Hari Jumat mulia itu berubah tanpa terduga menjadi berdarah ketika sebuah bom bunuh diri meledak dasyat meluluhlantakkan Masjid Al Rahwdah, di Sinai Utara, Mesir. Sekitar 235 jamaah masjid meninggal dunia dan sekitar 100 terluka. Alunan dzikirpun berubah menjadi teriakan kengerian dan kepiluan di tengah korban yang tergeletak berlumur darah.
Tragedi terorisme terburuk di Masjid Sufi itu, berlangsung sangat cepat. Usai sholat Jumat, ketika para jamaah yang sebagian besar penganut sufi sedang berdzikir, bermunajat mendekatkan diri kepada Allah, sebuah ledakan dasyat merubah kesyahduan menjadi kengeriaan. Sebuah tempat ibadah yang seharusnya paling aman berubah total menebarkan aroma darah dan air mata.
Ironi sangat tragis sekali, memang. Bagaimana sebuah tempat suci, di mana asma Allah dikumandangkan tanpa pertimbangan kepentingan justru dijadikan sasaran pelampiasan kebencian. Tempat yang seharusnya penuh kedamaian dan ketenteraman ketika makhluk bernama manusia mendekatkan diri kepada Sang Pencipta diseret dalam pergumulan kepentingan berdarah. Sungguh sebuah tragedi kemanusiaan yang sulit dilukiskan kalimat apapun.
Siapapun pelakunya menegaskan tentang kehancuran nilai kemanusiaannya. Mereka bahkan tak layak lagi -untuk alasan apapun- disebut sebagai manusia. Apalagi bila titik tolak pengebomanan mengatasnamakan kepentingan pemahaman keagamaan. Ini jelas sangat kontradiksi dengan ajaran agama apapun. Sebab Tuhan menurunkan agama agar nilai-nilai kemanusiaan tegak berdiri; agar manusia mampu mewujudkan kedamaian, saling mengasihi antar sesama. Bukankah Tuhan menegaskan bahwa nilai terbaik pada sosok manusia ketika memiliki kepedulian, empati, simpati dan sikap kasih lainnya. Bukankah semua itu bertolak belakang dengan tindakan kekerasan apalagi pembunuhan brutal.
Sejauh ini belum ada pihak yang mengaku bertanggungjawab dalam peledakan berdarah di Masjid Sufi itu. Namun banyak kalangan menduga ISIS berada di belakang peledakan mengerikan itu. Sebab selama ini ISIS menganggap kaum Sufi, yang merupakan mayoritas jemaah di Masjid Al Rahwdah, sebagai bukan penganut agama Islam.
Mohammad Sabry seorang analis dan jurnalis kepada Sky News, menegaskan bahwa kaum Sufi mampu mengajak keluar ratusan orang muda dari kelompok teroris di mana militer tidak mampu melakukannya. ISIS karenanya berkepentingan untuk menghancurkan idiologi Sufi.
Sebagaimana diketahui Islam Sufi belakangan ini menarik minat kaum muda karena pendekatannya yang sangat anti kekerasan. ISIS yang selalu mengajak kaum muda menganggap kaum Sufi sebagai ancaman. Pernyataan etnis Al Swarka dan muslim Sufi, yang pada Mei lalu untuk bergabung dengan etnis Al Tarabin melawan ISIS, bisa menjadi dasar asumsi peran ISIS dalam peledakan mematikan itu. Mayoritas jemaah Masjid Al Rahwdah di Sinai Utara dikenal pula merupakan pendukung Presiden Abdel Fattah El-Sisi dalam memberantas teroris.
Lepas dari berbagai varian sikap kaum Sufi, peledakan di Masjid Al Rahwdah merupakan tindakan pengecut. Kekerasan di luar arena peperangan yang menjadikan sasaran kalangan sipil apalagi yang sedang menjalankan ibadah sama sekali tak memiliki sedikitpun dasar pembenaran.
Dari tragedi ini makin jelas bahwa pemahaman keagamaan mengentalkan pengerasan sikap kelompok mudah sekali memunculkan kebencian bahkan tindakan kekerasan. Klaim kebenaran mutlak, merasa paling benar, kurang menghargai perbedaan-perbedaan yang kadang sangat elementer hampir selalu menjadi embrio lahirnya tindakan kekerasan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Ummat Islam Indonesia perlu menjadikan tragedi Mesir sebagai pelajaran berharga agar kejadian serupa tidak terjadi di negeri ini. Umat Islam Indonesia perlu mengembangkan keterikatan keagamaan bernuansa Indonesia, yang dikenal memiliki keramahan dan kelembutan budaya, yang jauh dari kekerasan. Apalagi keanekaragaman budaya Indonesia sangat luar biasa sehingga memberikan warna warni dan nuansa indah dalam keterikatan keagamaan. Perbedaan-perbedaan bersifat elementer atau furu’iyah jangan sampai memunculkan pengerasan kelompok, yang memutuskan silaturrahmi dan kebersamaan rakyat negeri ini.
Mewujudkan Islam keindonesiaan yang damai, merupakan pilihan terbaik agar negeri ini terhindar dari berbagai tindak kekerasan berdarah sebagaimana terjadi di Mesir dan kawasan Timur Tengah. (*)