Merebaknya wacana untuk mempertemukan M. Amien Rais dengan Presiden Jokowi dari perspektif kemanusiaan apalagi nilai moral keagamaan selalu potensial bernilai positif. Apalagi bila dari awal diniatkan demi kepentingan negara dan rakyat Indonesia.
Sejauh ini memang belum jelas siapa sebenarnya yang disebut berkeinginan mempertemukan keduanya. Dari pemberitaan di media, hanya ada pernyataan kalangan petinggi PKS yang mengatakan bahwa banyak yang berharap M. Amien Rais untuk bertemu Presiden Jokowi.
Yang juga menggelitik pertanyaaan cukup marak bermunculan di berbagai media. Apa kepentingan riil dari pertemuan itu. Adakah tujuan yang diharapkan terwujud jika memang pertemuan ingin dilaksanakan. Misalnya, apakah pertemuan terkait masalah koalisi menghadapi Pilpres?
Belum ada kejelasan agenda yang akan dibahas jika keduanya bertemu. Lontaran pernyataan yang muncul hanya menegaskan banyak yang ingin M. Amien Rais bertemu dengan Presiden Jokowi. Sebatas itu saja.
Karena sampai sekarang tak ada topik atau agenda serta tujuan dari pertemuan itu, termasuk siapa sebenarnya yang disebut ingin keduanya bertemu, merebak pula yang mempertanyakan urgensi pertemuan. Termasuk kekhawatiran jangan sampai pertemuan itu –jika jadi dilaksanakan- sebatas seremoni atau sekedar menjadi pemanis politik.
Jika mencermati peta dinamika dari sikap M. Amien Rais di satu sisi dan Presiden Jokowi di sisi lain, memang diakui ada semacam perbedaan dalam memandang persoalan bangsa Indonesia. Itupun hampir seluruhnya lebih karena respon reaktif dari M. Amien Rais. Sementara dari Presiden Jokowi sendiri sejauh ini tetap menjalankan tugasnya berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, bekerja keras siang malam, tanpa berpikir merespon berlebihan pandangan berbeda, yang kadang melewati batas kelaziman.
Masyarakat Indonesia sangat mengetahui dengan jelas bahwa Presiden Jokowi selama ini bekerja seakan tanpa ada jeda beristirahat. Sementara M. Amien Rais selama ini tak pernah lepas dengan berbagai lontaran pernyataan yang kadang jauh dari proporsional. Kalimat-kalimat bernuasa jauh dari proporsional seperti “kata ngibul” terlontar dari M. Amien Rais ketika merespon Presiden Jokowi menyerahkan sertifikat tanah kepada masyarakat di berbagai daerah.
Mungkin masih banyak kalimat-kalimat lain yang pernah dilontarkan oleh Ketua Dewan Pembina PAN itu. Yang terakhir ketika mengatakan Allah akan melengserkan; sambil menunjuk foto Presiden Jokowi dalam sebuah acara di Cibubur. Sebuah pernyataan seakan dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa depan.
Yang menarik, kecuali merespon beberapa persoalan untuk tujuan meluruskan masalah, Presiden Jokowi praktis seperti terus bekerja dan bekerja seakan tidak mendengar berbagai lontaran pernyataan bernada “nyinyir” dari M. Amien Rais. Presiden Jokowi hanya menjawab berbagai retorika dari siapapun dengan bekerja dan bekerja.
Dari gambaran peta persoalan yang sebenarnya seluruh rakyat Indonesia mengetahui itu; termasuk terkait sikap M. Amien Rais yang selalu melempar bola panas dan ketenangan serta ketekunan Presiden Jokowi terus bekerja, menyelinap pula pernyataan berbeda: apakah Presiden Jokowi berkepentingan dengan pertemuan itu. Apa manfaatnya bagi kepentingan negara dan rakyat Indonesia. Bukankah persoalan jika memang dianggap ada persoalan justru ada pada sikap M. Amien Rais sendiri. Jika memang katakanlah menyebut ada ketegangan, bukankah karena komentar M. Amien Rais sendiri. Ini artinya penyelesaian masalah jika memang dianggap ada masalah ya ada pada M. Amien Rais sendiri.
Dalam konteks kehidupan berdemokrasi sebenarnya kritik apalagi yang konstruktif –bukan yang bernuansa provokasi, nyinyir, tudingan tanpa dasar- sama pentingnya dengan dukungan. Kritik mengawasi agar pemerintahan sejalan ketentuan perundang-undangan, dukungan demi peningkatan kinerja pemerintah.
Jika kritik sehat yang mengemuka, rasanya ketegangan, hiruk pikuk, tak akan terjadi di negeri ini. Begitulah.