Oleh: Said Abdullah
Masih ingat salah satu jargon Telivisi Republik Indonesia (TVRI) ketika masih menayangkan iklan, sekitar akhir tahun 1970-an, “Banyak yang ditawarkan beli sebatas kemampuan.” Lalu, beredar pula jargon sejenis -kali ini bukan milik TVRI- yang tak kalah menarik, “Bertebaran penawaran beli sesuai kebutuhan.”
Jargon bernuansa kenangan masa lalu itu selalu muncul –untuk yang TVRI biasanya usai iklan . TVRI gencar menayangkan iklan sebagai bagian mencari dana untuk biaya operasional tetapi tetap tidak lupa mengingatkan masyarakat luas agar selektif dalam menyaksikan iklan. Jangan gampang terpesona tayangan iklan yang memang dikemas sangat menarik.
TVRI yang ketika itu merupakan satu-satunya stasiun televisi menyadari betul posisinya. Sebagai televisi pemerintah yang sudah pasti ditonton banyak orang, selain mempromosikan produk konsumsi masyarakat sebagai upaya membiayai produksi, melaksanakan pula peran pendidikan agar masyarakat tidak terjebak berbagai tawaran menggiurkan. TVRI hadir mewakili keberadaan negara untuk kepentingan masyarakat luas -sebut saja antara lain memberikan keseimbangan informasi, sekaligus mengingatkan agar berhati-hati.
Di sini tergambar jelas bahwa masyarakat tidak dibiarkan berjalan liar. Negara, juga pemerintah hadir menjalankan fungsinya menyelamatkan, mengarahkan, membimbing dan terutama mendidik masyarakat. TVRI atas kewenangannya pula, menyeleksi apakah iklan yang akan ditayangkan tidak menyesatkan, produknya dijamin aman, bukan penipuan dan lainnya. Lagi-lagi di sini menegaskan peran negara, pemerintah, sebagai pengayom rakyat.
Di era informasi dan komunikasi sekarang ini, apakah negara, pemerintah perlu menjalankan fungsi sebagaimana TVRI? Jawaban pertanyaan sangat jelas: bukan lagi harus bahkan merupakan kewajiban. Apalagi ada amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang harus dijalankankan pemerintah.
Karenanya aneh ketika ada segelintir orang, yang mengaku ahli mempertanyakan tindakan aparat hukum memproses Saracen yang diduga sebagai produsen hoax, fitnah, ujaran kebencian dan sebagainya. Apalagi alasannya untuk membiarkan masyarakat memilah sendiri berita liar yang sempat memperkeruh, menciptakan ketegangan bahkan konflik itu.
Di negara liberal seperti Amerika Serikat dan Eropa pun ada peran negara, pemerintah. Masyarakat diberi kesempatan aktif menindaklajuti setiap beredar informasi yang merugikan dirinya. Beberapa negara seperti Jerman bahkan sangat tegas memberikan sanksi pada pembuat dan penyebar hoax. Ada perangkat Undang-undang yang mengaturnya.
Apa yang dilakukan aparat hukum di negeri ini merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan pemerintah sebagai wujud kehadiran negara. Di sini terpapar tanggungjawab Yuridis serta sosial untuk melindungi dan memberikan bimbingan pada masyarakat. Bahwa berbuat begini, begitu, sangat jelas melanggar peraturan. Bahwa masyarakat harus cermat menyikapi peredaran berbagai berita, baik konvensional maupun media sosial karena tak semuanya benar. Selalu menyelinap berbagai niat buruk atas dasar kepentingan, uang dan lainnya.
Melalui tindakan hukum itu, digambarkan secara jelas kepada masyarakat bahwa ada perbedaan besar antara fitnah, hoax, ujaran kebencian, provokasi dengan kritik sebagai wujud pengawasan pada pemerintah. Kritik pada kekuasaan merupakan bagian dari demokrasi. Sah, sekelompok masyarakat berbeda pemikiran dengan pemerintah. Namun, menyebarkan fitnah, memplintir berita, menghina, memprovokasi tindakan kekerasan, jelas memiliki konsekwensi hukum tersendiri. Sangat berbeda dengan kritik.
Seperti jargon TVRI di tahun akhir 70, era sekarang masyarakat perlu pula diingatkan bahwa “Banyak informasi tersebarkan, ikuti atas dasar pengetahuan.” Bijak menerima informasi, kritis dalam menyikapi, berhati-hati dalam bereaksi. Begitulah yang bernuansa pendidikan kepada masyarakat. Tentu perlu dan menjadi keharusan ada tindakan hukum bagi mereka yang menjadi bagian dari penyesatan informasi. (*)