SUMENEP I koranmadura.com – Menjadi pemandangan tak mengherankan pada setiap momentum demokrasi di negeri ini. Jalannya pemerintahan tergantung siapa yang menang dan memerintah. Mafhum, jika pasca pelantikan kepala daerah, beberapa pejabat tiba-tiba berwajah manis, lugu, murah senyum dan “siap laksanakan” apa kata pemimpin yang baru dilantik.
Pemandangan semacam itu ditemukan di Kabupaten paling ujung timur pulau Madura, Sumenep. Nampak sekali, beberapa pejabat tiba-tiba yang berwajah manis, murah senyum, dan lugu diperagakan di depan Bupati dan Wakil Bupati terlantik. Bahkan ada yang setia menenami Bupati dan Wakil Bupati kemana mereka pergi.
“Sikap seperti diperagakan oleh mereka tujuan satu, mengamankan poisisnya selama 5 tahun ke depan. Mereka takut kehilangan jabatan, kedudukan, penghormatan, status, merasa tidak dibutuhkan, berkurangnya pendapatan, dan mungkin juga takut kehilangan tunjangan. Biasalah, sindrom jabatan,” Ach. Farid Azziyadi, aktivis korupsi dan pemerhati kebijakan publik.
Kata Ketua Gerakan Aktivis Anti Korupsi Indonesia itu menilai sikap itu wajar diperagakan melihat desain kepemimpinan Sumenep selama 5 tahun ke depan ada berbeda. “Maka dipastikan jika Bupati-Wabup benar-benar memberlakukan rotasi dan mutasi jabatan, pasti ada yang terjungkal, walaupun juga ada yang bertahan. Sangat wajar jika semua SKPD menunjukkan sikap yang santun dan manis,” jelasnya.
Farid menyakini, rotasi atau mutas pasti akan terjadi. Apalagi, kata Farid Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penggantian Pejabat Pasca-Pilkada, bahwa kepala daerah yang baru saja dilantik tidak boleh melakukan rotasi atau mengganti pejabat hanya berlaku 6 bulan.
“Jika tidak salah, 15 hari lagi masa menjabat para kepala daerah sudah purna 6 bulan. Maka penantian panjang untuk melakukan perombakan birokrasi di lingkungan pemerintahan Sumenep sudah bisa dilakukan sesuai kebutuhan Bupati dan Wakil Bupati,” paparnya.
Kata Farid getar-getir para pejabat sangat berdasar melihat kasak kusuk kocok ulang di lingkungan Pemkab mulai kencang berhembus. Bahkan mencuat kabar bahwa beberapa pucuk pimpinan di SKPD akan menjadi korban rotasi pasca Pilkda beberapa waktu lalu.
“Berdasarkan undang-undang, tujuan rotasi itu positif, untuk membuat kinerja birokrasi semakin baik, kokoh dan kuat walaupun tidak bebas dari kepentingan. Oleh karena itu, kami berharap, jika Bupati dan Wakil Bupati hendak melakukan rotasi, lakukan secara profesional agar pos-pos jabatan yang ditempatinya oleh pejabat itu sesuai dengan dengan kompetensinya,” harapnya.
Sementara itu, Aktivis Sosial dan Kebijakan Publik dari Lembaga Kajian Studi Umat dan Bangsa, Afifi Rahmat Essak meminta agar rotasi itu dilakukan secara profesional. “Kami harap rotasi jabatan dilakukan secara profesional, buang-buang jauh pikiran asal bapak senang,” kata, pintanya.
Afifi juga meminta sebelum dilakukan rotasi, Bupati dan Wakil Bupati harus melakukan evaluasi sesuai peraturan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga penempatan jabatan eselon di beberapa pos jabatan stratagis benar-benat tidak salah alamat. “Artinya, sesuai dengan kompetensinya. Pilih yang punya track record yang bagus.Tidak boleh bernuansa nepotis,” tegasnya.
Selain itu, kata Afifi, rotasi itu juga dilakukan secara transparan. “Proses rotasi harus dilakukan secara transparan. Karena semua elemen termasuk masyarakat mempunyai hak untuk melakukan koreksi kepada pejabat yang akan menempati salah satu SKPD tersebut. Oleh karena itu, saya minta semua masyarakat juga untuk pro aktif melakukan pengawasan terhadap rotasi yang dilakukan oleh Bupati dan Wakil Bupati,” pungkasnya.
Afifi juga memberikan solusi jika kebijakan rotasi diberlakukan. Jika diperlukan buat MoU dengan penegak hukum untuk mengawasi kinerjanya. Sehingga, jika ditemukan tindakan melawan hukum, langsung ditindak sesuai dengan peundang-undangan yang berlaku. ”Kami tidak ingin dalam rotasi ini ada istilah titipan,” tegasnya.
Solusi lain agar sesuai dengan harapan masyarakat, Bupati dan Wakil Bupati juga bisa memberlakukan sistem lelang jabatan.”Sehingga ada sistem dan mekanisme yang jelas. Mereka yang ingin menduduki pos tertentu harus melalui seleksi yang akut, sehingga akan diketahui, mana yang layak dan mana yang tidak layak. Jika itu berlakukan, saya yakin birokrasi kita akan semakin baik,” tegasnya. (SOE)