Hari raya Idul Fitri merupakan hari yang sangat dinanti-nanti oleh umat Muslim seluruh dunia. Lebaran bukan sekadar perayaan yang menandai ditutupnya bulan Ramadan. Juga bukan semata selebrasi pribadi oleh karena sebulan puasa telah mengantarkan kita ke kondisi “kembali fitri”. Lebih dari itu, Idul Fitri sejatinya adalah momentum perluasan diri.
Yang menarik dari Idul Fitri di Indonesia adalah peristiwa akbar yang terjadi tiap menjelang lebaran, yaitu mudik. Secara sosiologis, misalnya, mudik dapat dimaknai sebagai strategi untuk memperkuat solidaritas dengan handai taulan, tetangga dan masyarakat yang telah lama tidak dijumpai.
Puncaknya terjadi pada hari raya Idul Fitri. Bahkan di Madura, suasana tersebut akan bertahan hingga tujuh hari berikutnya yang lalu “ditutup” dengan lebaran Ketupat (tellasan topa’). Selama momen itu, biasanya umat Muslim saling maaf-memaafkan, saling kunjung-mengunjungi; saling ramah-meramahi; dan saling memperkuat tali silaturrahmi.
Anasir itu sesungguhnya adalah aktivasi perluasan diri ke dimensi yang bernilai sosial tinggi. Ini pula yang membuat lebaran begitu spesial di mata umat Muslim. Saat kehidupan urban kebak dengan kompleksitas persoalan, mudik dan merayarakan lebaran di kampung halaman menjadi satu-satunya jawaban.
Penuh Risiko
Diawali dengan mudik atau tidak, yang jelas lebaran mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi. Lebaran menyimpan dimensi kesalehan sosial yang sulit ditemui pada hari-hari lain. Di hari ini, semua orang sepakat kembali ke titik nol. Titik di mana tak ada lagi dendam. Tak ada lagi prasangka. Tak ada lagi pretensi busuk apa-apa.
Hanya saja, jika kita gagal mengarifi, dalam peristiwa singkat ini juga potensial mendatangkan risiko yang penting untuk dikritisi. Drama kepulangan masyarakat urban, jika tidak diantisipasi, dapat meracuni pola pikir masyarakat yang terbiasa hidup sederhana di kampung halaman.
Kebiasaan yang didapatkan dari kehidupan luar secara singkat dapat mengimitasi tindak-tanduk masyarakat setempat. Apalagi memang ada sikap proaktif untuk menularkan kebiasaan-kebiasaan luar ke masyarakat di kampung halaman. Ini tidak terlalu menjadi masalah bagi pemudik yang sekadar pulang barang sebentar. Tetapi lain halnya dengan mereka yang mudiknya agak lama.
Secara personal, kepulangan kepulangan ke kampung halaman dapat dipahami sebagai upaya menuntaskan kerinduan, namun secara sosiologis juga dapat berarti preseden memperkuat solidaritas sosial dengan mengaktifkan kembali komunikasi yang mungkin sudah lama tidak terjadi.
Orang dengan gegap gempita merayakan lebaran di kampung halaman karena mereka sadar bahwa kesumpekan yang mereka dapatkan di kota metropolitan akan luruh begitu mereka menginjak kampung halaman. Ini bukan berarti di kampung tidak ada persoalan. Persoalan bisa terjadi di mana saja. Hanya mungkin intensitasnya berbeda. Di kampung halaman, kesederhanaan masih merupakan bentuk lain dari kemewahan.
Dalam bukunya yang masyhur, Risk Society: Toward a New Modernity (1992), sosiolog Jerman, Ulrich Beck (1944-2015), mengenalkan istilah masyarakat rentan atau masyarakat risiko (risk society). Menurutnya, masyarakat sekarang rentan dengan persoalan dan selalu potensial menanggung beban risiko dalam kehidupan sehari-hari.
Beck membedakan dunia “modern klasik” dengan dunia “modern baru”. Problem dunia “modern klasik” adalah soal distingsi penyaluran kekayaan dan pekerjaan. Sementara problem dunia “modern baru” adalah soal dampak buruk yang berasal dari kekayaan dan pekerjaan (teknologi industri). Dan kita sekarang tepat berada di tengah-tengah dunia “modern baru”.
Kosmopolit
Dalam dunia “modern baru”, kata Beck, semua orang dapat mengakses pekerjaan, kekayaan, kekuasaan, teknologi, informasi dan nyaris semua peranti yang tersaji di zaman ini. Namun celakanya, mereka biasanya tidak punya im(p)unitas tinggi untuk mengantisipasi dampak-dampak buruk yang akan menjadi akibatnya.
Karena itu, kata Beck, masyarakat rentan itu memerlukan visi kosmopolitan (cosmopolitan vision) untuk meminimalisir kompleksitas persoalan berikut dampak-dampaknya. Apakah visi kosmopolitan yang dimaksud Beck?
Dalam Cosmopolitan Vision (2006), Beck setidaknya menyebut dua hal penting, yaitu aktivasi subpolitik dan kosmopolitan model baru (the new cosmopolitan). Subpolitik sebenarnya adalah kata lain dari advokasi edukatif yang intens dilakukan lembaga swadaya masyarakat.
Advokasi aktif terhadap masyarakat penting dilakukan sebagai bentuk kontrol terhadap ekses bertemunya dua arus manusia urban dan rural. Sebab dalam mudik dan lebaran, dua arus kebiasaan akan bertemu. Pertemuan itu dapat berbuah positif dan juga bisa negatif. Yang perlu diantisipasi tentu saja adalah dampak-dampak negatifnya.
Sedangkan visi kosmopolitan baru adalah meningkatkan rasa tanggung jawab sosial (social sense of responsibility) terhadap sesama. Sederhananya, visi kosmopolitan yang dindaikan Beck, dalam hemat saya, persis seperti tecermin dalam serangkaian perayaan lebaran: silaturrahmi, halal bihalal, ramah tamah, saling kunjung, tanpa tendensi dan tulus mengasihi.
Visi kosmopolitan dalam lebaran dapat kita jadikan titik tolak untuk terus mengaktifkan perluasan diri untuk lebih peduli terhadap sesama. Kompleksitas persoalan yang dihadapi manusia “modern baru” memiliki koneksi yang erat satu sama lain. Sehingga problem sosial yang satu otomatis menjadi tanggung jawab yang lainnya.
Dalam kacamata Beck, masyarakatlah yang menciptakan masalah, dan harus mereka pula yang menyelesaikannya. Artinya, terdapat tanggung jawab besar yang tidak boleh dilupakan ketika kita mudik dan merayakaan lebaran di kampung halaman. Tanggung jawab itu tak lain adalah aktivasi visi kosmopolitan yang memungkinkan kampung halaman tetap steril dari pengaruh buruk kebiasaan kaum urban. [*]
Oleh: Nur Faizin
Alumnus Sosiologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta