Oleh: MH. Said Abdullah*
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019 yang dalam proses telah berjalan lancar, masyarakat tiba-tiba dikejutkan munculnya tagar #INAelectionobserverSOS. Secara harfiah tagar itu berarti permintaan tolong pada dunia internasional agar menunjuk satu tugas pengawas penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Dari arti saja sudah jelas tagar itu dimaksudkan untuk mengembangkan opini bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 dipenuhi kecurangan sehingga memerlukan pengawas internasional. Dan hampir bisa dipastikan suara itu dari kalangan yang berada di luar kekuasaan yang selama ini sering menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tidak bersikap profesional dan independen.
Jika dikaji lebih jauh tagar #INAelectionobserverSOS itu sebenarnya tidak berdiri sendiri dan bukan muncul tiba-tiba. Seperti hoaks dan fitnah yang sangat sistematis, massif dan terstruktur, upaya memunculkan ketakpercayaan pada KPU sudah berlangsung relatif lama. Ada yang dilontarkan politisi langsung diarahkan kepada KPU dan lainnya melalui penyebaran hoaks menuding KPU bermain curang.
Untuk bernuansa hoaks yang menyerang KPU misalnya penyesatan informasi bahwa ada 7 kontainer kertas suara yang sudah dicoblos untuk pasangan Capres Cawapres nomor 01. Kertas suara itu didatangkan dari Cina dengan masing-masing kontainer berisi 10 juta kertas suara. Berbagai hoaks sejenis juga disebarkan terutama di media sosial.
Tudingan terbuka dari elite politik yang berada di luar kekuasaan dimulai melalui serangan bahwa ada 25 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) fiktif. Juga serangan ketika KPU memutuskan menggunakan kotak suara kardus yang dianggap sebagai trik mempermudah kecurangan. Sebuah tudingan yang terasa sangat ironis karena keputusan KPU soal kotak suara kardus misalnya, merupakan keputusan bersama dengan DPR. Lalu, bukankah KPU merupakan lembaga independen yang dipilih oleh DPR?
Sangat terasa ada upaya menciptakan ketakpercayaan kepada KPU. Sehingga nantinya bila katakanlah lawan dari petahana kalah ada pembenaran melakukan berbagai tindakan apapun kepada KPU. Padahal sangat jelas independensi dan transparansi kinerja KPU.
Mudah sebenarnya melacak anatomi KPU sebagai lembaga independen. Yang paling jelas dari kinerja penyelenggaraan Pilkada serentak. Pada tahun 2017 KPU menggelar Pilkada serentak di 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi dan 76 kabupaten dan 18 kota. Pada tahun 2018 KPU menyelenggarakan Pilkada di 171 daerah meliputi 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.
Dalam dua momen penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2017 dan 2018 yang diselenggarakan KPU periode sekarang ini hampir tak ada masalah berarti. Pelaksanaan Pilkada berjalan aman dan proses di Mahkamah Konstitusi pun berjalan tuntas. Ini memberi penegasan bahwa sejauh ini KPU telah mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sebagai penyelenggara pemilihan umum independen.
Bagaiamana pandangan dunia internasional? Dalam laporan lembaga Freedom House, Indoneisa memiliki agregat skor 64 dari skala 0 (tidak bebas) dan 100 (sangat bebas). Dalam laporan bertajuk Freedom in the World itu tergambar jelas kualitas demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata.
Dengan mengacu pada penilaian Freedom House tergambar jelas bahwa kebebasan rakyat mengekspresikan sikap politiknya tergolong baik. Tak ada tekanan dari kekuasaan. Rakyat dapat leluasa berbicara, menyampaikan aspirasi, mengkritisi pemerintah dan lainnya. Jangan bicara potensi tentang ketakutan rakyat. Yang terjadi bahkan sebaliknya begitu bebas rakyat sehingga cenderung kebablasan dalam mengkritisi dan menyerang pemerintah.
Sekadar tambahan perbandingan, laporan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memberikan paparan tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah pada tahun 2018 mencapai angka 80 persen. Penilaian itu mengacu pada kinerja pemerintah dalam melayani dan melindungi masyarakat. Sebuah angka tertinggi sepanjang perjalanan pemerintahan Indonesia sejak memasuki era reformasi.
Sangat jelas tak ada alasan rasional dan faktual mengundang pengawas asing. Apalagi disertai tagar seakan Pemilu 2019 akan terjadi kecurangan massif. Bahwa pemantau dari luar diizinkan berpartisipasi sangat tegas dan jelas diatur dalam UU Pemilu.
Jadi apa sebenarnya tujuan tagar yang seakan menggambarkan Pemilu 2019 penuh jelaga dan kendala serta masyarakat tertekan? Apa tujuan aktivitas yang sangat jelas terindikasi menjelek-jelekkan negeri ini di mata dunia internasional? Semoga aparat hukum dapat membongkar motif sebenarnya dari penyebaran tagar bernuansa over acting itu. (*)
*Wakil Ketua Banggar DPR RI