BANGKALAN, koranmadura.com – Banyaknya kasus penceraian yang terjadi di kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur dikarenakan oleh faktor sosial.
Hal tersebut di sampaikan oleh Zainuri Jali, salah satu hakim Pengadilan Agama (PA) setempat.
Menurutnya, budaya orang madura, khususnya masyarakat Bangkalan masih memegang keyakinan “takut anaknya tidak laku” selalu menjadi pegangan bidup sebagai orang tua. Sehingga orang tua memilih menikahkan anaknya meski tak cukup umur.
“Madura ini masih ada istilah budaya jangan sampai ada perawan tua, jadi maklum ketika anaknya menikah dibawah umur,” kata Zainuri, sapaan akrabnya, Selasa, 11 Juni 2019.
Akhirnya, ketidaksiapan mental dan emosi berdampak terhadap bidak rumah tangga yang mereka jalani.
“Bukan hanya nafsu birahi saja, tapi secara kedewasaannya juga harus ada,” katanya.
Selain itu, faktor ekonomi juga kerap membuat rumah tangga yang dijalani muda retak. Ekonomi yang tidak mapan, kata Zainuri menyebabkan suatu gesekan di dalam suatu hubungan, sehingga pada akhirnya pisah dan cerai.
“Ekonomi masih belum mapan, tapi memkasakan menikah maka ketika tengkar maslalah ekonomi langsung minta cerai,” ungkapnya.
Diketahui, di kantor PA pada tahun 2017 ada 2.695 perkara yang ditangani, sementara pada tahun 2018 tercatat 2.577 perkara dan di tahun 2019 dari awal bulan januari sampai Mei sebanyak 854 perkara. Sedangkan perkara yang ditangani oleh PA masih di dominasi oleh kasus penceraian, pada tahun 2017 tercatat 1431 kasus penceraian, sementara di tahun 2018 tercatat 1503 kasus penceraian dan di tahun 2019 dari awal bulan Januari sampai bulan Mei tercatat 635 kasus penceraian (MAIL/SOE/DIK)