
SAMPANG | koranmadura.com – Praktik pembelian obat menggunakan uang sendiri bagi para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) masih terus terjadi di lapangan. Senin (22/8), Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Sampang melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Puskesmas Jrengik dan kembali menemukan praktik warga miskin harus mengeluarkan uang untuk membeli obat.
Ketua Komisi IV DPRD Sampang Amin Arif Tirtana mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat jika ada praktik pembelian obat di luar bantuan Jamkesmas di Puskesmas Jrengik. Untuk memastikannya, dirinya beserta anggota Komisi III turun langsung ke Puskesmas Jrengik yang saat ini sudah terakreditasi. Ternyata, ditemukan peserta Jamkesmas yang masih harus membeli obat dengan uang pribadi.
“Kami hanya ingin memastikan saja, ternyata benar masih terjadi praktik pembelian obat di luar jamkesmas. Padahal pasien itu merupakan peserta jamkesmas. Ini kan lucu. Seharusnya masyarakat miskin gratis untuk mendapatkan (layanan) kesehatan,” tuturnya usai sidak Puskesmas Jrengik.
Dia menilai, terjadinya praktik pembelian obat oleh peserta jamkesmas lantaran kurangnya sosialisasi BPJS Kesehatan Sampang dengan pihak puskesmas serta pihak dinkes dengan puskesmas kurang maksimal, sehingga ketersediaan obat di lapangan bukan atas dasar kebutuhan.
Puskesmas kurang detail memberikan catatan kebutuhan obat kepada dinkes. Dinkes juga kurang maksimal untuk turun ke bawah. Sedangkan BPJS kurang mensosialisasikan adanya pengobatan gratis kepada warga.
“Masyarakatpun tidak mengetahui jika biaya pembelian obat yang dibeli di luar puskesmas bisa dikembalikan lagi dengan memberikan nota pembelian kepada puskesmas untuk di klaimkan ke BPJS kesehatan. Makanya kami hendak meluruskan dan memberitahukan kepada masyarakat,” tegasnya.
Amin juga memaparkan, anggaran pengadaan obat yang dikucurkan oleh JKN ke Dinkes Sampang mencapai Rp 12 miliar ditambah APBD sebesar Rp 4 miliar per tahun. Sehingga, tidak ada alasan lagi kehabisan obat di lapangan. “Cuma kurang koordinasi saja pihak pengelola kesehatan, karena anggarannya besar hingga belasan miliyar untuk obat-obatan ini,” imbuhnya.
Semantara Sekretaris Dinkes Sampang Asrul Sani tidak mengelak jika masih ada warga miskin yang melakukan pembelian obat di luar ketentuan jamkesmas. Menurutnya, pembelian obat bukan dikarenakan tidak tersedianya obat di puskesmas melainkan atas permintaan dari masyarakat sendiri.
Dia mengklaim, ketersedian obat sudah ditetapkan berdasarkan aturan Permenkes mengenai fomulasi obat-obatan. Pengadaan obat dengan anggaran miliaran itu berdasarkan e-katalog.
“Praktik membeli obat di luar ketentuan itu hanya sedikit terjadi, itu pun karena masyarakat sendiri yang memaksakan diri untuk membeli obat di luar ketentuan. Tapi kami juga meminta untuk mengisi surat pernyataan kepada pasien yang bersangkutan ketika hendak membeli obat di luar,” terangnya.
“Kejadian itu seperti jenis obat untuk anak di bawah umur 5 tahun. Di aturan, obat itu memakai sendok, tapi warga malah meminta yang jenis tetes dengan alasan supaya lebih aman dan tidak ribet,” imbuhnya.
Disinggung pengembalian biaya ketika membeli obat di luar, Asrul mengaku tetap mengganti dengan catatan obat tersebut masih terdaftar di e-katalog. Akan tetapi, manakala pasien hendak membeli obat sendiri dan tidak tersedia di e-katalog, maka nota pembelian obat tersebut tidak bisa diklaimkan ke BPJS Kesehatan.
“Bisa diganti, asal jenis obatnya ada di daftar ketentuan e-katalog, tapi kalau di luar itu, BPJS tidak akan mau mengklaimkan penggatian biaya pembelian obat itu. Entar malah masuk BPK. Jadi sekali lagi, untuk pengadaan obat dirasa semuanya sudah tersedia dan sudah berdasarkan aturan Permenkes, tapi kami lupa nomor berapa,” tegasnya. (MUHLIS/LUM)