Setelah relatif lama merebak wacana terkait pernyataan M. Amien Rais bahwa pembagian sertifikat sebagai “ngibul” Presiden Jokowi pada acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018, di Ballroom Puri Begawan, Bogor, Jawa Barat pekan lalu, memberikan tanggapan tegas dan tuntas.
“Berkaitan sertifikat, kita dari dulu-dulu tiap tahun hanya bisa menyerahkan 400-600 ribu sertifikat pertahun. Padahal bidang tanah yang harus kita sertifikatkan harusnya mencapai sektar 126 juta sertifikat. Yang baru diberikan kepada rakyat sampai saat ini baru 52 juta. Apa artinya, kalau setiap tahun hanya 400-600 ribu, dibutuhkan waktu 130 tahun agar semuanya rampung,” jelas Jokowi.
Respon Presiden Jokowi ini menarik dikaji dari perspektif dinamika politik. Beliau seperti sengaja terlebih dahulu membiarkan bola panas yang dilemparkan M. Amien Rais yang jauh dari kejelasan. Termasuk pernyataan tudingan tentang penguasaan tanah yang sebagian besar dikuasai asing.
Jokowi seperti ingin persoalan itu tidak dibentangkan dalam suasana seperti benang kusut bermuatan nuansa panas. Apalagi persoalan yang disampaikan Amien Rais menyangkut hal-hal bersifat riil atau angka-angka pasti, yang sayangnya disampaikan lebih sekedar sebagai retorika. Termasuk ketika penguasaan tanah sempat memancing perdebatan antara Amien Rais dengan Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan.
Sikap “dibiarkan” oleh Presiden Jokowi ternyata justru mengundang kalangan lain memberikan tanggapan lebih rasional. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi merupakan salah satu yang tampaknya bersemangat menanggapi pernyataan Amien Rais. Ia kemudian memaparkan data bahwa izin perkebunan kepada pelaku bisnis paling banyak justru diberikan oleh Menteri Kehutanan periode 2009-2014 Zulkifli Hasan, yang merupakan kader PAN. Ia seperti disebut Vanda, memberikan hampir 70 persen dari total luas izin para pebisnis periode 2004-2017.
Menurut Vanda Mutia, Zulkifli Hasan memecahkan rekor sebagai menteri yang paling banyak memberikan izin-izin perkebunan kepada para pelaku bisnis tertentu dengan luas 1,64 hektare atau hampir 25 kali lipat luas DKI Jakarta. Diperkirakan 2,2 juta hektare atau 33 kali lipat luas Jakarta, izinnya diberikan saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden RI. Sementara di era Presiden Jokowi baru mengizinkan 200 hektare lahan.
Dari jeda waktu beberapa hari sejak lontaran pernyataan Amien Rais sampai kemudian Presiden Jokowi memberi tanggapan tampak sekali harapan agar berbagai lontaran pemikiran, kritik tak sekedar retorika tapi disertai data dan alternatif solusi. Presiden seperti ingin memberikan pembelajaran bahwa dalam berdemokrasi kritik boleh saja. Kritik sama penting dengan dukungan. “Namun, harus dimengerti mana kritik, mana yang mencemooh. Mana yang kritik, mana yang nyinyir. Mana yang kritik mana yang fitnah. Itu beda,” kata Jokowi.
Secara sangat jelas Jokowi mengingatkan bahwa jika sebuah kritik disampaikan seharusnya berbasis data dan mencarikan alternatif solusi. Program serfikat tanah untuk rakyat jelasnya merupakan pecutan dari pemerintah agar masyarakat bisa banyak dan cepat mendapatkan sertifikat.
Mengembangkan demokrasi yang sehat memang memerlukan itikad dari semua pihak terutama kalangan elite politik. Lontaran pernyataan yang disampaikan ke publik selayaknya mendorong proses pencerdasan masyarakat dan bukan justru mengeruhkan apalagi sampai memancing emosi masyarakat. Di sinilah nilai penting pemaparan data-data serta jika memungkinkan memberikan alternatif solusi agar masyarakat dalam melihat persoalan mampu mengembangkan nalar sehat.
Selalu nalar sehat, kecerdasan yang dapat menyelesaikan masalah. Bukan retorika apalagi emosi tanpa dasar.