Oleh: Miqdad Husein
Dalam dunia politik dikenal ungkapan politic is talking; politik itu komunikasi. Ini menegaskan seluruh aspek dalam kehidupan politik sangat dipengaruhi efektivitas komunikasi. Pada kemampuan berkomunkasilah seorang politisi misalnya dapat meraih kepercayaan masyarakat. Melalui public relation berkualitas sebuah pemerintahan lebih mudah mendapat kepercayaan masyarakat.
Sering sebuah pemerintahan yang bekerja baik kurang mendapat respon masyarakat hanya karena kelemahan penyampaian informasi. Masyarakat kurang mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana kinerja pemerintah. Masyarakat akhirnya justru larut dalam persepsi jauh dari fakta-fakta sesungguhnya.
Sangat luar biasa memang persoalan komunikasi dalam dunia politik. Begitu luar biasanya sampai ada ungkapan bahwa seringkali kemasan komunikasi lebih penting dari isinya. Boleh saja isi agak kurang berkualitas asal kemasan atau penjelasan serta komunikasi pada masyarakat berlangsung baik, kekurangan isi tertutupi. Subtansi bisa dikalahkan kemampuan komunikasi.
Melalui pengelolaan dan pengendalian opini sebuah citra, persepsi, asumsi dan lain-lain hal yang kadang tak sejalan fakta dan data mudah berkembang luas dalam pentas politik. Masyarakat bukan hal luar biasa, karena kemampuan komunikasi sosial yang hebat terbawa arus dalam persepsi, opini, pemikiran yang kadang jauh dari fakta dan data obyektif.
Paradigma dalam politik ini pada satu sisi menjadi kekuatan, namun di sisi lain dalam perspektif berbeda bisa meruntuhkan kepercayaan. Ini terjadi ketika kekuatan politik –bisa juga kekuasaan- mengabaikan dinamika informasi dan komunikasi di tengah masyarakat.
Di era media sosial seperti sekarang ini ditambah intensifnya jalinan komunikasi antar kelompok masyarakat melalui group-group whatsapp, bbm, facebook dan lainnya informasi dan komunikasi bisa begitu liar. Hoax, fitnah, pelintiran berita kadang –juga karena faktor kurangnya filter dari masyarakat- menjadi konsumsi utama yang mempengaruhi pemikiran, perilaku masyarakat.
Lagi-lagi di sini betapa penting di era sekarang pemerintah dalam memutuskan kebijakan memperhatikan secara cermat dinamika informasi dan komunikasi. Cermat tak hanya menyangkut kemampuan membaca arah angin; di sini diperlukan pula kekuatan luar biasa dari pemerintah dalam memberikan penjelasan, memaparkan fakta-fakta obyektif agar masyarakat memahami dan sudah tentu pada akhirnya memberikan dukungan.
Barangkali menarik jika paparan selintas di atas dijadikan setting sosial masalah Arcandra Tahar. Sosok yang sebenarnya relatif bersih serta sempat melakukan gebrakan spektakuler karena hanya kurang 20 hari menjabat sebagai Menteri ESDM mampu menyelamatkan uang negara sekitar 42 milyar dollar seperti berada dalam persimpangan informasi dan komunikasi. Ia sudah jelas di satu sisi ternoda oleh persoalan dwikewarganeraan; sementara di sisi lain kapasitas dan profesionalisme sudah terbukti tak terbantahkan.
Ketika kemudian selesai persoalan kewarnageraannya –paling tidak berdasarkan penjelasan Menteri Hukum dan HAM- apakah masyarakat memberikan pembenaran jika Presiden Jokowi misalnya mengangkat kembali sebagai menteri? Jelas di sini bukan persoalan kapasitas dan profesionalisme. Persoalan Arcandra sudah masuk wilayah pergulatan informasi dan komunikasi. Bukan lagi bicara benar salah berdasarkan fakta dan data kualitatif. Apalagi menteri adalah jabatan politik. Lagi-lagi makin menegaskan betapa persoalan riilnya bergeser menjadi abu-abu dalam pusaran informasi dan komunikasi.
Sudah tentu ini menjadi pekerjaan berat Presiden Jokowi. Dibutuhkan kecermatan luar biasa untuk sampai pada keputusan apakah Arcandra Tahar layak diangkat lagi atau tidak mengisi posisi Menteri ESDM. Pusaran dilema antara kebutuhan penataan Kementrian ESDM dari orang sekaliber luar biasa seperti Arcandra dan fakta dinamika liar informasi komunikasi di tengah masyarakat mau tak mau harus dihadapi Presiden Jokowi. Di sini lagi-lagi diuji kepemimpinan Presiden Jokowi. (*)