berumur setengah abad lebih. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi, melambai-lambai tertiup angin. Pantai Pasir Ris, begitu yang kulihat di papan sebelum aku memasuki pantai di ujung timur Singapura ini. Disinilah aku menghabiskan waktu dengan mengeja kenangan di kursi yang menghadap laut lepas. Menerawang kampung halaman yang telah lama aku tinggalkan. Bagaimanakah kabar anakku? Bagaimana kabar tanaman cabai warisan bapak yang tumbuh di belakang rumah? Tak terasa sebulir air menetes membasahi pipi kerutku.Keganasan krisis moneter sebelum tahun 2000an telah membawaku kemari, memisahkanku dari anakku.
Tiba-tiba, handphoneku berdering. Sebuah panggilan masuk. “Bi, di mana kau? Belanja ke pasar kok lama sekali. Makan malam buat anak-anak pula belum kau persiapkan,” ujar suara di seberang.
“Sebentar mak cik, saya sudah di kereta ini, perjalanan pulang.”
“Oh iya, jangan lupa besok kita pergi ke Pasar Bugis, Pasar China dan Orchad Street. Kita check harga sayur dan buah disana, sambil berbelanja juga.”
“Siap mak cik.”
Aku berjalan gontai, menyusuri taman-taman pinggir pantai. Kereta cepat menelan tubuhku, berjalan menyusuri kota dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Terbayang kembali rutinitasku di negeri ini; memasak dan membersihkan apapun yang kotor.
***
Bagi kami orang-orang desa, kami tak pernah risau akan memasak apa sehari-harinya. Sayur-mayur tumbuh subur di kebun-kebun kami. Buah-buahan melimpah ruah tak terkendali. Biji apapun yang kami lempar ke tanah kami, akan tumbuh dengan sendirinya. Tak perlu disiram air, tak usah diberi pupuk. Begitu pula, tanaman cabai di belakang rumahku. Berbuah terus menerus, dan kupetik setiap hari untuk bumbu masakan.
Tapi semakin hari, semakin sedikit warga yang menanam sayur atau buah sendiri. Mereka sering membelinya dari pasar dan supermarket. “Lebih gampang, gak perlu susah-susah menanam. Lagian harganya juga pas di kantong,” kata pak RT yang juga menjadi guru PNS.
Semua itu berubah semenjak krisis moneter sepuluh tahun lalu, atau semenjak ibu pergi meninggalkan kampung untuk bekerja ke negeri tetangga. Para warga sering mengeluh karena harga dipermainkan pasar, kadang melejit tinggi hingga kami bergembira, kadang anjlok drastis hingga kami meraung-raung. Kata orang, ada ‘pemain’ yang sengaja mengotak-atik harga kebutuhan sehari-hari ini. Menimbun sayur dan buah untuk jangka waktu tertentu kemudian melemparkannya ke pasar saat waktu yang tepat. “Menjelang lebaran seperti ini, mereka tambah menggila. Harga naik turun tak karuan. Masak kemarin harga cabai cuma dua puluh ribu per kilo. Keluargaku bisa gak makan lebaran nanti,” begitu kata Fajar, tetangga samping rumahku.
Berbeda dengan para tetangga yang berjingkrak dan mengumpat karena harga semabko yang melambung, aku tetap tenang. Karena bagiku selama aku masih memegang prinsip kakek dan ibu untuk menanam tanaman cabai sendiri dan tidak bergantung kepada pasar, kebutuhanku akan tetap tercukupi. Di musim penghujan seperti ini, bunga-bunga Cabai yang mungil sedang bermekaran indah, siap menghasilkan cabai-cabai merah yang akan mengisi dapurku. Seperti kata kakek, tanaman cabai bukan hanya tentang rasa pedas, tapi juga kemandirian ekonomi.
***
“Maaf nak, aku tak bisa pulang lebaran ini.”
“Kenapa bu?”
“Maaf, sampaikan salamku pada cucu-cucuku. Juga pada tanaman cabai yang pasti sedang berbuah di ujung bulan”. Terdengar samar-samar suara isak tangis. Dingin sekali, menyayat-nyayat sembilu.
“Bu, kenapa bu? Kenapa?” nafasku memburu jawaban dari negeri seberang.
Tuut tuut tuut!!!
Kubanting gagang telepon, kupandang seluruh ruangan. Rumah ini telah jauh berbeda semenjak ibu pergi. Perabot-perabot mewah berkilau-kilau. Kiriman uang dari ibu telah merubah seisi rumah. Sebuah televisi menyala di ruangan itu, menyiarkan berita internasional dari negara tetangga. ‘Seorang warga Indonesia mengendalikan harga cabai dari luar negeri’, terpampang wajah ibu yang merunduk diwawancarai. Aku terkejut, hatiku berdetak-detak tak karuan. Aku berlari melintasi ruang tengah, hingga menuju ke dapur. Daun cabai melambai-lambai memanggilku, sebutir bulir membasahi pipi. “Jangan bersedih, aku akan menemanimu disini” [*]
Cerpen: M. Rosyid HW
Pegiat sastra di Komunitas Lilin Lantai. Tulisan-tulisannya beterbaran di koran nasional dan lokal.