Sri Rahayu Ningsih, ditangkap Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena diduga menyebarkan berbagai konten yang menghina Presiden Joko Widodo, lambang negara, sejumlah partai politik dan organisasi kemasyarakatan lewat media sosial facebook. Penangkapan dilakukan setelah penyidik mengkaji konten facebook bersangkutan berdasarkan keterangan ahli bahasa. Konten yang diunggah Sri Rahayu diduga melanggar Undang-undang nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi Transaksi Elektroni (ITE).
Sebelumnya di berbagai media diberitakan terkait komentar politisi yang memicu kemarahan politisi lainnya. Reaksi dalam bentuk tindakan hukumpun bermunculan, saling melaporkan ke aparat kepolisian. Sebuah gambaran atmosfir politik yang selayaknya tak perlu terjadi ketika negeri ini sedang berbenah mengejar ketertinggilan dari negara lain dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Diakui di media sosial dan juga media konvensional berbagai lontaran komentar bernada panas beraroma konflik belakangan ini masih mudah merebak. Kegairahan semangat reformasi agaknya seperti masih meluap dan bukannya mengendap mewujudkan energi untuk kebutuhan kerja besar membenahi negeri ini. Euforia kebebasan tanpa batas dalam mengemukakan pikiran masih mengalir tanpa henti. Sayangnya seringkali masih mencerminkan kurangnya kearifan memahami situasi dan kondisi sosial, yang sudah berubah sejak 19 tahun perjalanan reformasi.
Perubahan dari keterkungkungan menuju kebebasan saat memasuki era reformasi belum menumbuhkan kearifan dan kesadaran bagaimana mengelola situasi baru ini agar lebih produktif. Termasuk pula bagaimana agar berbagai persaingan politik tidak membelenggu masyarakat dalam ketegangan berkepanjangan. Seharusnya usai moment politik yang bermuatan persaingan seperti Pilpres, Pilkada, Pileg tak ada lagi batas-batas bernama ketegangan apalagi permusuhan antar potensi masyarakat. Yang lebih dikedepankan bagaimana memberi kesempatan yang mendapat kepercayaan rakyat untuk bekerja tanpa mengabaikan pengawasan serta sikap kritis konstruktif.
Semangat itulah yang selayaknya dikembangkan usai momentum persaingan dalam Pilpres, Pilkada maupun Pileg. Kritik, pengawasan, tuntutan agar melaksanakan janji-janji politik sangat wajar dan bahkan seharusnya dikemukakan kepada siapapun yang mendapat kepercayaan memimpin dalam tingkatan apapun di negeri ini. Namun perlu disadari pula selayaknya kritik bersifat konstruktif, membangun dan memberikan alternatif pemikiran cerdas tanpa lagi ada nafsu kebencian dan permusuhan.
Mengkritik setajam-tajamnya pun bisa dipahami sebagai bagian dari kontrol kepada yang mendapat kepercayaan rakyat. Kritik bahkan sama pentingnya dengan dukungan sebagai bagian apa disebut ceck and balances.
Yang perlu dihindari adalah memandang amanah dan kepercayaan rakyat dengan perspektif dan persepsi kebencian. Apalagi sampai menumpahkan penghinaan, fitnah, hoax, plintiran berita, manipulasi data, tudingan tanpa dasar dan lainnya. Jika berbagai hal buruk itu ditumpahkan pada simbol negara bukan hanya berbalik mengarah pada diri sendiri, juga akan ada konsekwensi hukum, yang telah diatur dalam undang-undang.
Inilah yang kadang masih sering ditemukan di era media sosial belakangan ini. Mudah sekali seseorang menghina, menfitnah Presiden misalnya yang merupakan simbol negara tanpa menyadari apa yang dilakukan mengarah pada seluruh negeri ini. Ketika seseorang menghina Presiden, sama saja dengan menghina negara dan seluruh rakyat negeri ini.
Di era keterbukaan seperti sekarang ini, kritik setajam apapun masih merupakan hal wajar. Kritik bukan hanya harus tapi wajib dilakukan agar jalannya pemerintahan senantiasa berada dalam rambu-rambu konstitusi. Kritik setajam-tajamnya tapi jangan sekalipun menghina dan menfitnah siapapun. Begitulah, yang seharusnya dikembangkan jika negeri ini ingin jauh lebih maju.