Oleh: Miqdad Husein
Tertangkapnya anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK ternyata memancarkan berbagai persepsi. Berbagai varian komentar yang beredar di media mainstream dan media sosial cukup memberikan gambaran tentang betapa beragamnya tanggapan publik. Pro dan kontra serta berbagai peneguhanpun merebak penuh warna. Termasuk pula mengkaitkan penangkapan itu dengan asumsi liar pelaksanaan Pemilu 2019.
Yang bernada positif menjadikan penangkapan itu sebagai peneguhan bahwa keraguan kepada ketegasan KPK pasca revisi UU tentang KPK ternyata tidak terbukti. Apalagi tak berselang jauh KPK kemudian melakukan operasi serupa pada Bupati Sidoarjo. Pelemahan KPK yang selama ini diteriakkan, ternyata sama sekali tak terbukti. Bahkan, KPK justru terlihat makin galak.
Lho? Masyarakat melihat dengan jelas bahwa penangkapan Wahyu Setiawan ternyata menyangkut Calon Legislatif dari PDI Perjuangan, partai yang berkuasa. Ini artinya bahwa kekhawatiran KPK hanya jadi alat kekuasaan lagi-lagi tidak terbukti. Kepentingan partai yang memegang kekuasaanpun tanpa ragu juga diseruduk oleh KPK.
Yang relatif berpikiran obyektif tertangkapnya anggota KPU dinilai sebagai kepahitan nasional yang dapat menciderai demokrasi. Masyarakat yang berpikir jernih menyesalkan karena menganggap KPU tidak lagi steril dari permainan kepentingan para politisi. Ada keprihatinan kasus anggota KPU memunculkan ketakpercayaan publik terhadap indepedensi dan profesionalismenya.
Keprihatinan itupun merembes membentuk asumsi liar bahwa jika KPU Pusat bermain –diduga- apalagi KPUD di berbagai daerah. Jika di pusat saja, yang mudah menjadi sorotan masyarakat terjadi permainan penentuan seseorang menjadi anggota DPR lebih-lebih di daerah yang sepi dari sorotan publik.
Eskalasi keprihatinan itu memiliki dasar kuat. Dengan mencermati pelaksanaan Pemilu Legislatif, yang seakan kurang mendapat perhatian dari masyarakat, karena terkonsentrasi euforia Pilpres, potensi dugaan permainan di berbagai daerah bukan hal yang tak mungkin. Semua tentu saja sekedar dugaan dan belum terbukti.
Jauh sebelum tertangkapnya Wahyu Setiawan, KPU sempat mendapat sorotan publik ketika meloloskan Mulan Jameela ke DPR. Istri musisi Ahmad Dani itu, berdasarkan hasil perhitungan KPU sebenarnya tidak berhak menempati kursi di DPR. Ia bukan peraih kursi terbanyak. Ia lolos melalui kontroversi keputusan pengadilan. Dan proses hukum kursi panas itu sampai sekarang masih berlangsung, sekalipun Mulan Jameela sudah duduk manis di Senayan.
Beberapa asumsi lain menyebut kasus utak-atik kursi PDI Perjuangan di Sumatra Selatan mengekor kasus Gerindra. Jika Mulan Jameela bisa, apa susahnya sekedar memainkan kursi DPR Dapil Sumatra Selatan melalui pergantian antar waktu (PAW). Jauh sebelumnya beberapa pengamat memang memperkirakan kasus di Partai Gerindra bisa menjadi bola liar yang akan ditiru partai politik lainnya.
Yang paling liar tentu saja ketika tertangkapnya Wahyu Setiawan dikaitkan pula dengan pernyataan liar Pilpres curang. Mereka, yang memperlihatkan sikap belum move on itu, merasa mendapat pembenaran bahwa mungkin saja benar Pilpres ada kecurangan dari bukti permainan di KPU itu.
Pemikiran bernuansa masih belum menerima kekalahan itu tak lebih sekedar menyeret dan memperluas masalah dengan sesuatu yang sama sekali tak memiliki hubungan. Kasus Wahyu Setiawan bukan manipulasi suara. Publik secara terbuka dapat melihat posisi perolehan suara para Caleg PDI Perjuangan Sumatra Selatan. Yang diduga dijadikan obyek permainan adalah posisi pengganti. Dalam hal ini bukan KPU yang berperan utama tetapi oknum partai politiklah, yang mengutak-atik posisi Caleg seperti juga kasus Mulan Jameela.
Kasus Wahyu Setiawan betapapun pahit bagi perkembangan demokrasi di negeri ini telah terjadi dan menjadi keprihatinan bersama. Ke depan bagaimana agar kasus sejenis tidak terulang kembali serta mampu mengembalikan citra KPU, KPUD yang bagaimanapun telah tercoreng.
Penegakan hukum yang tegas dan tuntas, serta hukuman yang berat perlu diberikan kepada siapapun yang terlibat dalam permainan kotor yang merusak perkembangan proses demokrasi di negeri ini. Tanpa kecuali!