Oleh: Miqdad Husein
Pernyataan Presiden Jokowi agar semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antar umat beragama merupakan persoalan lama relasi agama dan kekuasaan. Pernyataan yang disampaikan saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara itu (23/3/2017) agaknya sebagai bentuk keprihatinan terhadap gesekan-gesekan kecil dalam pelaksanaan Pilkada khususnya di Jakarta.
Seperti biasa, ada saja yang mencoba memplintir pernyataan Presiden Jokowi sebagai bagian dari persambungan dengan pemikiran komunis, yang watak dasarnya anti agama. Pernyataan itu dianggap pula pembenaran terkait ramainya perbincangan kebangkitan komunis beberapa waktu lalu.
Yang sedikit lunak menganggap pernyataan Presiden Jokowi sebagai bentuk keberpihakan pada sekularisme, yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Lagi-lagi ini diplintir menjadi pembenaran bahwa pemerintahan Presiden Jokowi kurang bersikap baik pada kalangan ummat Islam.
Inilah konsekwensi persoalan relasi agama dan negara atau kekuasaan jika diseret kepentingan politik. Wacana yang berkembang bukan lagi upaya mencari solusi ideal bagaimana merumuskan hubungan negara dan agama agar seminimal mungkin terhindar dari berbagai dampak ketegangan, gesekan-gesekan maupun konflik. Yang terjadi di sini makin menunjukkan bahwa memang ada persoalan besar formulasi hubungan agama dan negara. Bahwa mereka yang mencari solusipun terkondisikan berhadapan dengan cara pandang yang lagi-lagi bertitik tolak konsepsi hubungan negara dan agama, yang jauh dari ideal, yang masih berlumur masalah.
Presiden Jokowi yang mewacanakan hubungan negara dan agama mendapat respon mereka yang berangkat dari pemikiran dengan konsepsi relasi negara dan agama bukan sebagai sebuah respon intelektual tapi lebih kental nuansa politik; yang memperlihatkan pula berada dalam lingkaran pemikiran bemasalah. Jadilah upaya mencari masalah direspon oleh sebuah perilaku ataupun pemikiran yang juga masih bermasalah.
Jalaluddin Rakhmat dalam dua tulisan Benarkah Agama Menyebabkan Tindakan Kekerasan, seperti ditayangkan website geotimes relatif panjang lebar memaparkan relasi agama dan politik. Sangat jelas sekali betapa pemikiran, persepsi, analisa realitas empirik agama dalam mempengaruhi sikap politik terutama terkait berbagai bentuk tindakan kekerasan masih debatable. Seperti juga terjadi di negeri ini berbagai pandanganpun bahkan dari mereka yang berlatar belakang intelektual –bukan politisi- masih sulit membebaskan diri dari kepentingan politik.
Bahkan antar pemikiran kalangan intelektualpun ternyata juga sulit bebas sepenuhnya dari latar belakang agamanya.Karena itu tidak aneh misalnya, paparan fakta yang dianggap sebagai kekerasan agama selalu dinisbahkan pada agama Islam walau fakta riil semua agama selain Islam pernah berada dalam setting sama bahkan jauh lebih dasyat lagi. Sebuah stigma kadang dibungkus begitu rapi seakan tesis ilmiah walau faktanya sangat bias karena aroma kental kepentingan politik berlatar belakang agama.
Karena itu mengacu kompleksitas atau lebih tepatnya keanekagaman konsepsi tentang relasi agama dan negara seharusnya setiap wacana dari siapapun dipahami obyektif sebagai upaya mencari formulasi ideal. Bagaimanapun jejak-jejak panjang tindakan kekerasan hasil dari relasi agama dan politik -walau tidak mudah- perlu diupayakan segera diakhiri.
Secara obyektif sebenarnya tak ada ajaran asli agama di dunia yang mengajarkan dan memerintahkan tindak kekerasan. Selalu kekerasan –jika dinisbahkan karena agama- memiliki kaitan kepentingan politik. Bahkan sebuah negara agama sekalipun jika melahirkan tindakan kekerasan dalam bentuk peperangan hampir selalu –untuk tidak menyebut seluruhnya-bermuatan kepentingan politik kekuasaan.
Di sinilah mudah dipahami jika kekerasan berlatar atau bernuansa agama sebenarnya lebih merupakan manipulasi agama untuk sebuah kepentingan politik. Agama selalu menjadi legitimasi, amunisi bahkan instrumen pengikat, mobilisasi kepentingan politik.
Kekuasaan selalu membutuhkan pengikat sebut saja idiologi atau yang paling ringan semacam jargon-jargon untuk mobilisasi pemikiran dan perilaku masyarakat. Agama hampir selalu menjadi pilihan pertama para pemanggku kepentingan kekuasaan karena memiliki anatomi sangat seksi dan memenuhi semua syarat yang diperlukan. Ditambah kesadaran dan pemahaman keagamaan yang kadang masih artifisial mudah sekali penganut agama menjadi alat memuaskan kepentingan kekuasaan.
Dengan anatomi menarik itu, pada satu sisi memang diakui tujuan mulia semua agama. Namun di sini lain, bangunan kepedulian dan solidaritas mulia dari ajaran agama, mudah sekali keterikatan keagamaan masyarakat dimanipulasi kepentingan kekuasaan. Ini umumnya terjadi ketika pemahaman keagamaan dalam proses awal dan belum mencapai kesadaran subtantif, sejalan tujuan murni agama.
Sekalipun belum sepenuhnya dijamin efektif, formulasi relasi agama dan negara selayaknya harus dibangun berbasis peningkatan kualitas proses pemahaman keagamaan. Inilah alternatif yang paling potensial menghasilkan formulasi ideal relasi agama dan negara yang dapat meminimalkan berbagai tindak kekerasan bernuansa agama.
Semua memang selalu terbuka dimanipulasi. Namun seperti kata pepatah, selalu orang-orang yang jauh dari pemahaman mudah menjadi permainan kepentingan apapun.
