Mudik saban Lebaran tidak saja menghilirkan arus uang dari kota ke desa, namun juga menggeliatkan fenomena berbahasa kita; laku baru berkomunikasi. Kehidupan di Ibu Kota mengidealkan komunikasi bahasa Indonesia dalam setiap kegiatan sehari-hari. Ternyata, kebiasaan itu dibawa serta kala pemudik pulang ke kampung halaman yang idealnya berasyik mansyuk berbahasa daerah.
Dalam amatan penulis, para perantau tersebut menjadi tampak gagap dan kepayahan bila berkomunkasi dengan bahasa daerah saat bersilaturahim dengan para orangtua, tetangga, serta karib di kampung. Dan, sembari mencoba membalas interaksi percakapan dengan bahasa Indonesia. Di sisi lain, para orang kampung tampak merasa ganjil jikalau bersahut pula dengan berbahasa Indonesia.
Fenomena macam di atas membawa dua implikasi. Pertama, menunjukkan semangat berbahasa Indonesia rupanya terus bertumbuh di masyarakat kita hingga menembus pada lokus-lokus pelosok desa. Kedua, sebagian kalangan menganggap hal tersebut berdampak pada meredupnya kelangsungan bahasa daerah.
Pandangan penulis juga menyimpulkan sekalipun mereka berbahasa Indonesia, toh tidak sedikit terdapat kerancuan dalam menggunakan bahasa persatuan kita itu dengan baik. Dengan artian, banyak sekali istilah-istilah bahasa asing/bahasa gaul yang digunakan pula. Semisal “kepo” untuk merujuk arti rasa ingin tahu secara berlebih. Jadi, fenomena yang berkembang di atas nyatanya tidak terlalu membahagiakan lantaran justu mereduksi bahasa Indonesia.
Upaya-upaya “perusakan” bahasa Indonesia sebenarnya sudah dilakukan media-media kita. Banyak program acara televisi, misalnya, yang lebih nyaman menggunakan judul cara bahasa Inggris. Padahal konten tayangan dan sasaran pemirsa murni merupakan orang-orang Indonesia. Bila pembaca masih bersetia mendengarkan radio, pastilah istilah “stay tuned” terlalu akrab di telinga.
Figur publik juga berlakon demikian. Mereka terus mencampur-campur bahasa Indonesia dengan lema Inggris. Padahal, mereka menjadi jujugan sekaligus rujukan dalam gaya berkehidupan sebagian masyarakat kita. Sebagian artis terus berucap “so far hubungan kami baik-baik saja” kala ditanya perihal kondisi kisah asmara.
Pun, masyarakat kita juga setali tiga uang dengan mengakrabi istilah “on the way” atau “otw” ketika ditanya tentang keberadaan diri, semisal. Lantas, apa susahnya untuk berucap “sejauh ini” dan “sedang dalam perjalanan” untuk menggantikan dua istilah asing tersebut. Penggunaan istilah asing terkata tepat apabila tidak ada padanan kata-nya dalam bahasa Indonesia.
Memang harus diakui, banyak istilah bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa Inggris untuk kemudian dibakukan sebagai lema bahasa Indonesia. Terutama untuk lema bidang-bidang teknologi dan ilmu pengetahuan mutakhir. Tapi, bila kita melihat lebih mendalam, ternyata bahasa Indonesia sebenarnya menyimpan potensi untuk memperkaya lemanya secara berlebih dan leluasa.
Kekayaan itu berada di lema-lema bahasa daerah. Indonesia memiliki ribuan pulau dan banyak suku. Tercatat kita mempunyai 633 kelompok suku besar atau sekitar 1.331 suku. Pun, terdapat 456 hingga 749 bahasa daerah. Maka, mengapa aset melimpah ini terasa kurang dimanfaatkan secara optimal?
Dari Sunda, kita kemudia mengenal istilah “ngabuburit” untuk arti menunggu waktu berbuka puasa. Pun, kita telah menasionalkan istilah “wedhus gembel” guna menyebut awan panas letusan gunung api yang menyembur. Semisal pula “blusukan” untuk menggambarkan lakon pemimpin yang mendatangi rakyat.
Sememnagnya pemunculan lema dari bahasa daerah ini merupakan tugas kita semua guna terus diucap, diperkenalkan, dan selanjutnya menjadi tugas media cetak/koran daerah untuk menggunakannya sebagai upaya pemassalan sebuah istilah agar ternasionalkan. Kita patut bersyukur media cetak kita lantaran berhasil mengindonesiakan lema “incumbent” menjadi petahana. Tamsil ini membuktikan bahwa peranan media massa berpengaruh besar menstimulus masyarakat untuk kian bangga berbahasa Indonesia.
Bila hal ini diupayakan secara sistematis, tentu bukan lagi sebuah kekhawatiran bahwa bahasa daerah bakal terhempas untuk kemudian punah ketika berhadap-hadapan dengan bahasa Indonesia. Upaya-upaya penggalian lema dari bahasa daerah tentunya memerlukan komitmen politik para pemangku kebijakan kita. Hal ini mesti segera dilakukan lantaran kita menyadari sepenuhnya terseok-seoknya masyarakat kita dalam mengembangkan bahasa Indonesia ketimbang perkembangan pesat bahasa Inggis.
Jumlah lema pada kamus Bahasa Inggris mencapai satu juta lema, dengan tambahan 8.500 lema baru per tahun. Lalu bandingkan jumlah lema kamus Bahasa Indonesia yang hanya bertambah sekitar 68 ribu dalam 52 tahun semenjak era Poerwadarminta hingga KBBI edisi 2005. Dengan kata lain, hanya ada penambahan 1.300 lema baru per tahun (Nasihin Masha, 2016).
Bahasa daerah tidak menjadi parasit dengan berlakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan bahasa negara. Keduanya tetap bisa tumbuh dan berkembang tanpa saling menegasikan satu sama lain. Namun, hal ini tentu masih merujuk pada pelaku (penutur dan petutur) bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan aspek kontekstualitas penggunaannya.
Bila antar individu yang sama-sama bersuku Madura, misal, dan berada di pelosok kampung di Madura pula, semestinya menggunakan bahasa Madura sebagai media berkomunikasi. Sebaliknya, bila di acara resmi dan atau sedang tinggal di wilayah yang masyarakatnya heterogen dan plural macam Jakarta, tentu penggunaan bahasa Indonesia mutlak dilakukan.
Kita tentu tidak ingin bahasa Indonesia hanya dikenal menyumbang perbendaharaan bahasa Inggris –sebagai bahasa internasional– lewat kata “amok” alias mengamuk: sebuah hal paradoks lantaran kita dikenal berbudaya santun. Maka, diperlukan pengkreasian lema-lema baru untuk kemudian digunakan secara bersama-sama sebagai sebuah kebanggaan identitas ke-Indonesiaan.
Bahasa Indonesia hakikatnya berpotensi dan idealnya kudu menjadi bahasa “resmi” di kawasan ASEAN. Anasirnya, kita berpunya 250 juta penduduk dan secara histori budaya, kita memiliki banyak keunggulan peradaban. Momentum era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti sekarang ini, idealnya harapan itu lekas terwujud. Dan, semua kembali kepada kita sebagai pengguna bahasa Indonesia. Untuk merawat atau justru memunahkannya. [*]
Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus Ilmu Budaya Universitas Negeri Islam (UIN) Yogyakarta