KUALA LUMPUR | koranmadura.com – Malaysia punya Menara Kembar Petronas yang cukup megah. Di malam hari, menara yang dirancang oleh arsitek Argentina itu berkilauan. Tapi di trotoar-trotoarnya juga ada pengemis. Hanya modusnya saja yang mungkin tak pernah ada di tanah air. Inilah catatan Pemimpin Redaksi Koran Madura, Zeinul Ubbadi saat berkunjung di negeri yang pernah dijajah Portugis, Belanda dan Inggris itu.
*****
Kata teman saya, tidak sah bila ke Malaysia tidak berkunjung ke taman-taman di depan Menara Kembar Petronas. Pulang tanpa menyaksikan secara langsung bangunan yang dirancang oleh arsitek asal Argentina bernama César Pelli itu hanya akan membuat sesal setelah nanti sampai di rumah.
Karena saya rasa pernyataan itu ada benarnya, maka selepas makan malam saya berangkat bersama beberapa orang teman. Katanya sih dekat dari Hotel Millenium, tempat saya menginap, makanya semua sepakat untuk jalan kaki.
Di jalanan saya menjumpai wajah sebuah kota yang terlihat belum lama dibangun. Jalan-jalan tidak begitu lebar untuk ukuran sebuah ibukota negara, tapi sungguh cukup mulus. Kabarnya, jalanan di negara yang pusat pemerintahannya kini dipindah ke Kota Baru ini sama mulusnya dengan jalan tol.
Trotoar-trotoarnya lumayan bagus, sehinga orang-orang tidak sungkan untuk jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Sayang, tidak terlalu lebar.
Dan inilah yang tak pernah saya jumpai di Indonesia: di sudut-sudut trotoar itu saya mendapati pengemis mengaji Alquran. Ini tentu bukan kebetulan dan bukan karena ia sedang mengaji, sebab yang saya dapati tidak hanya seorang saja. Ada tiga pengemis di tempat berbeda yang juga mengaji. Kesimpulan dangkal saya: Ini modus. Ya, modus mengemis yang tak pernah saya jumpai di tanah air.
Saya menyesal sekali tidak memotretnya. Saya pikir, saya masih akan menemukannya nanti sepulang dari menara kembar petronas. Tapi, saya salah. Saya tidak bisa menjumpainya bukan hanya karena terlalu malam pulang, tapi juga karena tersesat jalan. Mungkin Tuhan melidungi mereka: khawatir saya menyebarkan fotonya dan “mengeksploitasinya” dengan “kejam” :-) .
Mungkin sebenarnya mereka bukan pengemis. Bisa jadi mereka memang para waliyullah yang sedang ditugaskan menjaga negeri jiran ini. :-) Bukankah konon Tuhan tidak sampai hati meluapkan kemurkaan karena masih melihat ada hamba-hamba sholeh yang menyebut namaNya dan tidak bosan-bosan membaca firmanNya.
Saya melewati mereka tanpa memberi sepeser uang pun. Sebab dalam hati hanya ada geli membayangkan mengaji itu benar-benar hanya modus dalam menjalankan profesi sebagai pengemis.
Bahkan sesaat kemudian, setelah beberapa puluh meter berlalu, saya melupakannya begitu saja. Mata saya jelalatan kesana kemari memperhatikan bangunan, jalan, kendaraan dan anak-anak muda yang sedang berlalu lalang menghabiskan malam minggu bersama kekasih hatinya.
*****
Setelah berjalan kira-kira 1,5 km akhirnya saya sampai di halaman menara kembar petronas yang dibangun hanya dalam waktu 13 bulan itu.
Memang berbeda, menyaksikannya di televisi atau di kaos-kaos dengan datang melihatnya secara langsung. Kemegahannya membuat saya teringat Mahatir Mohammad yang menggagasnya, dan arsitek yang merancangnya.
Menara kembar ini adalah salah satu dari beberapa mega proyek yang dibangun saat Mahatir menjabat sebagai perdana menteri. “Dia semacam Bung Karno di Indonesia”, gumam saya dalam hati.
Dus, Mahatir membangun sesuatu yang secara visual menjadi identitas Malaysia sebagai sebuah bangsa. Menjadikannya sebagai salah satu pemicu kebanggaan dan kepercayaan diri pada warganya.
Persis seperti Bung Karno ketika Indonesia baru saja merdeka. Ia memilih untuk membangun Tugu Monas dan Masjid Istiqlal setelah berdebat panjang dengan Bung Hatta yang ahli dalam bidang perekonomian.
“Mengapa kita harus membangun tugu, padahal rakyat kita masih lapar?” begitulah kira-kita Bung Hatta menyangkal.
Tapi rupanya Bung Karno memang bukan hanya politisi dan akademisi, ia juga praktisi yang betul-betul mengerti bagaimana membangun bangsanya. Ia sadar betul bahwa yang harus ia bangun pertamakali bukanlah raga, tapi jiwa; bukan fisik, tapi spirit.
Bung Karno bersikeras untuk membangun Tugu Monas demi memberikan spirit dan kepercayaan diri dalam hati setiap rakyatnya. Sebagai negeri yang baru saja merdeka, Ia ingin meneguhkan identitasnya di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.
Saya tak bisa membayangkan bila hingga saat ini Indonesia tidak punya Tugu Monas dan Istiqlal. Bagaimana bangsa lain akan menandai Indonesia dalam ingatannya? Bagaimana para pemimpin negeri ini akan menyambut tamu-tamu negara? Dan apa yang akan digambar para pedagang kaki lima pada kaos yang mereka jual pada turis-turis macanegara?
Hari sudah larut malam. Arloji di lengan kiri saya menunjukkan pukul 23.15 menit, padahal sebenarnya sudah pukul 24.15 meni’. Kok bisa? Karena saya cinta Indonesia. Sejak saya berangkat, jam tangan butut itu tak pernah saya ubah dari WIB menjadi MYT. (*)