Oleh: MH. Said Abdullah
Wacana, diskusi, perbincangan, perdebatan, polemik dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini merupakan hal biasa. Siapapun berhak menyampaikan pemikiran dan pendapatnya. Apalagi ketika sekarang ini perangkat digital dapat dimanfaatkan siapapun. Media sosial juga memberi ruang leluasa menjadi alat berkomunikasi membahas persoalan apapun.
Ramainya pro kontra masalah Partai Komunis Indonesia (PKI) misalnya, yang belakangan marak, merupakan konsekwensi dari iklim demokrasi dan keterbukaan yang difasilitasi kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi digital. Yang terpenting ada itikad obyektif, pikiran jernih, kedewasaan dengan semangat semata-mata untuk kebaikan negeri ini.
Yang berbeda pandangan tak perlu diposisikan sebagai musuh, dicurigai dan dipandang dengan pemikiran negatif lainnya. Perbedaan pemikiran yang berkembang harus diletakkan dalam bingkai saling mengasah konsepsi untuk mencari solusi terbaik bagi kepentingan bangsa Indonesia. Semaksimal mungkin perlu dihindari berbagai manipulasi informasi, sikap apriori, sinisme, kecurigaan; yang dikedepankan semangat bersanding dan bukan bertanding untuk saling mengalahkan. Perbedaan diletakkan sebagai kawan bicara dan bukan musuh yang perlu dihabisi. Demikianlah selayaknya perdebatan setajam apapun dalam alam demokrasi yang sehat: tidak memecah belah potensi bangsa tapi justru makin merekatkan persaudaraan.
Siapapun tentu menyadari dan bahkan merasakan bahwa era sekarang ini sudah jauh berbeda dengan kondisi di masa Orde Lama dan Orde Baru. Apalagi dibanding masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Parameter pemikiranpun sudah pasti berbeda termasuk pula realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Karenanya dalam memandang dan menilai situasi sekarang tak selayaknya menggunaan standar masa lalu, yang telah berlangsung lebih dari lima puluh tahunan.
Sejarah di masa lalu memang tidak dapat dipungkiri harus menjadi pelajaran. Jasmerah, kata Bung Karno. Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ini artinya, sejarah harus selalu menjadi referensi, pengalaman yang tak boleh dilupakan untuk menjadi pelajaran. Namun demikian sejarah tidak boleh membelenggu kehidupan hari ini. Justru dari pengalaman sejarah, hari ini bergerak lebih dinamis menyongsong masa depan lebih baik.
Dalam konteks PKI sebagai kekuatan politik, sebagai bagian dari sejarah kelam negeri ini, sebenarnya posisinya sudah sangat jelas. Sebagaimana ditegaskan kembali oleh Presiden Jokowi, PKI secara normatif telah dilarang hidup di negeri ini dengan Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 yang masih berlaku. Masyarakat negeri inipun memahami bahwa PKI telah terbukti membuat luka di negeri ini pada tahun 1948 dan 1965.
Pengalaman pahit dari tindakan PKI itu, baik pada tahun 1948 dan 1965 memang menjadi pelajaran berharga. Namun demikian, kurang proporsional bila cara pandang pada kondisi sekarang menggunakan apa yang terjadi di masa lalu. Apalagi normatif dan fakta-fakta sosial di era sekarang ini sudah sangat jauh berbeda.
Perlu dicermati lebih arif agar kondisi sekarang ini jangan disamakan dengan apa yang terjadi pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga seakan kita berada dalam situasi yang sama dengan masa-masa kelam ketika PKI melakukan tindakan penghianatan. Dengan tanpa mengurangi kewaspadaan rasanya kurang arif dan jauh dari proporsional jika mengangap bahaya PKI hari ini sama dengan moment-moment di tahun 1948 dan 1965. Baik normatif –karena sudah dilarang- maupun secara realitas sosial eksistensi PKI sudah sangat jauh berbeda.
Bahkan jika dikaji lebih dalam terkait paham komunis, sekalipun ada aksioma bahwa idiologi tidak akan pernah mati, fakta-fakta ilmiah, politik, sosial, ekonomi, komunis sudah kurang laku di belahan dunia manapun. Uni Soviet, Cina yang selama ini dikenal sebagai induk komunis internasional sudah jauh dari paham komunis. Dua induk komunis itu sudah meninggalkan komunis dan lebih menikmati gairah kapitalisme. Pimpinan di Rusia pun kini bukan lagi komunis dan Cina hanya menempatkan komunis tak lebih sekedar simbol saja sementara Korea Utara lebih mengesankan otoritarian dibanding sebagai negara komunis.
Namun demikian, kewaspadaan proporsional tetap selalu menjadi bagian perjalanan Indonesia. Baik dari bahaya komunis, maupun paham lain seperti radikalisme, neoliberalisme, kapitalisme ekstrim, penghancuran generasi muda melalui pornografi dan obat terlarang serta lainnya. Di luar kewaspadaan itu negeri ini perlu berupaya keras meningkatkan kesejahteraan, menegakkan keadilan, lebih menumbuhkan iklim demokrasi, meningkatkan kualitas pendidikan dan lainnya, yang semua itu diyakini menjadi benteng utama tegaknya NKRI, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (*)